Kami menyebut diri kami surveyor. Kami adalah para penjelajah yang memetakan permukaan bumi. Di Indonesia, orang-orang seperti kami terhimpun dalam satu wadah bernama Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) yang sudah berdiri sejak lama. Bersama dengan profesi lain, kami telah melukis keindahan nusantara dalam wujud peta. Dengan peta, kami hadirkan wajah bumi kepada mereka yang tidak sempat menjelajah. Dengan peta, Anda semua tau lokasi tempat penting dan posisi relatifnya terhadap tempat lain. Tanpa peta, sulit membayangkan seberapa jauh Desa Tegaljadi dari Manggis di KarangasemĀ atau seberapa dekat Monaco dan Paris di Eropa. Dengan peta, Anda bisa merencanakan perjalanan dengan baik, bisa melakukan pembangunan dengan terencana dan bisa melihat apa yang belum terlihat dalam merencanakan kota, misalnya.

Kami berkumpul setiap tahun untuk bertukar gagasan. Seperti profesi lain di dunia, kami memiliki wadah ilmiah untuk bertemu dan saling belajar benama Forum Ilmiah Tahunan (FIT) Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) yang disingkat FIT ISI. Di FIT ISI inilah surveyor berkumpul menceritakan penelitian terbaru, perkembangan keilmuan dan kemajuan teknologi survey dan pemetaan. Para peneliti akan diberi ruang untuk menyampaikan hasil penelitiannya di bidang survey dan pemetaan serta aplikiasinya, dunia industri akan diberi kesempatan menyampaikan kasus-kasus pemetaan dan pelajaran yang diperoleh dari penangannya, para inovator akan disediakan panggung untuk memperkenalkan kemajuan peralatan survei pemetaan. Para surveyor itu, apapun peran khususnya, berkumpul dalam satu ruang dan saling bertukar cerita, bertukar ilmu, dan membangun serta memperkuat jejaring lewat diskusi, tawa, debat, kelakar dan juga canda.
Tahun 1998 silam, saya mengikuti FIT ISI di Hotel Century Park Jakarta. Saya mahasiswa yang baru beranjak dari tingkat dua, belum banyak yang diketahui tentang ilmu geodesi dan geomatika. Masih tergagap-gagap menceritakan apa itu survey pemetaan kepada calon mertua. Di situ saya melihat dunia yang berbeda. Dunia yang lebih luas. Meskipun tidak paham seluruhnya, ada rasa bangga menyaksikan para surveyor senior itu menyajikan ilmunya dalam presentasi. Ini rupanya yang disebut Anies Baswedan sebagai visualisasi mimpi. Tiba-tiba saja menjadi lebih mudah bagi saya untuk membayangkan akan menjadi apa saya di masa depan. Menyaksikan para surveyor itu membuat mimpi-mimpi terasa mejadi lebih nyata dan lebih dekat untuk diraih. Mereka berbicara tentang bumi, tentang Indonesia dan tentang menjaganya melalui pemetaan. Surveyor juga berperan dalam perihal besar tentang dunia. Itu yang saya rasakan ketika itu. Berlebihan? Mungkin juga, tetapi anak mahasiswa tingkat dua memerlukan sebuah mercusuar yang bisa dilihatnya dari jauh saat dia berpikir tentang karir dan masa depannya.
Di FIT ISI itu juga ada pameran. Saya melihat penunggu stand yang ganteng dan cantik memamerkan teknologi dan perangkat lunak pemetaan. Yang perempuan tak ubahnya SPG yang cantik dan ramah senyum tetapi tidak menjual shampoo melainkan GPS atau Total Station. Yang lelaki seperti pramugara tetapi tidak menjajakan juice jeruk tetapi menjelaskan MapInfo, perangkat lunak Sistem Informasi Geografis. Saya termangu-mangu, heran dan kagum melihat semua itu. Apa yang saya saksikan jauh lebih hebat dari praktikum Ilmu Ukur Tahan yang bergelut dengan meteran, unting-unting, teodloit dan kalkir. Rupanya benda-benda sederhana itu menjadi fondasi penting dan akan membawa saya pada peran yang lebih besar. Begitu saya membayangkan ketika itu.
Saya memandang sekitar dan menjumpai orang-orang yang belakangan saya tahu adalah orang pintar yang bersinar di dunia geodesi dan geomatika Indonesia. Dari cerita kecil merekalah saya mendengar tentang bersekolah di luar negeri, dan tentang berguru ilmu pada para pendekar surveyor di benua lain. Mereka tidak memberi inspirasi tetapi menjadi inspirasi. Nama-nama yang saya temui ketika itu, kini menjadi kolega baik yang kepadanya saya masih berguru dan bebagi.
Saya juga tekun mendatangi stand-stand pameran perangkat lunak. Di sebuah stand ada seorang lelaki berwajah sederhana tapi berpenampilan rapi bukan buatan. Dia sopan layaknya salesman tetapi terlihat gagah layaknya surveyor. Paduan ganjil yang memikat. Dari mulut lelaki itulah saya mengetahui pekerjaannya. Dia ceritakan baru saja pulang dari Singapura untuk mengikuti training perangkat lunak. Dia juga menceritakan perjalanannya beberapa bulan sebelumnya ke benua lain. Saya terkesima. Surveyor ini bisa melanglang buana rupanya. Saya mulai membayangkan ketika itu, bekerja di suatu tempat yang membebaskan imajinasi dan memberi ruang yang lebar untuk bereksperimen dan bertualang. Saya ingin jelajahi dunia, karena demikianlah seharusnya seorang surveyor.
Lima belas tahun berlalu, perasaan ketika datang ke FIT ISI tentu saja tidak seperti ketika datang pertama kali. Rasa penasaran sudah tidak begitu tinggi, rasa kagum juga tidak begitu hebat lagi. Namun FIT ISI tetap saja menawarkan hal menarik untuk didatangi. FIT ISI adalah rumah kami, para surveyor untuk berbagi dan mengingat lagi nilai-nilai yang seharusnya kami jaga. FIT ISI adalah sebuah pintu masuk sebuah ruang misteri kehidupan surveyor bagi mahasiswa Teknik Geodesi yang masih gamang dalam ilmu dan karirnya. FIT ISI jadi satu tanda bahwa sebuah profesi bernama surveyor ini mampu mengorganisasi dirinya. Menjunjung tinggi profesinya dan berdiri percaya diri dengan profesi lain, bahwa dalam kadar dan tingkat yang berbeda-beda, kamipun telah mengabdi pada negeri ini.
Surveyor Indonesia, selamat berkumpul dan bertukar gagasan, saat FIT ISI di Yogyakarta tanggal 31 Oktober Nanti. Saatnya berhenti sejenak menjelajah dan berkumpul saling bercerita. Mari menguatkan profesi dan merawat tradisi.
keren pak made
wah pak tertarik ikut pak,semoga bisa dilancarkan š
Amin. Silakan beruasaha pasti bisa. Kalau belum bisa presentasi, jadi peserta saja dulu.