
Dalam sebuah perjalanan di Eropa tahun 2010 silam, saya ada di Brussels suatu pagi. Hari itu saya akan menemui Bapak Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Dubes Arif Hafas Oegroseno. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dari Antwerpen ke Brussels, saya tiba di sebuah halte bus bernama Chien Vert. Saya menunggu bus dan tiba-tiba mengkhawatirkan sesuatu. Bagaimana kalau bus di sini seperti di Kota Sydney yang tidak mau menerima pembayaran cash di dalam bus dan hanya mengangkut penumpang yang sudah memiliki tiket? Saya bertanya-tanya dalam hati sambil khawatir. Selain itu, kalaupun saya harus membeli tiket (pre-pass), sayapun tidak tahu harus membeli di mana. Saya harus bertanya kepada orang lain.
Di sebuah kursi, saya melihat seorang ibu-ibu duduk menunggu bus dan sayapun mendekatinya. “Excuse me, Ma’am! Can we buy tickets in the bus?” saya bertanya sopan. Perempuan itupun menjawab dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Sangat singkat tetapi memberi kesan dia tidak mengerti pertanyaan saya. Rupanya perempuan itu tidak paham Bahasa Inggris dan membuat saya menjadi agak panik. Di situ terasa, bisa Bahasa Inggris saja belum tentu bisa menyelesaikan persoalan komunikasi internasional, terutama kalau saya sedang kebingungan di sebuah halte bus di Brussels. Saya membayangkan, seandainya saja saya bisa Bahasa Belanda, Perancis atau Jerman, tentu semua akan beres. Ketiga bahasa ini adalah bahasa resmi di Belgia. Dengan menguasai salah satu dari ketiga Bahasa ini saya pastilah bisa mendapatkan informasi penting yang saya mau. Sementara itu, waktu terus berjalan, bus selanjutnya akan datang pada pukul 9.16, sekitar empat menit lagi.
Tiba-tiba saya ingat sesuatu. Sayapun mengeluarkan iPhone dan berharap ada wi-fi gratisan sehingga bisa mengakes internet. Saya memang tidak mengaktifkan akses internet saat meninggalkan Australia karena harganya luar biasa mahal. Rupanya Tuhan memberi saya jalan keluar, saya mendapat wi-fi lepasan sehingga bisa berinternet di halte itu. Sayapun dengan sigap mengetikkan “can we buy ticket in the bus?” di Google Translate dan segera menerjemahkannya ke Bahasa Belanda. Tidak yakin dengan cara mengucapkan kalimat yang muncul “kunnen we kopen kaartje in de bus?” saya pun mendekati perempuan tadi dan menyodorkan iPhone saya. Saya ingin dia membaca sendiri apa yang hendak saya tanyakan. Awalnya dia agak ragu, tetapi tetap membaca apa yang tertera di layar iPhone. Keluarlah kalimat yang tidak saya mengerti maksudnya. Hanya ada satu kata yang saya tebak-tebak berbunyi kira-kira “frongse” atau sejenisnya. Saya tiba-tiba ingat penjelasan adik saya, Komang Andika, yang sedang kuliah di Sastra Perancis UGM bahwa Français atau Bahasa Perancis itu dibaca “frongse”. Saya duga, pastilah orang ini hanya bisa berbahasa Perancis.
Karena sudah kepalang basah dengan tingkah polah aneh saya dari tadinya, sayapun melanjutkan aksi saya. Sesaat kemudian saya mengubah terjemahan itu ke dalam bahasa Perancis sehingga muncul kalimat “peut-on acheter un billet dans le bus?” dan menyodorkan iPhone saya ke perempuan tersebut. “Aaah oui oui bla bla bla” [bla bla bla ini adalah bagian yang saya tidak mengerti]. Wajahnya sumringah tersenyum sambil mengacungkan dua jarinya dan mencoba berbahasa Inggris terbata “two Euro” dengan logat Perancis yang tidak bisa disembunyikannya. Saya bersorak dalam hati, perjuangan saya berhasil. Rupanya terjemahan Google Translate itu bisa dimengertinya dan ternyata saya bisa membeli tiket di bus seharga dua Euro. Saya tersenyum-senyum sendiri menikmati permainan yang menaikkan adrenalin itu. Dengan santuh saya berucap “merci beaucoup” meskipun pastilah dengan pelafalan yang mengenaskan. Orang memang tidak selalu bisa berbahasa asing tapi setidaknya dia tidak boleh berputus asa dalam kekalutan. Where there is a will, there is a way!
Bagus pak.
Saya ijin share ya. merci beaucoup 🙂
Suka semangatnya yang luar biasa..walau dengan tindakan yang “aneh”..hehe
there is a will there is a way..itu hikmahnya..:)
Hahaha….
Kalo di Vienna, paling mudah tanya ke kedai2 souvenir yg banyak bertebaran di sekitar halte. Kalo nggak salah namanya tabak trafik atau semacamnya, karena aslinya mereka jualan rokok. Penjaganya biasanya bisa bhs Inggris dikit2, karena sering berkomunikasi dengan turis.
Apakah di Brussel ada yg semacam itu, Mas Andi?
Di tempat saya itu kebetulan tidak ada Mas. Di tempat lain, termasuk plaza kota akhirnya saya temukan ada yg demikian.
Salam kenal pa andi..
Wah saya selalu senang baca tulisan bapa. Seperti baca novel.hhehe
Awal masuk blog bapa karena cari beasiswa tentunya.
Tapi lama-kelamaan baca yang lain terutama pengalaman-pengalaman di luar negeri dan pertemuan2 dengan oraan2 baru… 🙂
salam kenal pak andi,
lucu juga ceritanya pak.
kesimpulan saya inilah kekuatan internet. sangat powerful. tidak ada alasan untuk tidak bisa mempelajari hal baru selama ada koneksi internet 😀