
Wollongong, 21 Februari 2012
Sore itu saya sedikit gelisah, duduk di deretan tengah kursi shuttle bus yang mengantarkan saya ke kota Wollongong. Berkali-kali saya lirik jam di pergelangan kiri, waktu menunjukkan pukul 1.40 sore. Hari itu saya memiliki janji pertemuan dengan seseorang di kantornya di Crown Street. Saya menggunakan bus gratis dari Innovation Campus, University of Wollongong di Fairy Meadow.
Saya bergegas meninggalkan halte bus segera setelah keluar dari bus yang melanjutkan perjalanannya di sepanjang Bureli Street. Langkah saya menjadi semakin cepat karena waktu sudah mendekati jam 2 sore. Langkah saya dipandu Google Maps dari layar iPhone dengan titik yang berkedip menuntun hentakan kaki yang teregesa. Memang baru pertama kali saya ke kantor tersebut sehingga saya mengandalkan peta.
Di depan sebuah kantor terlihat sebuah papan tergantung bertuliskan “Sharon Bird – Federal Member for Cunningham”. Langkah saya terhenti, ada perasaan berdebar-debar sebelum melanjutkan langkah memasuki ruangan.
Manila, 29 Januari 2012
Saya sedang merenung sendiri di sebuah kamar hotel di Manila. Baru saja selesai latihan presentasi yang saya bawakan esok hari di acara workshop tentang keamanan luat yang diselenggarakan oleh Pacific Forum CSIS bekerjasama dengan National Defence College of the Philippines. Selepas latihan yang sudah dilakukan berkali-kali hingga hafal, saya masih memiliki sedikit sisa energi. Twitter jadi pelarian yang tepat. Sayapun kembali berkabar tentang situasi di Manila yang tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Di saat asik bertwitter, saya sempat ngobrol virtual dengan anggota DPRD suatu daerah, Suhfi Majid. Dari percakapan itu, entah bagaimana asalahnya, terbersit ide saya untuk berinteraksi dengan anggota parlemen Australia. Kalau saya bisa berakrab-akrab ria dengan DPR/D Indonesia, mungkin bagus juga kalau bisa kontak parlemen Australia, saya pikir.
Saya teringat dengan Sharon Bird, MP yang selebarannya sering saya terima di kotak pos. Sharon adalah anggota parlemen Federal Australia yang mewakili Cunningham. Tanpa berpikir panjang sayapun berselancar mencari websitenya dan menemukan email yang bisa dikontak. Dalam waktu singkat saya sudah menyelesaikan sebuah email. Saya awali dengan “Dear Ms. Bird” agar bahasanya formal. Berceritalah saya soal diri sendiri dan terutama soal apresiasi saya terkait kiprahnya dalam menjaga komunikasi dengan konstituennya. Saya mengamati hal ini sudah sejak dulu, bahwa dia rutin berkabar, menyampaikan apa yang sedang dihadapi atau dilakukan sebagai anggota parlemen. Hal ini menarik karena belum pernah saya temukan, kalaupun ada, hal serupa dilakukan oleh anggota parlemen Indonesia. Intinya, saya menyampaikan apresiasi dan mengemukakan keinginan saya untuk bertemu, berdiskusi lebih jauh.
Apakah tindakan saya pas? norak? ndeso? atau hebat? Terserah masing-masing mengartikannya. Jawaban saya sederhana saja. Saya bukanlah siapa-siapa tapi saya ingin bertemu dengan anggota parlemen dan belajar dari mereka. Saya tidak mungkin menunggu diundang oleh mereka maka saya yang meminta bertemu. Memang sesederhana itu pikiran saya. Jika tidak dihiraukan, wajar saja, toh saya bukan siapa-siapa. Jika diterima, saya boleh merasa beruntung. Begitulah. Email itu saya kirim dan sayapun melupakannya.
Wollongong, Hari Valentine 2012
Sore hari saya menerima sebuah email:
Dear Mr Arsana
Thank you for your email to Sharon detailing your background and requesting a meeting.
Sharon is happy to meet with you. She has some time available on 21 February 2012 in the afternoon. Does 2pm suit your diary?
I look forward to hearing from you.
Alison
Ternyata memerlukan waktu sekitar dua minggu untuk mendapatkan balasan dari Sharon Bird, itupun melalui sekretaris eksekutifnya. Setelah dipikir-pikir, memang wajar sekali. Tidak mungkin seorang Sharon Bird sempat membalas email saya secara langsung, dia pasti sangat sibuk. Tanpa basa basi sayapun membalas email itu.
Dear Alison,
Thank you for your email.
Yes, 21 February 2012 at 2 pm is good for me. I really appreciate this opportunity.
Please advise where I should meet Sharon on the day.
Thank you
Andi
Dalam waktu tidak begitu lama, saya kembali mendapat jawaban dari Alison
Dear Andi
That’s great news.
We are located at 74 Crown Street, Wollongong. If you need parking, please enter through the driveway for the Downtown Motel and just let the girls at the Downtown Motel reception know that you are there to meet with Sharon and they will let you park in the motel carpark.
We look forward to seeing you on 21 February.
Best wishes.
Alison
Saya jadi teringat kisah di sebuah buku yang mengatakan bahwa untuk meminjam utang luar negari saja, pejabat Indonesia merasa perlu naik limousine saat datang ke kantor tempat meminjam. Sementara itu, pihak yang meminjami biasa datang dengan bus atau bahkan sepeda gayung. Saya tidak ingin terjebak imajinasi saya sendiri terkait kekonyolan ini. Maka saya pun mengkonfirmasi dengan email terakhir.
Dear Alison,
Thank you for the address. I will go there by bus so I won’t need parking space.
See you next week.
Andi
74 Crown Street, Wollongong, 21 February 2012
Saya memencet sebuah bel kecil yang tergeletak di sebuah konter. Sebentar kemudian seorang perempuan muncul tersenyum. “I have an appointment with Sharon” kata saya sebelum dia bertanya. “Oh okay, and you are…” katanya dengan nada bertanya. “Andi Arsana” kata saya cepat dan “A .. R.. S .. A .. N ..A” saya tambahkan untuk mengeja nama belakang saya. “Oh Ok, Andi, have a sit please, Sharon will be with you shortly”.
Kantor Sharon tidak besar, ruang tunggu juga kecil dan sederhana. Saya yakin kursi tunggu itu tidak sampai 24 juta harganya, tetapi kelihatan bagus dan nyaman. Di tembok itu berjejer berbagai brosur tentang kegiatan dan program Sharon sebagai anggota parlemen. Brosur itu sepertinya boleh dibawa pulang. Ruang tunggu kecil itu penuh dengan informasi, orang tidak akan kekurangan bahan bacaan jika harus menunggu agak lama.
Tepat jam 2 sore, keluarlah seorang perempuan tinggi, diikuti seorang lelaki di belakangnya. Perempuan itu tersenyum sangat ramah dan menyapa “Hi Andi, thank you for coming. How are you?” sambil menyalami saya. Rasa gelisah yang dari tadi menyelimuti sirna sudah melihat senyum ramah dan hangat dari anggota parlemen ini. Dia kemudian memperkenalkan asistennya, lelaki itu, lalu mengajak saya ke sebuah ruang pertemuan kecil. Hanya ada kami bertiga di situ. Setelah menaruh tas, sayapun dipersilakan duduk dan kami melingkar menghadapi sebuah meja bundar kecil.
Seakan tahu bahwa tidak mudah memulai komunikasi, Sharon mendahului berbasa-basi dengan berterima kasih sekali lagi. “I am glad you come” katanya. Semua itu dilanjutkan dengan bertanya soal keberadaan saya di Wollongong, soal pendidikan saya dan bidang kajian saya. Begitu saya menyebut batas maritim dia sangat tertarik. Maka terjadilan obrolan seru, bagaimana Indonesia dan Australia bertetangga dan sudah menetapkan batas maritim di Laut Timor. Saya juga akhirnya menjelaskan bahwa batas maritim antara Australia dan Indonesia itu cukup unik karena batas untuk air berbeda dengan batas untuk dasar laut. Dia juga tertarik mengetahui lebih jauh konsekuensi dari fenomena itu dan saya jelaskan adanya kawasan yang dasar lautnya milik Australia tetapi air di atasnya milik Indonesia. Sangat menarik baginya saat saya jelaskan minyak dan gasnya milik Australia tetapi ikan di air milik Indonesia. Belum lagi saat saya jelaskan bahwa teripang atau mentimun laut adalah hak Australia meskipun ikannya milik Indonesia. Ada hal teknis yang saya bahas dan ada pasal-pasal yang harus dikutip. Sebuah intermezzo yang sangat menarik.
Sayapun memulai dengan hal yang lebih serius, mengemukakan kembali gagasan saya bertemu Sharon. Dia menyambut baik dan mulai bertanya soal posisi Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia di Wollongong yang saya sebutkan sebelumnya di email. Atas ide dari seorang rekan aktivis di Jakarta, Dirgayuza Setiawan, saya memaparkan kiprah PPIA di Wollongong dan Australia secara umum. Saya juga sampaikan bagaimana pentingnya PPIA bagi mahasiswa Indonesia secara umum. Sempat saya bahas kegiatan rutin PPIA Wollongong terkait diskusi bulanan dan saya sampaikan maksud untuk mengundang Sharon suatu saat nanti. Tanpa basa-basi dia mengiyakan. Ketika saya tanya apakah secara protokoler itu sulit dilakukan, dia menjawab “sama sekali tidak”. Kalaupun ada masalah, itu hanya terkait penjadwalan yang tidak akan mudah karena dia memiliki jadwal yang cukup padat. Bagi saya itu sudah cukup karena yang saya inginkan dalam pertemuan pertama ini adalah komitmen. Saya juga sampaikan akan mengenalkan presiden PPIA Wollongong kepada dia, setidaknya lewat email.
Saya menyampaikan pandangan saya tentang banyaknya mahasiswa Indonesia di Australia dan sebagian besar kini menggunakan beasiswa dari pemerintah Indonesia. Hal ini saya sampaikan untuk mengingatkan dia bahwa Indonesia telah melakukan langkah maju di bidang pendidikan. Bahwa tidak semua mahasiswa Indonesia itu seperti saya yang mendapat beasiswa dari pemerintah Australia. Maksud saya adalah untuk menciptakan kesan baik tanpa menjadi arogan. Saya pun menyinggung beberapa isu mahasiswa internasional yang perlu diperhatikan seperti perlunya meningkatkan kesempatan interaksi antaranegara. Ketika saya sampaikan perihal kesulitan mahasiswa internasional untuk berinteraksi dengan mahasiswa lokal, Sharon menyampaikan fakta menarik. Sebenarnya itu juga terjadi dengan mahasiswa lokal. Mereka yang datang dari daerah yang agak pedalaman juga merasa tidak mudah untuk bergabung dengan mahasiswa lokal dari daerah/kota lain. Saya jadi memabayangkan bahwa perasaan semacam ini juga sebenarnya terjadi di Indonesia bagi mahasiswa yang berasal dari daerah lain, apalagi minoritas secara jumlah. Yang terjadi belum tentu merupakan usaha pengasingan tetapi memang perasaan terasing itu muncul dengan sendirinya pada orang-orang tertentu. Meski demikian, Sharon menyimak masukan saya dengan sangat baik.
Ketika saya bicara soal peningkatan kerjasama pendidikan seperti yang diusulkan oleh salah soerang anggota DPR Indonesia, Meutia Hafid, lewat twitter, Sharon membahas masalah kuota beasiswa ADS yang kini meningkat untuk Indonesia hingga 400 orang per tahun. Saya sendiri menyampaikan perlu adanya lebih banyak orang Australia yang belajar di Indonesia atau setidaknya belajar Bahasa Indonesia dan itu dia setujui. Pertukaran ini penting agar terjadi pemahaman yang memadai di kedua belah pihak. Gagasan ini adalah ekspresi lain dari ide Mas Budiman Sudjatmiko yang mengusulkan agar Australia lebih menghargai Asia dan Oceania, lewat twitter. Saya memang meminta masukan dari berbagai pihak lewat twitter sesat sebelum bertemu Sharon.
Saya sadar, waktu yang tersedia tidak lebih dari 30 menit sehingga saya memang tidak dalam posisi mendesak adanya kesepakatan. Saya tahu, pertemuan singkat itu lebih merupakan sebuah brain storming, menjajagi peluang-peluang di masa depan. Saya juga menanyakan kemungkinan adanya interaksi antarparlemen sehingga anggota parlemen Indonesia bisa bertukar informasi dan pengetahuan dengan anggota parlemen Australia. Untuk ini dia merespon dengan sangat baik, bahwa di parlemen Australia sendiri ada kelompok-kelompok yang bertugas untuk membina hubungan baik dengan etnis atau kelompok masyarakat dari negara tertentu. Sharon misalnya memiliki tugas menjaga interaksi yang baik dengan warga Italia di Australia. Sharon berjanji mengenalkan saya dengan pihak parlemen Australia yang bertugas menjaga hubungan dengan masyarakat Indonesia sehingga nanti bisa menjembatani kontak antarparlemen. Dia bahkan memberi petunjuk, kirim saja email ke mereka dan saya bisa bilang kalau mendapatkan email mereka dari Sharon. Sebuah cara menghubungkan orang yang istimewa.
Saya menutup pertemuan itu dengan menyerahkan kenang-kenangan berupa buku terbitan PPIA Pusat yang pernah saya sunting dengan beberapa kawan yaitu Education Counts! dan Contribution Matters! 2.0. Penyerahan itu tentu saja disertai pengambilan foto, sekedar untuk melengkapi cerita kelak agar tidak dituduh hoax.
Setelah sekian lama berinteraksi, saya sadari akhirnya bahwa pertemuan saya dengan Sharon Bird, MP sama sekali tidak terkait keistimewaan saya. Dari cara Sharon menghadapi saya dan memberi penjelasan atas berbagai pertanyaan, saya merasa sangat nyaman, seperti bercakap-cakap dengan teman lama yang sangat akrab. Tidak ada kesan menyeramkan dari seorang anggota parlemen Australia seperti yang pernah saya bayangkan. Artinya, meskipun tetap istimewa, pertemuan itu bukanlah sesuatu yang luar biasa dan itu pasti terjadi pada siapa saja yang mau bertemu denganya. Seorang rakyat datang ke kantor wakil rakyat dan menyampaikan gagasannya untuk nanti ditindaklanjuti oleh wakilnya sesungguhnya sama sekali tidak istimewa. Memang demikianlah seharusnya. Itulah kesan yang saya dapatkan dari interaksi singkat itu.
Di luar itu semua, saya sendiri membuat catatan tersendiri atas pertemuan itu. Bahwa kalau sesorang bisa menyadari potensi yang dimilikinya, dia bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak diduga. Kalau saja seorang mahasiswa Indonesia di luar negeri menyadari posisi pentingnya sebagai representasi dari 240 juta orang yang mendiami negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah penduduk muslim lebih dari keseluruhan muslim di Timur Tengah, maka tidak ada alasan bagi mahasiswa dari negara demokrasi terbesar ketiga itu untuk gentar hanya untuk menulis sepucuk surat elegan dan sopan ingin bertemu dengan anggota parlemen Australia. Saya mungkin hanyalah anak sepasang penambang padas yang tak sempat wisuda SD di Desa Tegaljadi, tetapi saya adalah juga warga sebuah negara anggota G20 dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Yang ketika dunia terpolarisasi, presiden saya dengan berani membentuk gerakan non blok. Maka percakapan dengan anggota parlemen Australia sesungguhnya tak lebih dari proses belajar lewat senda gurau dua manusia yang setara dan saling menghormati.
Pengalaman yang menarik Bli, as always 🙂
Thanks Sugit 😉
Penyampaian yang anngun utk sebuah misi yang luar biasa…good job mas Andi..success for U
Terima kasih Mas Thohir. Komentar positif begini yg membuat penulis seperti saya tambah semangat belajar 🙂
This is a very inspiring post, Mas Andi!
I am glad, it inspires you, Puspa 🙂
What an inspiring experience Bli.anyway you are bit lucky cos your expertise interests her and a sort of sensitive debatable challenging issue to discuss.do you think she will also pay attention to any insensitive like education,psychology,arts,etc?somehow i agree with your belief than human(australian-asian) is equal so should be no inferiority or superiority amongst them.
Last,for encouraging more indonesian to engage with international society,would you please share Sharon’s email.feel i like to greet her.
Cheers,
Nur
Thanks Mas Rifai 🙂 Links for her website and email are in the above post. Please double check.
Nah… akhirnya yg saya tunggu2 muncul juga! Thanks berat utk sharingnya, Mas Andi.
Saya cuma penasaran, mengapa Mas Andi tidak menyebutkan nama lengkap saay ditanya namanya di pintu depan? I Made Andi Arsana…. hehehe….
hahaha.. pasti akan terjadi ‘tragedi nama’ lagi 🙂
Thanks for sharing mas Andi. Sukses selalu.
Excellent, really enjoyed it. It was like i was going through the experience with you Andi.
Thanks Sugeng 🙂
Sangat inspiratif, Pak Andi! saya mau ikuti jejak Bapak kalau nanti bisa sekolah di luar negeri. aamiiiinn 🙂
Saya suka dengan paragraf penutup Bapak. Menyadari siapa kita dan untuk apa kita ada adalah awal dari kontribusi untuk bangsa dan akhir dari pesimisme bangsa. keren! burning spirit banget! 🙂
“Di luar itu semua, saya sendiri membuat catatan tersendiri atas pertemuan itu. Bahwa kalau sesorang bisa menyadari potensi yang dimilikinya, dia bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak diduga. Kalau saja seorang mahasiswa Indonesia di luar negeri menyadari posisi pentingnya sebagai representasi dari 240 juta orang yang mendiami negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah penduduk muslim lebih dari keseluruhan muslim di Timur Tengah, maka tidak ada alasan bagi mahasiswa dari negara demokrasi terbesar ketiga itu untuk gentar hanya untuk menulis sepucuk surat elegan dan sopan ingin bertemu dengan anggota parlemen Australia. Saya mungkin hanyalah anak sepasang penambang padas yang tak sempat wisuda SD di Desa Tegaljadi, tetapi saya adalah juga warga sebuah negara anggota G20 dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Yang ketika dunia terpolarisasi, presiden saya dengan berani membentuk gerakan non blok. Maka percakapan dengan anggota parlemen Australia sesungguhnya tak lebih dari proses belajar lewat senda gurau dua manusia yang setara dan saling menghormati.”
Thanks.. syukurlah 🙂
Top Bli…BTW kapan yah kembali ke Indo ? Saya pingin Bli bisa mengisi seminar di LIPI terkait batas maritim..thx
Hello Mira 🙂
Saya pulang paling cepat Juli. OK nanti kita kontak2 ya 🙂
kalau saya pasti bingung mau ngomong apa 😀
btw: perkenalannya nggak nyebutin nama depan “I Made”, Bli … hehehe
hahaha
pertemuan pertama yang mengesankan pastinya mas! karena dari sana bisa belajar (meski baru sedikit, karena hanya 30 menit pastilah untuk sekedar brainstorming saja tidak bisa panjang lebar)
belajar tentang bagaimana parlemen Australia bekerja dengan konstituennya, bagaimana menjaga hubungan baik dengan masyarakat negara lain, dan mekanisme kerja parlemen yang lainnya. mudah-mudahan dalam pertemuan selanjutnya (dengan kawan Sharon yang membidangi masyarakat Indonesia) bisa mengagendakan hal-hal yang lebih khusus tentang pendidikan, pasti akan sangat bagus ya mas..
wow, bagaimana dengan parlemen kita sendiri ya?
Thanks Mb Yuni 🙂 Semoga ada cerita lanjutan..
Thanks for sharing bli 🙂
Tulisan anda menarik sekali, Mas Andi. Anda sudah menjadi ‘duta besar’ Indonesia di Australia. Saya setuju, people-to-people interaction yang sudah dan sedang anda lakukan, kadang lebih efektif untuk membuat kedua belah pihak saling mengenal dan saling mengerti. Saya jadi lebih semangat untuk melanjutkan riset kecil-kecilan untuk paper saya tentang people-to-people interaction.
Thanks sdr Paramita
Menarik sekali bli, sepertinya memang kedekatan antara konstituen dengan anggota parlemen memang sudah membudaya di australia, selalu saja ya kl kita bandingkan dengan demokrasi di negara kita, kenyataan tersebut masih jauh panggang dari api, tidak usah dijelaskan bagaimana hubungan wakil rakyat kita dengan rakyatnya yang diwakili 🙂 Patut diapresiasi jika memang itu juga bisa dilakukan di negara kita. Tidak usah muluk2 untuk ktm, mungkin dengan share account tweeter atau fb setiap anggota dpr (kalau mereka mengerti utk menggunakan, krn ada pengalaman anggota dpr yg tdk mengerti cara menggunakan email 🙂 setiap anggota masyarakat bisa melakukan kontak dengan wakilnya. Mungkin sudah banyak anggota DPR yang cerdas2 seperti mas budiman yang sdh menggunakan teknologi utk berkomunikasi, tetapi sy nengok di webnya dpr ri disitu blm ada alamat kontak dimana kita bs memberikan masukan dan saran kpd anggota dewan yang terhormat tersebut. Ya pelan2 mungkin, menarik sekali jika bli andi jg bisa menuliskan sistem perpolitikan di australia sehingga mereka bisa mendekatkan para wakil rakyat dengan rakyatnya, karena bisa jadi memang mungkin ada yang salah dengan sistem perpolitikan kita. thanks for share bli.
Ulasan yg menarik, Arif 🙂
Enligthening
Excellent pak Andi.
Penyampaian kisah yang sarat motivasi bagi yang lain, tapi dengan bahasa dan dialek yang “membumi”. Terkadang orang cenderung berkisah atau berkarya dengan bahasa yang setinggi langit, tapi malah tidak bisa dimengerti apa esensinya.
Benar pak Andi, apapun yang kita lakukan secara murni dan tanpa pamrih akan menuai hasil yang jauh lebih baik, dan tak perlu ragu dan takut untuk memulainya.
when you do right, nobody remember it
when you do wrong, no one would forget it
Salam dan sukses selalu. ts
Terima kasih Pak Thomas 🙂
Ada ya orang sibuk yang masih meluangkan waktu untuk brainstorming dengan orang yang notabene belum dikenal? Perlu di-kloning tuh, trus dijadikan anggota parlemen di Indonesia. Insya Allah banyak aspirasi rakyat yang bisa tersalurkan.
So far belum tertarik jadi politisi 🙂
Nice post yah…..
Ibu yakin ini adalah bagian dari kisah menarik yang patut diceritakan pada anak cucu kita kelak… Proud of you like always ayah… Ibu dan Lita
Makasih ya atas dukungannya Bu. Love u n Lita too 🙂
saya sudah seperti berteman dengan mas andi 🙂
tulisan yang menginspirasi, kesederhanaan adalah sumbangsih yang luar biasa untuk negeri ini. Lanjutkan bang !!!
Terima kasih Mas Amir atas doanya 🙂
Andi,
Terima kasih sudah berbagi informasi..
Iwan, jakarta
Makasih Mas Iwan 🙂
Excellent pak andi. Sudah banyak yg mengungkapkan kebanggaan terhadap bapak… Dan saya pun ingin mengungkapkan hal yg sama..
Berjuang terus.. Meningkatkatkan citra positif pelajar indonesia dimata dunia…(Yg ini serius pak)
Makasih Kang Iwan. Sudahlah Wan, jangan lebay :)) tapi hatur nuhun anyway. Pujian dr orang yg biasanya meledek itu jauh lebih bermakna :))
Excellence work, pak Andi
Semoga pak andi sudah menginformasikan tentang pertemuan pak Andi dengan Sharon tentang batas maritim dengan Australia ke KJRI sebagai bentuk kontribusi PPIA. Diplomasi kita juga menganut konsep diplomasi person to person. Komunikasi tentang batas maritim dengan Australia juga diteruskan ke anggota DPR komisi I bidang pertahanan dan luar negeri. Kebetulan pak Andi sudah punya kontak person anggota DPR, tinggal ke anggota DPR komisi I yang berkompeten. Semoga upaya pak Andi jadi sumbang sih dalam road map dalam menyelesaikan batas wilayah laut dengan Australia khusus dan negara tetangga lainnya.
Sekali lagi lagi, saya support dan keep moving forward
Good luck..
Salam
Muh.Mardiyono, PSU, Thailand
Terima kasih atas apresiasinya Mas 🙂 Saya berencana memuat tulisan ini di media yg lebih luas. Setidaknya demikian cara saya berkontribusi.
Mantap maas Andi,
Benar-benar mencerahkan.
Saya terkesan dengan politisi Austalia yang membuka kantor tidak hanya menjelang pemilu, sehingga konstituen bisa lebih mudah menyalurkan aspirasinya. Terbayang oleh saya, sulitnya bertemu dengan anggota dewan di Indonesia, kecuali punya akses khusus.
Salam
Terima kasih Pak Fahmi 🙂
wow….luar biasa mengispirasi pak Andi
Thanks 🙂
langkah positif bli, mungkin suatu saat sharon menjadi seorang yang sangat penting di Australia dan bli sudah membuka komunikasi yang bersahabat antara Indonesia dan Australia
Thanks.. sekarang pun Sharon sudah jd orang yg sangat penting di Australia 🙂
Saya jadi teringat kisah di sebuah buku yang mengatakan bahwa untuk meminjam utang luar negari saja, pejabat Indonesia merasa perlu naik limousine saat datang ke kantor tempat meminjam. Sementara itu, pihak yang meminjami biasa datang dengan bus atau bahkan sepeda gayung. ……. (like this, saya juga naik bus kok 😉 )
Hidup public transport !