
Peristiwa ini terjadi tahun 2005, di sebuah tempat di Sydney, Australia. Hari itu saya menunggu bus untuk berangkat kerja di sebuah perusahaan pembuat kue (pastry). Jarak dari rumah ke halte bus cukup jauh sehingga saya berangkat pagi-pagi agar bisa tiba di halte sebelum bus tiba. Saya tahu, bus yang tepat untuk saya adalah nomor 357 pada jam 8.25 pagi karena saya harus mulai bekerja jam 9.00 pagi. Saat tiba di bus, saya melihat seorang kawan yang juga orang Indonesia sudah menunggu bus dengan santai. Rina, nama kawan itu. Saya sempat melirik jam tangan, waktu menunjukkan pukul 8.15, berarti saya memiliki waktu sepuluh menit sebelum bus tiba. Lebih dari cukup, saya pikir. Sayapun menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan Rina.
Pada waktu yang ditentukan oleh jadwal yang tertempel di halte bus, ternyata bus belum datang. Saya pastikan berkali-kali, bus memang seharusnya datang jam 8.25. Saya masih berharap bus akan terlambat meskipun bukan kejadian biasa. Jika saja bus terlambat sepuluh menit, saya masih bisa tiba di tempat kerja sebelum jam 9.00, saya pikir. Sekian lama menunggu, bus tidak kunjung tiba, kami mulai panik. Akhirnya kami memutuskan untuk naik taxi.
Malang tak tapat ditolak, ternyata ada proyek pengerjaan jalan sehingga lalu lintas sedikit terlambat. Singat cerita, kami tiba di tempat kerja jam 9 lebih. Artinya kami terlambat dan saya sudah siap dengan segala konsekuensinya. Apapun alasannya, seorang karyawan yang terlambat masuk kerja layak mendapat teguran bahkan boleh dimarahi oleh bos. Saya sudah menyiapkan diri.
Rina masuk duluan dan langsung mengenakan segala atribut layaknya pekerja perusahaan kue. Saya mengikutinya dan mulai mencuci tangan mengikuti prosedur standard yang sudah ditetapkan. Saya dengar dari tempat cuci tangan, Rina disambut dengan ucapan nada tinggi oleh bos kami, seorang perempuan keturunan Inggris. “You are late, Rina. Where is Andi?” dari jauh saya berteiak “Yes, Felicity!” sambil tetap membersihkan tangan. Saya siap dengan segala konsekuensinya. Dimarahi bos kalau terlambat adalah sebuah kewajaran. Saya masih mendengar tumpahan kata-kata berikutnya.
“You guys don’t listen to me! I told you many many times that you have to take a bus number 400 so you can arrive here on time. Busses number 357 do not pass here, I told you. Why don’t you believe me?” Felicity, bos perempuan itu, masih mencerca dengan berbagai kalimat bernada tinggi. Rupanya dia tidak tahu bahwa sudah berbulan-bulan sebelumnya kami memang menggunakan bus nomor 357 dan tidak ada masalah. Usulannya agar kami menggunakan bus 400 juga sudah berlangsung lama dan sebenarnya sudah pernah diingatkan beberapa orang bahwa usulan itu kurang tepat karena bus 400 berhenti di halte bus yang jauh dengan tempat kerja. Rupanya dia tidak tahu menahu tentang bus 357 dan bersikukuh dengan usulannya untuk menggunakan bus nomor 400.
Meskipun sebagian besar orang di tempat kerja tahu bahwa apa yang dikatakan si bos perempuan itu salah, tidak satupun berani membantah. Bos ini memang terkenal galak kalau berbicara, tidak mentoleransi kesalahan dan sangat dispilin. Tentunya dua sifat terakhir ini sangat penting dan cocok sebagai seorang atasan. Meski begitu dia memiliki gaya komunikasi yang ‘mengancam’ sehingga orang-orang menjadi tidak nyaman. Pernah suatu ketika saya diminta untuk membersihkan gudang dengan membuat segala sesuatu yang tidak dipakai lagi. Tidak jarang saya harus membuat barang-barang yang memang terlihat seperti baru. Saat menemukan lembaran kardus yang belum dirakit saya ragu-ragu apakah harus membuangnya atau tidak. Ketika saya tanya baik-baik di berkata “does it look like rubbish to you?” sambil menatap dengan sorot mata mengancam. Saat itu saya masih baru dan memilih untuk diam meskipun ada perasaan tidak enak. Cerita itu sudah berlalu beberapa bulan, saat insiden terlambat masuk kerja itu terjadi.
“Next time you better believe me and take a bus number 400. You cannot rely on a bus that does not pass here.” Felicity tetap bersikeras dengan keyakinannya. Di situlah saya tidak bisa menahan lagi. Jika harus dimarahi karena terlambat, saya terima tetapi kalau dimaki-maki karena dianggap tidak becus membaca jadwal transportasi, ini saya tidak terima. Yang terpenting, Felicity jelas-jelas salah mengenai jadwal bus dan itu artinya dia marah-marah tanpa dasar yang kuat. Dimarahi karena terlambat datang ke tempat kerja bukanlah perkara besar tetapi diremehkan karena dianggap tidak tahu hal-hal kecil seperti jadwal bus tentu tidaklah menyenangkan. Apalagi jika anggapan itu salah.
Saya melawan keraguan dan bergegas mendekati perempuan yg sudah cukup berumur itu. Untuk ukuran bule, dia tidak tinggi sehingga wajah saya bisa beradu dengan wajahnya dekat sekali. Saya merasakan kemarahan yang luar biasa dan lupa segala-galanya.
“Felicity, you don’t know anything about busses” kata saya tegas, pelan dan dengan volume agak tinggi. Tentu saja Felicity terkejut menerima reaksi saya seperti itu. Tidak terbayang di pikirannya kalau saya akan mendatanginya, berbicara sambil menatap matanya lekat-lekat dan dengan volume tinggi. Jelas-jelas dia terlihat terkejut. Belum lagi dia sempat berkata apa-apa, saya melanjutkan.
“I knew what I was doing. Don’t tell me what bus to take because I know the schedule. I have been using the same bus for a few months now. I also knew the bus departed from the same bus stop at 8.25 am. I saw the schedule in the bus stop with my OWN EYES. The problem was that the bus did not stick to the schedule today. No bus came until 8.40 when we decided to take a taxi. That’s why we were late!”
Felicity makin tercengang, semua orang berhenti bekerja sejenak melihat kejadian yang tidak biasa itu. Dalam keterkejutannya Felicity tidak bisa berkata apa-apa karena saya berbicara cepat dan keras.
“In Australia” saya lanjutkan, “we belive in the system. If I cannot rely on the system, whom should I believe? YOU? NO WAY! I don’t believe you!”
Shocked dengan kata-kata saya. Dia tidak bisa berbuat banyak. Baru kali itu saya melihat seorang Felicity diam sekian lama mendengarkan orang lain bicara. Sudah jadi tradisi dia akan mendominasi pembicaraan dan cenderung terdengar menggurui. Saya tidak berhenti menatap matanya, menunggu reaksinya dengan berdebar-debar. Mengingat perangainya selama ini, bukan tidak mungkin dia akan murka dan bisa jadi itu berakibat fatal terhadap ‘karir’ saya. Tidak hanya itu, ada kekhawatiran kalau tindakan saya akan berpengaruh terhadap Rina dan teman-teman karyawan lainnya. Meski begitu, semua sudah terjadi, sudah kepalang basah. Saya siap menerima kemungkinan terburuk sekalipun.
“OK Andi,” katanya dengan nada yang tidak lagi tinggi, “I will check with the government” Felicity berlalu dari hadapan saya dan saya merasa sedikit lega dengan reaksinya yang tidak menambah panas suasana. “Please do” saya berkata dan berusaha lebih tenang. Saya memang mengharapkan dia segera mengecek kebenaran kata-kata saya dengan menghubungi Sydney Busses. Sementara itu teman-teman lain mulai bekerja lagi dengan wajah yang menyimpan sejuta pertanyaan. Diam-diam saya lihat Rina yang melihat saya dengan wajah puas. Saya tersenyum dalam hati meskipun masih was-was menunggu kelanjutan ceritanya.
Samar-samar saya mendengar Felicity berbicara dengan nada tinggi lewat telepon. Saya bisa bayangkan, dia mengajukan complain kepada Sydney Busses atas pelayanan yang kurang bagus pagi tadi.
“Ok Andi, I have checked with Sydney Busses. You were right. I am sorry” katanya tanpa beban dan dengan wajah yang tulus meskipun tidak tersenyum. Saya terharu mendengar seseorang yang biasanya galak itu mengucapkan maaf kepada saya di depan banyak orang. Saya menyadari satu hal, betapa ksatria sesungguhnya perempuan galak ini. “No worries, Felicity. I understand” kata saya sambil berusaha tersenyum. Saya belajar banyak hal sekaligus. Pertama adalah soal bersikap tegas di saat tidak mudah dan bahwa gertakan juga perlu sekali waktu. Kedua adalah tentang kemauan menguji kebenaran informasi dari sumber terpercaya meskipun itu bertentangan dengan apa yang dipercaya. Ketiga, dan ini yang paling penting, adalah keberanian meminta maaf kepada siapapun jika memang terbukti kita bersalah. Ini bukanlah pelajaran baru dan hampir semua orang sudah tahu tetapi pelajaran ini dihadirkan kembali di depan saya dengan cara yang sangat menarik pagi itu.
membanyangkan pak Andi berbicara keras kepada Bu Felicity 😀
soalnya ini ngga pernah terlihat di kuliah. #eh
hati2.. jangan sampai terjadi 🙂
Salut buat Ibu Felicity…. !! xixixixxi…
Saluuut untuk pak Andi, memang pengalaman tentang perjalan hidup manusia tidak hanya ditentukan dengan pendidikan yang tinggi saja. Pribadi yang kuat, tegas,mawas diri dan mau berbagi pengalaman sangat bermanfaat. Sukses untuk Pak Andi
Wah, salut dengan keberanian Pak Andi, saya tidak bisa membayangkan bagaimana harus berhadapan dengan atasan di saat seperti itu.
By the way, izin link blognya ya Pak. Saya sangat terbantu oleh tulisan Bapak pada ‘Wollongong Menyapa’ dan sangat tertarik untuk membaca tulisan-tulisan lainnya. Thanks a lot.
Silakan Mbak 😦 Syukurlah bermafaat
super sekali pak Andi
sukses selalu…:)
jarang2 orang bule dikomplain sama orang Indonesia, dan Bli sudah melakukannyadi negeri orang…:)
pelajaran berharga dalam catatannya bli…salam