Pisang dan rambutan


Dipinjam dari http://blog.baliwww.com/

Dalam perjalanan dari Kaliurang menuju kota Yogyakarta, saya melihat penjual pisang dan rambutan di pinggir jalan. Dari sekian banyak, di deretan paling selatan nampak dua perempuan yang sudah tidak muda lagi menjajakan dagangannya. Seorang perempuan yang sudah layak dipanggil simbah menjual pisang emas yang kuning berkilauan. Di dekatnya duduk seorang perempuan lebih muda menjajakan rambutan. Tergoda oleh buah-buahan itu, saya berhenti tidak jauh dari mereka lalu berjalan mendekat. Asti dan Lita juga turun dari mobil, kami siap membeli pisang. Bagi saya, pisang adalah barang mewah karena harganya memang sedang mahal di Australia. Liburan di Indonesia harus dimanfaatkan untuk menikmati buah-buahan tropis yang berlimpah dan tidak mahal. Bisa dibayangkan berbinarnya saya melihat pisang yang di Australia bisa berharga lebih dari Rp 50 ribu sekilonya berisi 5 atau 6 bulir saja.

Pinten Mbah?” saya bertanya sambil menyentuh setandan pisang yang ranum kuning berkilauan.
Kalih doso Mas” kata simbah dengan polosnya. Saya seperti tidak percaya. Bagaimana mungkin setandan pisang emas yang ranum dihargai hanya Rp. 20.000,- Sekali lagi, pisangnya setandan, bukan sesisir. Dari kualitas dan penampilannya, harga yang pantas seharusnya dua atau tiga kali lipat, demikian saya menduga. Tentu saja ini dugaan orang yang baru beberapa hari lalu bersusah payah meyakin-yakinkan diri untuk tetap membeli pisang di sebuah toko buah di Wollongong meskipun harganya meresahkan, jauh melebihi harga anggur hijau. Meskipun sangat puas dengan harga yang ditawarkan simbah, naluri Indonesia saya tetap ada dan kental. Saya tahu, barang yang dijajakan di pinggir jalan akan ditawarkan dengan harga yang hampir dua kali lipat harga final. Saya optimis, jika pisang ini saya tawar 15 ribu, simbah sudah akan senang dan dengan beberapa saat negosiasi pasti beliau merelakan dagangannya untuk saya.

Gangsal welas nggih Mbah?” saya mencoba peruntungan. Motivasinya hanya sekedar ingin tahu, tentu bukan untuk menawar yang sesungguhnya.
Tambahi kalih ewu nggih Mas” katanya mencoba bernegosiasi. Di saat seperti itulah saya tidak kuasa menahan gejolak perasaan. Pisang satu tandan ini akan dilepasnya dengan harga 17 ribu, kurang dari AUD 2. Sungguh istimewa. Ada rasa tidak tega. Saya telah mentapkan hati, menyusun sebuah rencana.

Asti yang ada di sebelah saya menanyakan harga rambutan kepada perempuan di dekat simbah. Sekantong besar rambutan dengan berat antara 3-4 kilogram dihargai Rp. 7.500,-. Kembali saya heran. Mungkin saya yang tidak tahu harga barang tetapi di saat seperti itu saya tidak ingin menyesuaikan diri dengan harga pasar. Saya hanya melihat bahwa setelah berjuang mewalan panas dan menjunjung barang dagangannya yang berat, perempuan ini hanya akan mendapatkan uang Rp. 7.500,- dari saya. Kami tidak berlebihan secara ekonomi tetapi hampir setiap hari merelakan uang sejumlah itu untuk tukang parker, pengemis dan pengamen yang hanya bertepuk tangan di perempatan jalan. Sementara bagi si perempuan itu, Rp. 7.500,- harus ditukarnya dengan panas terik dan keringat. Polusi dan bising pinggir jalan tentu saja bukan barang baru baginya.

Saya mengeluarkan sejumlah uang kertas dari saku, saya serahkan sejumlah uang kepada simbah dan kepada perempuan di sampingnya. Ketika mereka dengan sigap hendak memberikan kembalian, dengan serta merta saya tolak halus. Belum sempat mereka memahami apa yang terjadi kami sudah menghilang di balik pintu mobil dan melaju. Entah apa yang dipikirkan oleh kedua perempuan pekerja itu, yang jelas kami mnenghabiskan waktu yang lama untuk membicarakan mereka. Tidak mudah untuk menyadari bahwa di sudut kota Yogyakarta masih ada orang yang menjual pisang dan rambutan dengan harga sedemikian di penghujung 2011 ini. Sekali lagi, bisa jadi ini adalah harga yang sangat wajar dan bisa jadi juga saya telah membayar terlalu mahal untuk apa yang saya dapatkan tetapi saya ingin menilai kenikmatan yang ditawarkan secara absolut. Kepuasan yang saya dapatkan dari pisang dan rambutan yang bisa berlangsung tiga hari itu ternyata hanya berharga 28 ribu atau sekitar AUD 3.

Ketika bagi sebagian orang uang 28 ribu itu bisa ditukar dengan semangkuk bakso di Bandara yang sebenarnya tidak begitu diperlukannya, simbah dan perempuan itu menukarnya dengan keringat, terik matahari serta segepok pisang dan rambutan. Yang lebih menarik, 28 ribu itu akan ditukarnya dengan imbalan bukan untuk memanjakan nafsu tetapi untuk melangsungkan hidup yang nampaknya tidak mudah. Saya tercenung lama, tidak bisa berbuat banyak dan tidak bisa berteori hebat. Ada semacam pesan yang mengingatkan untuk lebih sering membeli kebutuhan hidup dari simbah dan kawan-kawannya di pinggir jalan itu. Pelan-pelan saya menyadari, ada kisah yang istimewa di balik kilauan dan ranumnya pisang dan rambutan yang berjejer di pinggir jalan di Kaliurang itu.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

8 thoughts on “Pisang dan rambutan”

  1. jadi ingat nenek tua yang jual gulali 100 rupiah di depan sekolah dulu mas. …
    ditotal paling banter dia cuma dapet 5ribu dari anak-anak sekolah.
    anyway,setuju sama poin yang terakhir…siip…

  2. kok cuman beli 1 tandan ??? bukannya kalo beli 2 tandan simbah itu pasti lebih berbahagia… ? ato 2 tandan dirasa kebanyakan dan takut nggak abis ? kalo takut mubadir ya yg 1 tandan dikirim ke gedong kuning, maka akan tambah 1 keluarga yg berbahagia…. hehehe….

  3. Subahannallah. Kasih tak dapat dinilai dangan rupiah/harta tapi dari hati yang tulus ikhlas tuk berbagi. Begitu indahnya hidup kita bila tali kasih tidak hanya pada keluarga tapi juga untuk orang sekitar. Semoga Tuhan memberkati Pak Andi dan kel.

  4. Kereen pak Andi…
    kebahagiaan memang relatif, dan yang paling berbahagia adalah yang paling bersyukur…
    sukses terus pak Andi 🙂

  5. pengalaman menarik pak Andi,

    Seharusnya presiden, DPR, dan pejabat lain meniru pak Andi ya
    supaya hati nurani mereka terasah tajam akan nasib rakyatnya.

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: