
Awal Juni 2011 saya berlibur di rumah di Desa Tegaljadi di Tabanan. Saat asik di depan laptop karena harus menyelesaikan beberapa tugas, seseorang datang berkunjung. Lelaki 40an tahun itu mengenakan kain, memakai udeng dan berselendang. Dari penampilannya, nampak beliau sedang menjalankan tugas adat. Lelaki itu, tidak lain adalah Kelihan Banjar, kepala adat di kampung kami.
“Gus, tolong datang ke Bale Banjar untuk ngeset timer” kata beliau dalam Bahasa Bali tanpa banyak basa-basi. Jika Anda, para pembaca, tidak mengerti maksud kalimat ini, saya tidak heran karena sayapun sama sekali tidak mengerti maksudnya. Dengan agak tergagap saya bertanya, timer apa yang dimaksud. Menurut pemahaman sederhana saya, timer adalah istilah yang sangat generik. Pikiran saya melayang ke oven di Wollongong, sebentar kemudian ke kamera DSLR Nikon D90 lalu bergerak ke iPhone yang timer-nya biasa saya gunakan untuk berlatih presentasi. Saya tidak yakin apakah Bale Banjar kami kini sudah memiliki oven, Nikon D90 atau iPhone. Saya kira bukan itu maksudnya.
“Supaya Trisandyanya bisa otomatis hidup tiga kali sehari, jam 6 pagi, jam 12 siang dan jam 6 sore” demikian sang Kelihan Banjar menjelaskan. Dengan masih belum begitu paham, saya mulai mereka-reka. Saya duga banjar kami baru membeli suatu alat, apapun itu, yang bisa mengumandangkan Trisandya, mantra sembahyang wajib bagi umat Hindu, tiga kali sehari. Teknologi memang telah mengubah cara kita beragama. Trisandya yang secara otomatis berkumandang tiga kali sehari ini pastilah bukan untuk Hyang Widhi tetapi untuk mengingatkan para umat.
Saya masih menerka-nerka ketika diajak ke Bale Banjar dibonceng motor. Sesampai di Bale Banjar saya lebih tegang lagi karena ada puluhan orang yang sedang bekerja menyiapkan upacara. Hampir semua menyapa dan harus saya sapa. Begitulah tradisi sopan santun di kampung kami. Menarik dan sangat khas. Biasanya saya selalu senang berinteraksi dengan banyak orang. Kali ini agak tegang karena itu artinya pekerjaan saya akan disaksikan banyak orang. Apa kata dunia jika saya, yang katanya anak sekolahan, tidak berhasil membuat Trisandya berkumandang tiga kali sehari. Bagi mereka, ini tentu saja bukan soal ijazah dan almamater, tetapi juga soal agama. Persoalan timer memang bisa menjadi begitu peliknya.
Dengan cemas saya mulai beraksi. Seperti dugaan sebelumnya, memang ada sebuah alat colokan listrik yang dilengkapi tombol dan layar digital. Dugaan saya, jika diprogram dengan tepat, colokan listrik ini bisa mengalirkan listrik pada waktu-waktu tertentu sehingga perangkat elektronik yang dihubungkan ke colokan listrik tersebut akan aktif pada waktu tertentu pula. Jika perangkat elektronik tersebut berupa CD/DVD/MP3 player maka dia bisa memutar file tertentu. Jika filenya adalah mantram Trisandya, maka berkumandanglah Trisandya dalam waktu-waktu tertentu.
Saya baru menduga-duga saja. Mulailah saya beraksi dengan kecemasan, pencet ini dan itu sesuai naluri. Semua menu memang dalam Bahasa Inggris sehingga bisa dimengerti jika Kelihan Banjar memerlukan bantuan orang lain. Dengan naluri seadanya saya mulai mencoba-coba hingga akhirnya saya berhasil memahami cara kerja timer itu. Terus terang saya sendiri baru tahu kalau ada colokan listrik yang dilengkapi timer seperti itu.
Untuk meyakinkan apa yang saya lakukan, sayapun menanyakan apakah ada buku petunjuk timer tersebut. Ternyata ada selembar petunjuk dalam Bahasa Inggris yang sudah agak kusam. Berbekal naluri seadanya dan dipandu oleh lembar petunjuk itu, dalam beberapa menit, tugas saya selesai. Setelah mencoba-coba, setting timer pun selesai dan Trisandya, sejak itu, berkumandang tiga kali sehari di kampung kami. Saya juga sudah ajarkan kepada Kelihan Banjar bagaimana cara mengubah setting jika diperlukan, terutama soal durasi Trisandya yang saat itu belum pasti.
Pelajaran apa yang bisa didapat dari kejadian itu? Hal pertama adalah bahwa tidak jarang orang-orang di sekitar saya tidak begitu peduli ilmu apa yang sesungguhnya saya tekuni. Kelihan Banjar itu bahkan tidak tahu kalau Teknik Geodesi itu tidak terkait secara formal dengan setting menyeting timer. Meski demikian, beliau meminta bantuan saya jelas karena saya dianggap anak sekolahan. Perkara Geodesi yang tidak ada kaitannya dengan colokan timer, itu adalah urusan lain yang tidak dipusingkannya. Menjadi seorang yang dianggap berpendidikan diantara mereka yang tidak, bisa menimbulkan konsekuensi yang tidak terduga.
Kedua, orang-orang yang berpikir sederhana seperi kerabat di kampung saya memerlukan seorang ‘problem solver’, bukan seorang theorist. Ternyata mereka mengharapkan hal-hal yang sangat sederhana, tetapi nyata, dari orang-orang yang bersekolah. Hal ini mengajarkan pada saya bahwa seorang sarjana boleh saja tidak tahu atau tidak bisa melakukan sesuatu karena memang bukan bidang yang ditekuninya secara formal tetapi kualitas kesarjanaanya ditentukan dari caranya bersikap dalam ketidaktahuan itu. Seperti yang pernah diungkapkan Bapak Hassan Wirajuda kepada saya, knowledge is something you posses or something you know where to find. Kita mungkin tidak memahami semua hal tetapi setidaknya kita tahu di mana harus mencari pencerahan ketika tidak memahami sesuatu. Menurut pemahaman sederhana saya, itulah arti kesarjanaan.
Pelajaran ketiga adalah bahwa ternyata saya bisa berperan kecil di komunitas saya bukan karena konsentrasi utama saya di bidang Teknik Geodesi atau batas maritim, tetapi karena ‘fungsi’ tambahan saya yang mau mengutak-atik timer. Hal ini mengingatkan saya pada istilah Marketing in Venus yang pernah diungkapkan ahli pemasaran Hermawan Kartajaya. Sebuah produk itu laku, katanya, lebih sering bukan karena fungsi utamanya, tetapi karena fungsi tambahannya. Sebuah HP lebih laku dari HP lainnya bukan karena bisa digunakan untuk menelpon tetapi karena resolusi kameranya yang lebih tinggi atau karena bisa digunakan untuk twitter dan facebook. Demikianlah saya, sebagai orang awam, memahami Marketing in Venus. Seorang dokter bisa jadi lebih dikenal karena bisa menari, bukan karena kepintarannya mengobati. Seorang surveyor mungkin mendapat kesempatan istimewa bukan karena kemampuannya memetakan tetapi karena keisengannya membuat animasi di power point. Maka dari itu, setiap kali bertemu anak-anak muda yang penuh semangat, saya selalu selipkan kelakar “apapun hobi Anda, asalkan itu baik, teruskanlah. Meskipun hobi itu tidak terkait dengan bidang ilmu yang dipelajari secara formal, suatu saat pasti ada gunanya.”
Setuju sekali Bli Andi. Malah terkadang, “fungsi tambahan” bisa menjadi dominan suatu saat ya 😀
Alat” yang digunaka apa saja???
Alat napi niki maksudnya nggih?
Alat Untuk Membuat Tri Sandya!!
Alat” yang di gunaka apa saja???