
Meski tidak terlalu suka komik, saya pernah membaca cerita Donald Bebek yang terkenal di tahun 80-90an. Satu cerita yang berkesan adalah tentang petualangan Paman Gober (atau tokoh lain, saya sudah lupa) ke Planet Mas. Dia diundang ke Mas untuk membantu penduduk Mas menemukan tanah di planet mereka. Berdasarkan penelitian para penghuni Mas itu, tanah yang ada di Bumi sangatlah bagus untuk bercocok tanam dan menjadi sumber kehidupan. Mereka berpikir, kalau saja mereka berhasil menemukan tanah di Planet Mas tentu saja sangat bermanfaat untuk kehidupan mereka.
Sesampainya di Mas, Paman Gober terkesima melihat emas murni berkilauan. Dia ingin sekali membawa sebongkah emas karea akan sangat berguna di Bumi. Ketika diminta untuk menemukan tanah di Planet Mas, Paman Gober merenung sejenak. Dia beranalogi. Kalau untuk menemukan emas di Bumi orang harus menggali tanah, mungkin demikian juga halnya untuk menemukan tanah di planet Mas. Diapun mulai menggali lapisan emas itu dan beruntung menemukan lapisan tanah. Masyarakat Planet Mas bersorak gembira. Saat kembali ke Bumi, Paman Goberpun diberikan hadiah istimewa. “Tuan Gober”, kata pemimpin Planet Mas, “kami menyampaikan terima kasih atas bantuan Anda menemukan tanah di planet kami. Sebagai tanda terima kasih, kami berikan hadiah istimewa untuk Anda. Ini adalah benda paling berharga bagi kami, sebagai tanda terima kasih yang tak terhingga.”
Paman Goberpun kembali ke Bumi. Di perjalanan dia menduga setengah yakin bahwa bungkusan itu pastilah emas. Bongkaham emas itu pastilah sangat berharga dan bisa membuatnya kaya raya. Sesampainya di rumah, tidak sabar dia buka bungkusan itu dan terlihatlah sebongkah benda hitam. Ternyata bungkusan itu berisi sebongkah tanah. Tanah memang benda yang paling berharga bagi penduduk Planet Mas.
***
Suatu hari, seorang dosen senior di tempat saya belajar di Australia diundang ke Jakarta untuk memberi kuliah. Saat ini, harga pisang di Australia sangatlah mahal. Satu kilo (sekitar enam biji) bisa mencapai AUD 13 atau hampir Rp 120.000. Oleh karena itu, dia ingin sekali makan pisang ketika berada di Jakarta. Setiap kali dijamu, dia berharap mendapat pisang yang sudah lama tidak dimakannya karena harganya cukup mahal. Dia juga tahu, pisang di Indonesia sangatlah murah. Malang tak tapat ditolak, pisang tak pernah berkunjung ke meja makannya. Sebagai gantinya dia selalu disuguhi buah-buahan mewah dan berkelas: anggur hijau. Dosen ini dongkol dalam hati karena anggur hijau itu bukanlah buah yang ingin dia makan saat berada di Indonesia karena anggur hijau bisa dibeli dengan mudah di Australia dan harganya hanya AUD 3 per kilonya atau sekitar Rp. 27.000.
Yang lupa diantisipasi dosen ini adalah bahwa pisang bukanlah termasuk buah berkelas dan mewah di Indonesia. Bisa dipahami, karena rasa hormat dan ingin penghargaan yang tinggi, panitia di Jakarta tidak tega memberikan pisang kepada tamu terhormat dari Australia. Sebagai gantinya, mereka memberikan anggur hijau yang di Jakarta bisa berharga sekitar seratus ribu per kilonya. Buah mahal dan mewah memang pas untuk tamu istimewa.
***
Dua cerita di atas mengingatkan saya bahwa keistimewaan itu memang relatif. Tidak saja keistimewaan itu bertingkat dan berkelas, dia juga tergantung pada siapa yang melihatnya. Emas bisa jadi berharga bagi Paman Gober, tetapi tanah jauh lebih istimewa daripada emas bagi penduduk Planet Mas. Demikian pula pisang yang bagi sebagian orang bukanlah buah yang istimewa, mungkin merupakan buah yang paling ingin dinikmati oleh sebagian orang lainnya karena keistimewaannya. Dalam hal memberi dan menerima, persepsi keistimewaan yang berbeda kadang menimbulkan kekecewaan. Jika hendak memberi sesuatu yang istimewa, mungkin saya harus bertanya lagi “istimewa bagi siapa?”. Seperti halnya tulisan ini yang bagi saya istimewa, bisa jadi tidak bermakna bagi sebagian pembaca. Maafkanlah.
sip….tulisan ini pas banget untuk yang minder, sebagai motivasi bahwa kita juga istimewa tergantung yang memandang….. terimakasih bli….