
Tulisan ini bukan tentang tips belajar Bahasa Inggris. Jika itu yang Anda cari, silakan untuk tidak melanjutkan. Kisah ini diceritakan oleh seorang kawan. Bapaknya memiliki semangat yang hebat, beliau memulai kursus Bahasa Inggris saat usia sudah tidak muda lagi. Layaknya belajar Bahasa Inggris di Indonesia, semua dimulai dengan huruf dan kosakata. Sang Bapak belajar melafalkan huruf lalu berlanjut pada kata ganti orang. Beliau mulai memahami kata ganti orang untuk berbagai subyek. Bahwa, misalnya, she itu adalah untuk cewek, he itu untuk cowok, mereka diganti they, saya itu I dan seterusnya.
Setelah beberapa saat mengikuti kurus, tibalah saatnya guru melakukan pengujian sederhana dengan melemparkan pertanyaan. Satu per satu murid disuguhi pertanyaan sederhana, misalnya “what is your name?” atau “how old are you?” ataupun sekedar “how are you?”. Melihat satu peserta kursus yang sudah berumur, sang guru memberikan pertanyaan yang agak berbeda kepada Bapak kawan saya ini, “how many children do you have?” Bagi sang Bapak, pertanyaan ini tidaklah sulit. Tentu saja beliau bisa menjawab dengan mudah bahwa anaknya ada empat. Untuk menunjukkan kemampuannya, beliau bahkan berniat mengelaborasi bahwa beliau memiliki dua anak cowok dan dua anak cewek. Dengan mantap dan percaya diri dijawablah, “four! two she two he.” Moral of the story: kemampuan kosakata boleh bagus, yang juga penting adalah konteks makna.
Masih dari kawan yang sama, saya pernah mendengar cerita lain. Ada seorang perempuan yang sesungguhnya pintar sedang kursus Bahasa Inggris. Suatu hari, tibalah saatnya untuk latihan menceritakan suatu topik yang diberikan secara acak. Masing-masing peserta diminta berdiri di depan kelas selama sekian menit untuk menceritakan topik yang diundi. Perempuan itu mendapat satu topik menarik: pedestrian. Meskipun beliau termasuk pintar Bahasa Inggris, apes nian dia tidak tahu makna kata pedestrian. Tidak habis akal, diapun bertanya pada kawannya yang duduk di samping. Bagi dia, yang perlu diketahuinya hanyalah makna kata pedestrian karena selanjutnya dia pasti bisa bercerita dengan lancar mengingat kemampuan Bahasa Inggrisnya yang baik. Sang lelaki yang merupakan teman baiknya menjawab dengan mantap dan menjelaskan makna kata pedestrian. Sang perempuanpun mengguk paham dan mulai mengatur strategi cerita sambil menunggu gilirannya tiba.
Berdirilan dia di depan kelas, bercerita dengan sangat lancar. Saat kalimat pertama terucap, teman-temannya sudah terkesima dengan kemampuannya dalam hal pronounciation. Kalimat demi kalimatpun mengalirlah. Wajah-wajah pendengar yang tadi nampak sumringah, antusias dan semangat, berangsur-angsur berubah menjadi gamang dan bingung. Ada apa gerangan? Sang perempuan pintar itu, yang biasanya selalu mendapat respon baik, merasa tidak nyaman dengan perilaku pendengarnya. Ada kebingungan dan keraguan pada wajah mereka yang membuatnya risih. Senada dengan itu, sang guru di kelaspun nampak tidak nyaman dengan senyum yang tertahan. Ini menyebabkan suasana semakin tidak menentu.
Sementara itu, salah satu dari murid di kelas itu tidak bisa menyembunyikan tawanya. Dia adalah lelaki yang tadi menolong sang perempuan menjelaskan makna kata pedestrian. Dalam hati dia dia berteriak girang rasain lu, gua tipu. Masak percaya aja kalau pedestrian artinya ‘orang desa’. Moral of the story: memahami konteks dan struktur bahasa saja tidak cukup kalau kosakatanya miskin.
Jangan-jangan yang ditanyakan itu adalah Bli Andi sendiri ya :).
ha ha ha.. untungnya bukan, Cahya 🙂
hehehehhe 🙂