Berkelakar dengan Tuhan


Dadong Eka seorang pemangku. Layaknya pemuka agama tradisional di desa, Dadong Eka tidak melalui sertifikasi untuk menjadi pemangku. Beliau jadi pemanggu karena dipingit, karena Ida Betara menghendaki. Dadong Eka menjalankan tugasnya tidak dengan surat ijin tetapi dengan keyakinan segenap kerabat yang dilegitimasi dengan pewintenan. Tak ada yang menghormatinya berlebihan, karena Dadong Eka toh manusia biasa saja. Selepas merafalkan mantra-mantra, beliau tetap sibuk ngalih dagdag, menyelusuri sungai dan parit untuk memastikan babi piaraannya tidak kelaparan. Di saat lain, beliau berbusana centang perenang dan menghunus sabit. Layaknya perempuan Bali tradisional, Dadong Eka tetap menyiangi padi, meski panggilan untuk muput karya, mengantarkan kerabat bertemu Sang Pencipta, sudah di ambang waktu.

Saat merafalkan mantra-mantra, Dadong Eka tak menggunakan Bahasa Kawi, apalagi Sansekerta. Doanya polos, sederhana dan apa adanya. ‘Ratu Betara, niki wenten damuh druwene, Made Kondang, tangkil rauh meriki ngaturang tipat akelan medaging taluh abungkul’. Dilaporkannya kepada Sang Pencipta persembahan sederhana Made Kondang berupa enam biji ketupat dan sebutir telur. Semua itu menjadi perlambang ketulusan dan penyerahan diri. Tak pernah terdengar mantra-mantra yang menyeramkan dan tidak dimengerti dari Dadong Eka. Ritual menghadap Tuhan begitu sederhana dan bersahaja saat difasilitasi olehnya. Tidak ada rahasia diantara Made Kondang dan yang dipujanya karena semua pesan dan doa dimengerti oleh kedua belah pihak. Dadong Eka menggunakan bahasa manusia biasa ketika berhadapan dengan Tuhan, mungkin karena beliau yakin, Tuhan pasti mengerti bahasa manusia. Alasan utamanya tentu saja karena umat jelata seperti Made Kondang tak paham bahasa-bahasa mantra yang menyeramkan. Jika menggunakan Bahasa Kawi atau Sansekerta, Dadong Eka takut dituduh memanipulasi doa Made Kondang yang sesungguhnya sederhana.

Suatu kali, Dadong Eka sedang merafalkan mantra-mantra yang masih sederhana. Di sekelilingnya cekikikan kaum perempuan yang menunggu sabar. Umat yang polos itu tetap berbicara hal-hal keseharian saat mengikuti ritual. Made Kondang yang menyaksikan itu bahkan lupa mencermati apakah ini bisa menyebabkan kemarahan Tuhan. Dia terbiasa karena sejak kecil didahapinya. Sanggah, Merajan dan Pura kerap menjadi ruang paling nyaman untuk bergurau. Di sela merafalkan mantra, Dadong Eka tak jarang menyahut dan menimpali. Doanya yang sederhana kerap diselipi senyum, tawa dan kelakar yang menimpali gurauan para umat. Dadong Eka berkelakar dengan Tuhan tanpa beban. Barangkali beliau yakin Tuhanpun akan terpingkal dan jauh dari murka.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

5 thoughts on “Berkelakar dengan Tuhan”

  1. đŸ˜€ I like the spirit of your blog! Tuhan mungkin jg sdh capek dgn ulah manusia sepanjang jaman yg amat suka melabelkan dirinya dgn berbagai bentuk dan impresi kekejaman..kengerian..dan ketakutan.. ketimbang nuansa kedamaian..

  2. Kayaknya dadong Eka sudah BFF (minjam istilah gaul anak muda sekarang) dengan Tuhannya. Jadi ikut merasa senang kalau ada yang menyapa si Dia dengan riang đŸ™‚

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: