
Di tepi jalan di Jati Mulya, Bekasi, saya melihat berbagai jenis buah dijajakan dan tertarik. Terlihat seorang bapak-bapak dengan peci dan baju koko sedang memindahkan biji-biji salak dan diterima oleh seorang pemuda gaul, rambut spike, celana jeans dan sepatu keren yang memegang tas plastik. Rupanya pemuda ini menyukai salak, dia membeli hampir satu tas penuh. Saya menduga-duga. Tanpa banyak berpikir saya mampir dan bertanya “pepayanya berapa Pak?” seraya memandang wajah si Bapak yang masih sibuk memindahkan salak ke tas plastik. Dia memandang saya, tidak menjawab. “Duabelas ribu sekilo Mas” kata pemuda gaul itu. Di dunia yang semakin maju ini, kadang kala tidak mudah membedakan penjual dan pembeli. Hanya dengan melihat penampilan dan ditambah asumsi, seringkali saya salah menduga.
Suatu pagi di sebuah hotel di Kediri di tahun 2002, saya di depan kamar, sedang mengambil koran yang dibagikan setiap pagi. Saya mengenakan celana panjang hitam dan baju kemeja lengan pendek putih dan bersiap-siap akan berangkat ke Shop and Drive, toko retail Astra yang baru dibangun di Kediri. Saya ditugaskan untuk membantu memasang sistem-nya sehingga harus berada di Kediri dalam waktu yang cukup lama.
“Mas-mas, tolong Mas!” seorang bapak berteriak dari kejauhan. Saya duga si bapak juga tamu hotel dan rupanya mobilnya mogok. “Tolong bantuin dorong Mas!” katanya tanpa ragu. Dalam hati saya berpikir. Memang tidak ada salahnya minta tolong kepada siapapun tapi jika ada tamu hotel yang meminta tolong kepada tamu hotel lainnya untuk mendorong mobil mogok, rasanya ada yang tidak beres. Tidak ingin mengecewakannya, sayapun mendekat. “Mas, tolong bantu ya. Coba panggil teman-temannya dong supaya bantuin saya” kata si bapak setengah panik. Saya mengerti urusannya, saya dikira karyawan hotel. Mungkin penampilan saya pagi itu memang meyakinkan sebagai seorang ‘room boy’. Dengan tersenyum saja, sayapun membantunya. Entah bagaimana ceritanya, kemudian ada beberapa karyawan hotel yang lewat dan membantu mendorong mobil itu. Mereka memang mengenakan celana panjang dan baju putih lengan pendek. Inilah cikal bakal masalahnya.
Saya melupakan kejadian itu dan bergegas menuju ke toko Shop and Drive yang tidak jauh dari hotel. Saya berjalan kaki. Cukup menarik, saya melihat mobil yang mogok tadi ada di toko itu. Rupanya si bapak mampir di Shop and Drive untuk membeli aki atau sekedar melakukan perbaikan ringan. Si Bapak melihat saya datang dan menganggukkan wajah tersenyum. Mungkin dia juga heran, mengapa ‘karyawan hotel’ ini datang ke toko alat mobil. Saya pun membalasnya. Melihat saya datang, karyawan Shop and Drive berdiri, menyapa ramah dan hormat. Ini tradisi yang cukup biasa, orang daerah akan memberi hormat yang agak lebih kepada mereka yang dikirim dari kantor pusat Jakarta. Saya tidak tega melihat wajah si Bapak yang terlihat agak bingung. Sayapun meninggalkan tempat itu dengan cepat menuju ruang kantor di belakang. Entah apa yang mereka percakapkan sepeninggal saya.
Sekitar tahun 1997 di sudut kota Denpasar, kami berempat makan di sebuah warung sederhana. Satu dari kami adalah cewek, seorang teman mahasiswi Fakultas Kedokteran di Bali. Saya tidak sebutkan nama para pelaku ini untuk melindungi identitas mereka. Kami para cowok duduk bertiga, bergurau tak henti. Maklum, sahabat karib sejak SMA, sama-sama kuliah di Jogja. Tadinya kami menjemput si cewek untuk diajak makan. Tanpa direncanakan, si cewek dengan sigapnya menjadi juru pesan. Kami bertiga duduk, dia memasan makanan untuk kami. Sambil berdiri dia mengingat-ingat pesanan kami. “Tipat cantok, es gula, kacang..” dia bergumam. Belum lagi sempat mengajukan pesanan, seorang perempuan cantik, berpenampilan sangat trendy dan mendekati teman kami itu. “Mbak, tolong dibungkus tipat tahu tiga sama daluman tiga ya!” kami bertiga tercenung sesaat lalu tergelak hebat, sementara teman kami yang cewek memandang kosong dengan wajah galau. Sementara itu, si cewek cantik trendy bengong tidak mengerti apa yang terjadi. Dalam banyak situasi, banyak orang bisa salah menduga.
sambil membayangkan kejadian diatas..
penulis yang baik selalu bisa membawa pembaca seperti ikut merasakan hal yang dirasakan penulis… 🙂
hhee.. sepertinya pernah juga mengalami hal serupa..