Terpasung di perempatan


taken from http://sunnytarotblog.blogspot.com/

Aku berkelana di sebuah desa, menyusuri jalanan yang terjalin dari bebatuan berukir ulah manusia yang fana. Gelap jalanan itu, berhias temaram lampu minyak. Di tepinya berderet gapura-gapura dan benteng ringkih yang melindungi istana-istana kecil yang mengenaskan. Penjaja hidangan bersemu sendu mematung di sudut-suduh jalan bercahayakan lentera yang juga temaram. Lehernya kurus, keriput dan panjang, wajahnya tirus lesu namun menatap tajam. Rambutnya putih pucat terurai hingga bahu. Telinganya panjang berjuntai menyentuh pundaknya yang telanjang dan keriput. Sesekali dia menyeringai, giginya kehitaman, sisa-sisa tembakau bersembunyi lekat berbaur dengan sirih dan gambir yang pekat dan pucat. Wajah itu tak kan kaulihat di sembarang tempat. Aku melihatnya karena aku adalah sang waktu yang selalu melihat dan mencatat.

Desa ini gelap dan lembab, pepohonan besar jalan menaugi jalan dan membuat lorong yang gelap, pun di kala matahari bersinar. Sesekali guguk burung hantu yang melatari perjalananku. Aku tiba di sebuah perempatan. Terlihat sebentuk wajah perempuan diterangi obor yang redup. Dia bersimpuh, di tangan kanannya dikepit seorang anak kecil yang menangis meronta-ronta. Aku ada di sana, tapi aku adalah sang waktu, aku tidak bisa menyapa, apalagi melarangnya. Diikatnya anak kecil itu di perempatan keramat itu. Tubuhnya dililit kain kasa putih dan tangannya ditekuk ke belakang. Tangisan itu merintih-rintih meminta tolong dan memanggil-manggil. Dia menyayat hati. Usianya yang belia, tubuhnya yang lemah dan kesendiriannya adalah perpaduan sempurna penderitaan itu.

Jangan kau kira aku tidak tahu apa yang terjadi. Perempuan itu telah berkelana ke sana ke mari membawa si kecil itu. Dia memiliki dendam dan dengki di hatinya. Tak sanggup dia menyaksikan kemasyuran dan keberhasilan kerabatnya, dengki telah mengalahkan jiwanya. Dipersembahkannya jiwa si kecil itu ke Pura Dalem dan Mrajapati karena ingin disakitinya kerebatnya dengan merenggut kehidupan si kecil. Aku tahu semua itu, karena aku adalah sang waktu. Tapi kamu tahu, tidak ada yang mudah di jagad ini, apalagi untuk sebuah kejahatan. Tak akan para Dewa mengabulkan persembahan yang menghilangkan nyawa itu dengan mudah. Dan memang tidak dikabulkan. Itulah alasannya mengapa dia mengingat jiwa si kecil tak berdaya itu di perempatan keramat ini.

Tangisan itu masih terdengar lirih saat perempatan menjadi sepi, kosong dan dingin mematikan. Yang terlihat itu adalah jiwa, dinaugi gelap yang sempurna syahdunya karena redup cahaya ditundukkan oleh gulita yang perkasa. Aku adalah waktu, maka aku hanya bisa melihat dan mencatatnya [bersambung].

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: