Tampang


http://images.appleinsider.com

Awal Juni 2006, hampir jam 12 malam

Saya mengendari motor butut saya, melaju dari kampus menuju rumah. Memang hari telah larut, saya terlibat dalam tim penanggulangan gempa Jogja yang menghebohkan itu sehingga bekerja sampai larut malam. Apalagi kalau bukan utak atik peta dan sistem informasi geografis. Sampai di pintu gerbang teknik (portal), saya tertegun karena portal sudah terkunci. Selarut itu, orang tidak saja dilarang masuk Fakultas Teknik, mereka juga tidak bisa keluar. Parahnya lagi, penjaga tidak ada. Saya kebingungan dengan tampang lusuh, jaket kumal dan motor tak terawat.

Saya beranjak mendekati KPTU Teknik UGM, melihat ada seorang lelaki petugas keamanan yang sedang membersihkan plaza. Saya menyatakan maksud saya untuk keluar. “Wah, sudah tutup dari tadi Mas!” kata si bapak dengan wajah yang agak terheran melihat ketidaktahuan saya. “Saya baru saja selesai kerja di kampus Pak. Gimana ya?” saya mencoba meminta pendapat sekaligus bantuannya dengan harap-harap cemas. “Sudah nggak bisa. Sudah tutup gerbangnya Mas!” katanya mulai agak kesal sambil tidak berhenti menyapu. “Kok tutup sih Pak?” lagi-lagi saya bertanya polos karena benar-benar tidak tahu kalau kini Fakultas Teknik ditutup malam-malam. Saya memang baru saja pulang dari Australia setelah dua tahun sekolah di Sydney. “Lho, ndak tahu to!? Sudah lama! Kamu anak mana to?” si bapak bertanya, kali ini dengan tampang sedikit galak.

Rupanya beliau ini menyangka saya adalah mahasiswa. Kalau mau berpikir positif, artinya dia menganggap saya awet muda. Tapi rupanya bukan itu sebabnya. Tampang saya memang tidak meyakinkan sebagai dosen. Dengan motor tua, helm lusuh dan jaket agak kumal, penampilan saya memang jauh dari meyakinkan. Sayapun mengerti. Tidak ingin merusak keyakinan si bapak, saya tidak mengatakan apa-apa kecuali memohon sopan agar dibantu. Dengan sikap yang tenang dan sopan itu, si bapak sepertinya bertanya-tanya dan sedikit ragu kalau-kalau dia tidak sedang berhadapan dengan mahasiswa. Dengan wajah yang penasaran penuh ketidakpastian dia mengantar saya ke pos satpam.

Tenyata para satpam sedang tidur di gedung tidak jauh dari portal. Dengan mata merah dan tampang sedikit kesal mereka terpaksa membukakan pintu. “Ngopo to Mas, kok bengi banget le bali?” [kenapa sih Mas, kok malam sekali pulangnya?] kata salah seorang dengan muka kesal dan kesadaran yang belum pulih. Dari cara bertanya, si satpam sepertinya juga yakin saya adalah seorang mahasiswa yang kurang ajar pulang malam-malam. Sependek pengetahuan saya, pegawai UGM biasanya bersikap sopan dan cenderung hormat kepada dosen. Caranya berucap jelas-jelas menunjukkan dia tidak tahu kalau saya dosen. Sayapun menjawab seperlunya dan berusaha tetap sopan. “Ya Pak, ada tugas bantu bikin peta untuk gempa Jogja.” Saya ingin mengurangi debat yang tidak perlu, yang penting saya bisa segera pulang.

Esok harinya kebetulan sekali ada seorang satpam fakultas teknik yang duduk-duduk bersama karyawan di kampus saya. Saat itu saya mau pulang dan para karyawan seperti biasa menyapa ramah. Teringat cerita semalam,  saya berhenti sebentar duduk-duduk dengan mereka dan bercerita apa yang terjadi. Bagi saya itu cerita lucu saja dan perlakuan seperti tadi malam tentu bukan yang pertama bagi saya, jadi sudah tidak terkejut. “Wah, kurang ajar itu namanya Pak. Lapor Wakil Dekan saja Pak, biar diperingati satpam itu atau dipecat sekalian!” seorang karyawan Geodesi malah emosi. Sementara itu, satpam fakultas berseragam biru yang mendengar semua itu bersemu merah mukanya. Tanpa diminta dia berkata “Saya akan sampaikan ke teman-teman Pak supaya jadi bahan koreksi” sambil agak gugup. “Oh nggak apa-apa Mas.. santai saja. Kan saya yang memang terlambat pulang. Saya tutup percakapan sambil berkelakar dan tertawa, berlalu meninggalkan si satpam yang sepertinya masih dengan kecamuk pemikiran dan pertanyaan. Saat berkendara saya membenarkan saran ibu mertua saya untuk segera membeli baju baru untuk kerja. Tampang, meskipun bukan segalanya, memang penting, setidaknya jika sedang berhadapan dengan para satpam dan petugas kebersihan.

 

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

4 thoughts on “Tampang”

  1. Salam kenal, Bli Andi 🙂

    Kata pepatah ‘Don’t judge the book by its cover’ tapi di Indonesia memang tampaknya pepatah yang berlaku adalah ‘Judge the book by its cover’ 😀

    Saya sering dikira TKI ketika bepergian ke luar negeri tapi ya saya terima senang saja karena perginya memang karena ‘kerja’ hehehehe

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: