Saya pernah menulis di blog ini soal pergulatan batin saya ketika membuat sebuah keputusan penting. Tulisan itu adalah sebuah kontemplasi yg bagi saya sangat mendalam, meskipun bagi orang lain mungkin biasa saja. Keputusan penting itu adalah masalah kebajikan, setidaknya demikian saya memahaminya.
Kisah itu bercerita tentang berbagai kegagalan, terutama bagi Asti, istri saya, dalam mendapatkan beasiswa. Di saat yang sama, saya bersemangat membantu banyak orang untuk mendapatkan beasiswa yang sama. Saya sampai pada satu pertanyaan penting: perlukah dalam hidup membantu sesama, jika ternyata kebaikan itu tidak perpihak pada keluarga saya? Saya telah memenangkan sebuah pertarungan penting: kebajikan harus tetap dijalankan, meskipun di saat yang tidak membahagiakan. Kebaikan idealnya adalah investasi tanpa pamerih, seperti halnya doa yang adalah puja, doa bukan tuntutan untuk sebuah imbalan. Meski sering kali gagal menjalankannya, rasanya nasihat ini sangat layak diperjuangkan.
Tidak sedikit teman yang memberi dukungan. Komentar di blog itu begitu menyentuh dan memberi semangat pada saya dan keluarga. Di suatu saat tak terduga, Asti mendapat sebuah tawaran untuk membantu seniornya di kampus dalam proyek penelitian. Asti sendiri mengakui, tidak sedikit orang yang lebih baik darinya sehingga tawaran ini menjadi semacam kejutan. Persoalan lain muncul. Jika harus menerima tawaran itu, kami akan berpisah untuk sementara karena Asti (dan Lita tentunya) harus pulang ke Jogja. Tidak mudah memutuskan sesuatu yang berat itu. Diskusipun dimulai.
Saya tidak memiliki cukup kebijaksanaan untuk membahas dan meneorikan semua tawaran itu. Yang saya miliki hanya sebuah keyakinan kecil tetapi kuat, akan kesempatan, opportunity. Kata orang, kesempatan tidak datang dua kali. Pernah juga orang-orang pintar mengabarkan tentang ’keberanian mengambil risiko’, atau kisah tentang ’keluar dari kenyamanan’. Apakah situasi kami ini yang dimaksud oleh nasihat-nasihat ternama itu? Entahlah.
Singkat cerita, kami memutuskan untuk mengambil kesempatan itu, dan berketetapan hati untuk membina keluarga jarak jauh. Australia dan Jogja mungkin tidak terlalu jauh jika diantaranya ada cinta dan keyakinan. Satu hal mengejutkan yang juga terjadi adalah, Asti diterima untuk mengikuti kursus singkat di Swiss dan Belgia terkait pekerjaannya di Jogja nanti. WHO berbaik hati membiayai semua perjalanan dan kegiatan itu. Asti, om awighnam astu, akan menginjakkan kakinya di Eropa jika semua hal berjalan sesuai rencana. Kami adalah keluarga sederhana, tak berlimpah dari segi harta. Karenanya, kesempatan berburu ilmu hingga ke benua seberang adalah satu berkah yang layak disyukuri.
Kesempatan belajar dengan beasiswa memang adalah misteri Ilahi. Seperti kata banyak teman, Tuhan pasti punya rencana terbaik untuk Asti. Saya percaya, Tuhan memang bekerja tiada henti. Jikapun kadang saya tidak menyadarinya, itu semua karena caranya yang sangat misterius. Tugas kami memang hanyalah mencoba dan melakukan yang terbaik. Selanjutnya, penghargaan akan datang. Terima kasih Tuhan. [Bersambung…]
Congraculation mbak Asti, semoga bisa mengimbangi suami deh…
Mas Wahyu.. biasanya sih saya yang kewalahan mengimbangi mb asti 🙂
Great story,
Saya sangat yakin Mas Andi dan keluarga akan terus disertai oleh Tuhan. Pengorbanan mas Andi dan saya yakin sedikit banyak mba Asti ikut berkorban dalam segala jerih payah yang mas Andi telah lakukan baik di blog ini dan di manapun juga.
Ya benar, Tuhan tidak akan pernah tertidur menjaga umatNya yang taat dan senantiasa membagikan kebajikan ke sesamanya. Cerita mas Andi adalah salah satu cerita yang mengkonfirmasi kenyataan yang memang seringkali kita sebagai manusia mengandalkan pikiran kita yang terbatas untuk memahami rencana yang di atas sehingga sering melupakan kenyataan-kenyataan seperti cerita mas Andi.
Wish all the best untuk mba Asti, semoga semuanya lancar dan membawa berkah untuk mas Andi dan keluarga dan juga untuk rekan-rekan lain yang rajin membaca blognya mas Andi.
Thanks Ben. Good luck!
Saya bisa merasakan apa yang pernah mas Andi rasakan dulu. Karena kakak saya pun pernah mengalaminya. Kakak saya salah satu penerima beasiswa APS, beberapa kali membantu teman2nya mengisi form aplikasi ADS dan semua teman2nya yang dia bantu berhasil mendapatkan beasiswa tersebut. Tapi saat dia membantu saya (adiknya sendiri) mengisi form aplikasi dll ternyata 2 kali harus gagal di tahap 1 padahal diatas kertas semua persayaratan sudah terpenuhi. Namun kegagalan tersebut membuat kami yakin bahwa ada yang lebih baik di depan sana. Yup, akhirnya saya bisa mendapatkan beasiswa ke Perancis setelah dua kali gagal mendapatkan beasiswa ADS. Mendapatkan beasiswa itu adalah misteri Ilahi yang kita sendiri tidak tahu akan kemana nantinya.
inspiring story
Thanks