Sekitar bulan Juni tahun 2005, saya bertugas menjemput mahasiswa baru dari Indonesia yang akan melanjutkan sekolah di University of New South Wales (UNSW) di Sydney. Tradisi jemput menjemput ini memang sudah turun temurun di UNSW, terutama bagi mahasiswa dengan beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) ketika itu.
Hari itu saya menjemput seorang mahasiswa baru dari Jogja, sebut saja namanya Endah (entah nama sebenarnya, entah tidak). Karena komunikasi yang kurang baik antara kami dan AusAID Liaison Officer di UNSW, kami tidak mendapat informasi pasti tentang kedatangan Endah. Ada tiga kemungkinan tanggal yang kami peroleh. Karena tidak ingin membiarkan teman terlantar di Bandara, akhirnya saya dan dua orang kawan, sebut saja Adhika dan Irfan (mungkin saja ini nama sebenarnya), datang ke Bandara pagi-pagi, hari pertama dari tiga kemungkinan itu.
Setelah menunggu berjam-jam dan sewajarnya Endah sudah muncul di pintu keluar, tidak ada satu orang pun yang menunjukkan gelagat memerlukan jemputan kami. Kamipun bergegas ke counter Quantas untuk bertanya. Saya berdiri agak gelisah di depan seorang lelaki yang sedang mengoperasikan komputernya.
“Who are you, if you don’t mind telling me?” kata lelaki itu begitu saya menanyakan apakah Endah sudah mendarat tau belum. Saya yang berinisiatif jadi juru bicara menjelaskan bahwa kami adalah senior students bla bla bla.
“I am sorry, we are not allowed to reveal this information. It’s against the privacy law” katanya membuat kami kecewa. Meski dekimian, saya tidak patah arang. Sayapun mencoba menjelaskan dengan wajah sedikit memelas bahwa Endah baru pertama kali ke Australia, dia akan mengalami masalah jika tidak bertemu kami, kami bertanggung jawab atas keselamatan dan kenyamanannya, dan seterusnya dan seterusnya. Lelaki itu mungkin merasa cukup teryakinkan (atau kasihan).
“What’s her sure name?” lelaki itu bertanya dan saya pun menjawabnya. Setelah dia kembali berkutat dengan komputernya dia meggeleng.
“Sorry, mate! I cannot tell you. I will be in a big trouble if I do.“
“Please…” saya berharap
“OK, let me tell you something. If I were you, I will come here again tomorrow at around 8.30 in the morning“
“Is she coming tomorrow?” saya bertanya dan berharap.
“No, I am not saying that. I said, If I were you, I WILL come here again TOMORROW at 8.30 in the morning to pick up Endah.” Lelaki ini berbicara dengan menatap mata saya, dengan wajah penuh misteri dan alis mata bergerak begitu rupa. Dia menegaskan kata “will” dan “tomorrow” dalam kalimatnya. Saya menatapnya dan tidak menjawab. Dia tersenyum dan berkata.
“Sorry, I cannot reveal the information. It’s against the law.” katanya dengan senyum yang misterius.
“Thank you, so much mate!” saya menjawab dengan wajah cerah.
Besoknya, kami mendapati Endah muncul dari pintu keluar dengan sebuah koper. Tentu saja kami datang lagi ke Bandara karena telah mencoba “reading between the lines” atas pernyataan lelaki di counter Quantas kemarin. Selalu saja ada jalan untuk memberi dan menerima informasi dengan cara implisit.
Hmmm…, rasanya kadang terlihat saklek ya Bli, tapi itu memotong lumayan banyak birokrasi kalau mau mendapatkan informasi yang riil.
Read between the lines ya… You’re a brilliant one!
ada yg sebenarnya Endah datang jan 2006, muncul dari pintu keluar bandara Sydney dengan koper rusak dan wajah kuyu, dijemput oleh Andi, Adhika dan Irfan dengan penuh semangat. Thousands thanks again!
Wah, sudah disamarkan waktunya.. malah yg terlibat ngaku sendiri he he. Pkbr Endah?
To make sure that I am really here… hehe…