Cinta sederhana


Newcastle
Men Suda (sebut saja demikian), tetangga saya seberang jalan, patah tangannya. Sebuah kecelakaan kendaraan roda dua yang cukup parah membuatnya menderita patah tulang. Saat itu paruh akhir dekade 1980an, saya belum genap 10 tahun dalam usia. Setiap hari, tanpa diminta oleh siapapun, saya selalu berada di rumah Men Suda. Dek Cung, anaknya nomor dua, memang adalah sahabat saya. Sahabat untuk mancing lindung dan membuat layangan. Dek Cung adalah pahlawan tak tertandingi urusan membuat layangan: be-bean, bucu dua, kedis-kedisan pre-prean, ikut-ikutan. Semua jenis layangan dia bisa.

Di sela membuat layangan saya selalu menemani Men Suda, duduk di dekatnya yang tergeletak lemas. Saat tangannya bergerak ringkih, saya ulurkan tangan. Saya tarik selimutnya, atau pindahkan bantalnya atau rapikan sepreinya. Saya menikmati betul pekerjaan itu. Saya betah. Tak ada, di masa seusia itu, yang mengajarkan arti surga pada saya. Belum juga terbayang makna moksa, tak juga pamerih, tak pula ganasnya siksa api neraka. Saya bahkan belum mendengar sadisnya titi ugal-agil yang konon tak mungkin diseberangi oleh arwah penuh dosa. Semua itu tidak saya tahu, tidak juga pernah saya dengar ceramah para cendikia tentang kebaikan. Saya melakukannya benar-benar hanya karena nikmat. Nikmat memindahkan bantal dari satu pojok ke pojok lain, nikmat merapikan selimut agar menutupi kaki Men Suda. Nikmat yang tak terbayar oleh apapun, sekaligus tak dimotivasi oleh segelintirpun iming-iming dan janji-janji.

Saya merindukan lagi bocah itu. Bocah yang memindahkan selimut atau bantal tanpa upah, tanpa iming-iming surga. Saya merindukan lagi ketulusan yang kadang telah saya kubur di bawah tumpukan pamerih dan materi. Saya kangen pada masa yang tak sibuk dengan kalkulasi subakarma dan asubakarma untuk mengkapling-kapling surga. Saya merindukan bisa memberi cinta yang tanpa disadari. Seperti seorang bocah kecil belum genap 10 tahun yang tersenyum puas karena telah memindahkan bantal dan selimut Men Suda, atau sekedar menciptakan senyum pada wajahnya  yang tertuang dalam segelas air putih. Selamat Valentine.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

3 thoughts on “Cinta sederhana”

  1. Pertama saya tertarik pada judul yang Bli Andi buat, “Cinta Sederhana”. Saya terkadang melihat kembali, dan bertanya “perlukah cinta dinyatakan sebagai sesuatu yang sederhana?” atau “adakah cinta yang kini begitu kompleks?”

    Tapi kebanyakan dari kita terkadang terjebak dalam kompleksitas, kita bukan lagi bocah kecil yang berlari kencang di persawahan, tidak peduli lumpur, sungai, parit, kandang sapi dan lain sebagainya untuk mengejar sebuah layangan putus.

    Dulu berlarian seperti itu ada rasa bebas yang luar biasa, melihat di sekitar kita juga ada langkah-langkah kecil yang berlari tak kalah kencangnya. Dan senyuman serta tawa pun ikut tergelak bersama langkah-langkah yang semakin dipacu.

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: