Sepertinya baru kemarin sore saya menulis sebuah posting dengan judul yang terakhir di blog ini untuk memperingati berakhirnya tahun 2008, sekarang tiba-tiba saya sudah harus menulis sebuah ‘rekap’ untuk tahun 2009. Waktu memang cepat sekali berlalu, kadang saya tidak sempat menikmatinya, apalagi memetik pelajaran. Meski mungkin tidak banyak yang terjadi, tahun 2009 tetap layak saya catat sebagai masa yang penting dalam hidup.
Tahun baru 2009 saya peringati di sebuah kapal survei penelitian milik Jerman, Sonne, di tengah Samudera Hindia, sekitar 400 km dari daratan terdekat. Saat itu saya mendapat kesempatan untuk dilibatkan dalam survei landas kontinen Australia bersama 5 mahasiswa lain di Asia Pasifik. Meski partisipasi saya di Sonne dihiasi dengan beberapa adegan muntah di kamar mandi, kesempatan itu tetaplah luar biasa dan saya banyak belajar. Melewatkan Natal dan Tahun Baru di tengah laut tentu adalah pengalaman istimewa. Ada pula catatan perjalanan yang ingin saya bagi kepada para kerabat dalam waktu dekat.
Setelah kepulangan saya dari berlayar, Asti mendapatkan pekerjaan setelah menunggu tidak kurang dari enam bulan. Sepertinya memang sudah diatur begitu rupa, kami mensyukuri segala kehendak Tuhan. Sejak Februari, saya mulai menulis di Jakarta Post seperti tahun-tahun sebelumnya. Ada dua tulisan terbit sekaligus pada bulan Februari. Bulan Maret juga ada dua tulisan di opini Jakarta Post. Sementara itu, di sela-selanya ada satu artikel di Jurnal Contemporary South East Asia tentang landas kontinen yang saya tulis bersama Clive.
April 2009, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Kota Tokyo untuk acara konferensi dalam rangka reuni alumni UN-Nippon Foundation Fellowship. Saya yang ketika itu menjabat sebagai representative (presiden) alumni mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Mr. Sasakawa, orang nomor satu di Nippon Foundation. Konon, orang Jepang pun tidak banyak yang sudah bertemu orang top ini.
Di Tokyo, saya juga aktif menggagas aktivitas alumni bersama teman-teman. Salah satunya yang monumental, saya membidani kelahiran Newsletter alumni dan websitenya. Saya banyak belajar kolaborasi secara virtual dan aspek teknis teknologi informasi, terutama website development. Dengan passion yang cukup, ternyata saya bisa.
Saya juga [tetap] menulis untuk Jakarta Post dan Asian Survey Magazine di bulan April 2009 dan berlanjut di bulan Mei. Bulan Mei ini saya berusia 31 tahun, sebuah usia yang bisa dianggap tua, bisa juga belum apa-apa. Kalau melihat Prof. Jacub Rais, Prof. Hasjim Djalal atau Prof. Victor Prescott yang masih aktif di usia 80an tahun, rasanya saya masih sangat muda, masih anak bawang dan belum apa-apa. Namun begitu melihat kabar tentang Prof. Tansu di Amerika yg berumur di bawah 30 tahun atau rekan-rekan ilmuwan Indonesia yang berkarir di luar negeri seperti yang ditampilkan Kick Andy, saya sesungguhnya merasa sudah cukup tua. Demikianlah usia: dewasa itu pilihan kata orang, meskipun menjadi tua itu pasti.
Pada bulan Juni 2009, saya menantang diri sendiri untuk mengambil satu pekerjaan besar: menjadi ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia di Wollongong. Mungkin saya memang ditakdirkan untuk sok peduli dan tidak bisa diam. Melihat PPIA yang sesungguhnya berpotensi tetapi tidak begitu aktif, saya terpanggil. Sejak tanggal 5 Juni, saya tercatat sebagai Presiden PPIA Wollongog periode 2009-2010.
Di bulan yang sama, Juni 2009, kasus Ambalat merebak lagi. Tulisan saya muncul di Antara pada tanggal 2 Juni dan di Kompas tanggal 4 Juni. Teringat masa lalu di tahun 2005, saya terus terang cukup tegang dan harap-harap cemas menunggu respon kolega di Indonesia perihal tulisan saya di Kompas. Untuk persoalan sensitif seperti Ambalat, urusan bisa runyam kalau saya ‘salah’ dalam beropini. Untunglah sepertinya tidak ada hal yang terlalu kontroversial, meskipun adegan telepon menelpon dan klarifikasi dengan beberapa pejabat di Indonesia tetap terjadi.
Masih di bulan Juni, satu buku karya saya diterbitkan oleh UGM. Buku ini adalah kumpulan tulisan saya di Jakarta Post yang ternyata sudah berjumlah 30 artikel. Buku “Beyond Borders” ini diterbitkan dalam rangka 5o tahun Teknik Geodesi UGM, yang penerbitannya didukung oleh alumni dan kampus Teknik Geodesi UGM. Buku ini adalah pengobat kegagalan saya menerbikan buku di tahun 2008.
Bulan Juli 2009, satu makalah yang saya tulis bersama Clive terbit di Australian Journal of Marine and Ocean Affairs tentang garis pangkal Indonesia. Ini adalah artikel saya yang pertama di journal ini. Sebuah pengalaman yang menarik.
Bulan Agustus saya mengikuti dua konferensi di Bali: SEASC 2009 dan ABLOS seminar. Saya memaparkan satu makalah di masing-masing konferensi. Adalah kehormatan bagi saya dapat bertemu dengan banyak pakar teknis hukum laut, baik dari Indonesia maupun internasional. Yang jelas, itulah kali pertama saya bertemu dengan Prof. Etty Agoes yang terkenal itu. Sempat juga bertemu kembali dengan Prof. Hasjim Djalal. Di usia yang tidak muda lagi, kedua orang ini patut menjadi panutan dalam urusan kekuatan berpikir.
Selama bulan Agustus ini, saya menghabiskan waktu di Indonesia bersama Lita, sedangkan Asti ‘tertinggal’ di Sydney. Selama berada di Indonesia, sempat juga saya menulis untuk The Jakarta Post. Sebuah buku yang salah satu bab-nya saya buat juga diluncurkan di Jakarta. Buku tersebut berjudul “Beyond the Water’s Edge“, diterbitkan oleh ISEAS Singapura. Saya kembali ke Australia akhir Agustus 2009 dan kembali beraktivitas seperti biasa.
September 2009, kami memperingati ulang tahun Lita yang ke-4. Kawan-kawan dari Sydney dan sebagian Wollongong datang meramaikan. Berulang tahun di saat Bulan Puasa tentu saja berbeda rasanya dan terbatas dalam urusan undangan. Sementara itu, saya tetap berkegiatan untuk PPIA, mulai dari pameran di kampus hingga diskusi rutin bulanan yang cukup seru. Pada bulan inipun ada satu tulisan di Jakarta Post tentang perbatasan.
Oktober adalah bulan paling seru di tahun 2009. Bulan ini saya menginjakkan kaki pertama kali di Paris, kota cahaya dan kota cinta. Selain itu, saya memenangkan Olimpiade Karya Tulis Inovatif yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Perancis. Sebuah perjuangan yang tidak mudah akhirnya berbuah manis, seperti yang pernah saya catat di blog ini. Dengan kemenganan ini, saya berhak atas hadiah yang akhirnya membuat saya tergoda untuk mempelajari fotografi. Selain perjalanan ke Paris, PPIA juga berhasil mengadakan Indonesia Day yang cukup seru untuk mempopulerkan batik dan seni tari tradisional Indonesia di kampus Wollongong.
Pada bulan November 2009, saya bersama PPIA berhasil mengadakan BBQ yang cukup besar dari segi jumlah peserta. BBQ ini bisa dikatakan yang paling ramai peserta (hampir 150 orang) selama dua atau tiga tahun terakhir yang digagas oleh PPIA Wollongong. Meski lelah, saya dan pengurus PPIA merasa puas dan lega.
Awal bulan Desember saya mengikuti lokakarya di Bali karena saya diminta untuk menjadi bagian dari tim peneliti National Bureau of Asian Research (NBR) nya Amerika. Fokus dari penelitian ini adalah Energy Security di East and Southeast Asia. Terima kasih pada Clive yang telah melibatkan saya dalam tim penelitian bergengsi ini. Selain mengikuti lokakarya, saya juga mengajak Asti dan Lita berlibur di Indonesia selama dua minggu.
Di tahun 2009, ada hal penting yang terjadi yaitu kedatangan seorang rekan peneliti Indonesia ke ANCORS Wollongong. Sora Lokita, rekan dari Bakosurtanal, adalah ‘penerus’ saya di UN-Nippon Foundation Fellowship. Selama kurang lebih 6 bulan kami berinteraksi dan menemukan banyak kesesuaian dalam pemikiran. Semoga kolaborasi ini akan berjalan semakin baik di masa depan. Terkait dengan ini, saya telah mendirikan sebuah website www.borderstudies.info untuk mewadahi aktivitas dan gagasan seputar dunia perbatasan.
Hal penting lain adalah saya tetap bisa menjaga tradisi mendukung mahasiswa untuk presentasi di forum ilmiah. Farid Yuniar, yang sakarang sudah menjadi alumni bekerja, sempat memaparkan makalahnya di forum nasional di Jogja. Saya berharap tradisi ini tetap berlanjut, meskipun nampaknya akan sulit untuk tahun depan karena saya tidak berada di Jogja dan semakin sedikit mahasiswa yang saya kenal.
Dibandingkan tahun 2008, tahun 2009 mengalami beberapa kemunduran. Kalau tahun 2008 saya mengunjungi 3 negara baru, tahun 2009 hanya dua negara baru. Jika tahun 2008 ada 104 tulisan di blog ini maka pada 2009 hanya ada 60 an tulisan. Sebuah penurunan yang cukup drastis. Namun begitu, ada beberapa kemajuan: saya menerbitkan satu buku tahun 2009 sementara di tahun 2008 tidak. Dari segi organisasi mungkin sama, saya jadi presiden alumni UN-Nippon di tahun 2008, sedangkan di tahun 2009 menjadi ketua PPIA Wollongong. Meskipun lingkup geografisnya berbeda, beban menjadi ketua PPIA jauh lebih tinggi.
Tahun lalu saya berjanji pada diri sendiri untuk lebih banyak membaca. Entahlah, saya belum sempat membandingkan jumlah buku yang saya baca di dua tahun berbeda tersebut. Semoga jumlah buku yang saya baca tahun depan bisa meningkat lagi. Selain itu, yang paling penting, saya perlu lebih fokus pada studi saya, tesis saya, yang tahun 2008 sepertinya sedikit terpinggirkan. Semoga.
Akhir kata, saya merasa telah melewati tahun 2009 dengan sebuah semangat dan kenikmatan, meski banyak yang perlu diperbaiki. Harapan saya hanya satu: tetap optimis menghadapi 2010. Selamat tahun baru!
Selamat tahun baru 2010 Bli Andi, semoga bisa memberikan yang terbaik kembali di tahun yang baru ini.
Suksma,
Cahya.
woho, review yang lumayan lengkap untuk makin mengakrabi anak muda hebat dari Bali. Semoga bli bisa berbagi dengan anak2 muda Bali nanti. MIsalnya baliblogger dulu deh. apalagi topiknya unik, soal perbatasan, dan semacamnya. hhehehe… ketauan ga terllau ngerti keahlian bli 🙂