Tiga puluh satu tahun lalu, lembar pertama buku sejarah diri saya dimulai. Dilahirkan di sebuah keluarga sederhana di Desa Tegaljadi, tak banyak mimpi yang digantungkan tentang saya oleh orang tua dan kerabat ketika itu. Kelahiran saya jauh dari persiapan menghadapi masa depan dengan asuransi, jauh juga dari kerlip blitz kamera karena memang bukan bagian dari kehidupan orang tua saya. Kelahiran saya, seperti halnya kelahiran bayi-bayi lain di desa itu, adalah satu saja dari sekian banyak. Sama sekali tidak istimewa.
Tak terhitung banyaknya hal yang terjadi dalam hidup saya hingga kini. Tak semuanya istimewa, tak semuanya layak dicatat. Saat usia beranjak dewasa dan akhirnya tua, rasanya tak salah mengingat-ingat apa yang berkesan dan menjadikan saya hingga hari ini.
1985: Saya tidak bisa tidur nyenyak. Kalaupun ada harapan tinggi yang pernah dibebankan oleh orang tua di pundak saya, itulah salah satu dari sangat sedikit. Saya harus mendapatkan juara satu di SD. Kalau tidak maka kepaa saya akan dilubangi dan diganti otaknya. Itulah perkara paling serius yang saya selalu pikirkan dari malam ke malam berikutnya. Saya rasa ini adalah urusan paling serius di dunia dan saya tidak ingin mengalaminya. Pagi itu, saya gemetar duduk di antara kerumunan orang menyimak dengan seksama ucapan pembawa acara membacakan nama-nama peraih juara kelas. Kaki saya lemas terkulai tak bertenaga ketika yang disebut sebagai peraih juara satu untuk kelas 1 SD 1 Tegaljadi adalah “I Nyoman..” Nama saya Made, itu bukanlah saya. Sebelum jantung saya jatuh dan tinggal sejarah, lanjutan ucapan itu melegakan. Pembawa acara itu berteriak “I Nyoman Andi Arsana”. Meski salah, semua orang yakin, itu adalah saya. Tepuk tangan bergemuruh memberi energi pada saya yang melangkah gontai.
1989: Saya memimpin teman-teman kelas 6 SD 1 Tegaljadi untuk mendirikan usaha yang kami sebut koperasi. Waktu itu saya berumur 11 tahun, tidak banyak yang saya tahu. Yang pasti saya bisa mengatur jadwal teman-teman untuk bergiliran naik sepeda ke Pasar Marga membeli barang dagangan yang saya tuliskan sendiri daftarnya. Modal kami seratus rupiah setiap orang, terkumpul uang Rp. 2200. Dengan itu kami memulai usaha jualan. Selama hampir enam bulan berjualan, usaha ditutup karena harus konsentrasi EBTANAS. Masing-masing orang mendapat Rp. 1100. Bukankah itu sesuatu yang luar biasa? Entahlah!
1990: Saya pentas tari Bali Gopala untuk pertama kalinya. Bukan saja itu yang berkesan, saya peraih nem tertinggi di SD 1 Tegaljadi dan diterima di SMP 2 Marga.
1991: Saya berdiri di tengah lapangan itu. Matahari terik. Semua orang berpakaian putih-putih, berbaris rapi menyaksikan saya di tengah lapangan. Terik matahari tak mampu membuat saya menderita. Yang ada adalah kebanggaan. Saya menjadi peraih nilai tertinggi di kelas 1 SMP 2 Marga. Peristiwa ini tidak mudah saya lupakan.
1992: Untuk pertama kali dalam hidup saya merasakan pemilu, pemilihan umum untuk menentukan ketua OSIS SMP 2 Marga. Saat itulah, untuk pertama kali, saya melihat tabulasi berderet-deret di samping nama saya dan saya dikukuhkan jadi seorang pemimpin yang terpilih secara demokratis.
1993: Bapak Sukaria, guru senior di SMP 2 Marga berucap dan mengusik hati saya. NEM SMP 1 Marga tahun ini bagus sekali. Mereka bisa meraih NEM 49, sebuah prestasi yang luar biasa. Saya tahu, tahun lalu, SMP kami hanya meraih NEM 46 dan pastinya di bawah SMP 1 Marga. Saya berpikir masih ada peluang bahwa NEM sekolah kami tahun ini meningkat, meskipun mungkin tetap di bawah SMP 1. “Untunglah kita bisa mengalahkan mereka tahun ini” demikian Pak Sukaria menghentak dan membuat saya senang bukan kepalang. Sama sekali tak penting, siapa peraih nem tertinggi itu, yang jelas pastilah nemnya tinggi sekali, lebih dari 49.
Di depan ruag guru tiba-tiba langkah saya terhenti. Ada sebuah Vesva berhenti tepat di depan saya, ibu guru muda itu berucap “Selamat Andi, NEMnya 53,66.
1994: Semua orang nampak tegang. Para anggota Musyawarah Perwakilan Kelas di SMA 3 Denpasar punya hajatan besar siang itu. Mereka tak berkedip menyaksikan tabulasi berderet-deret di samping enambelas nama yang terpampang di depan mereka. Untuk kedua kalinya saya terlibat pesta demokrasi dan menyaksikan garis-garis berderet di samping nama saya. “Dengan demikian, yang terpilih sebagai ketua OSIS SMA 3 Denpasar periode 1994-1995 adalah I Made Andi Arsana” demikian suara panitia pemilu disambut gemuruh tepuk tangan para hadirin. Sejarah berorganisasi yang sesungguhnya dimulai.
1995: Dan akupun mengangkat tangan kananku, menunjukkan tiga jari dengan tegas ke angkasa. Puluhan siswa berbaju batik lengan panjang yang memadati gedung itupun berdiri. Mereka tertib tak bersuara mengangkat tangannya tinggi-tinggi menunjukkan tiga jari mereka. Hari itu sejarah mencatat, lomba cerdas cermat hukum dan pembangunan tingkat Provinsi Bali menjadi milik SMA 3 Denpasar. Aku membawa kembali piala itu pulang ke tanah Trisma dan mengukirkan kebanggaan pada adik-adik kelas 1 yang kecintaannya akan sekolah baru saja ditumbuhkan.
1996: Pak Suandi memanggilkan, menatapku lekat-lekat di mata. Sambil menggigit bibirnya guru kesenian SMA 3 itu mengulurkan tangannya. “Selamat, kamu diterima di Teknik Geodesi UGM!”
1997: Saya tumbuh sebagai remaja menjelang dewasa. Olah batin dan pikir yang terlepas dari banyak norma membuat saya mungkin menjadi lebih liar dan lugas. Saat itulah saya menyatakan cinta. Cinta yang mungkin tak ubahnya seperti cinta monyet yang malu-malu, atau hanya sekedar nafsu yang dibungkus bunga-bunga puisi agar terlihat indah. Yang jelas itulah saat terpenting dalam hidup saya. Asti datang menawarkan banyak hal yang selama ini belum saya sadari. Cinta memang bisa membuat orang berubah. Kalau tetasan air bisa melubangi batu karang, maka seorang Asti bisa menjadi leher bagi kepala saya.
1998: Ada empat orang yang bertarung sore itu. Untuk kestiga kalinya saya melihat nama saya disandingkan dengan nama-nama lain dan dipertarungkan. Tabulasi juga berderet-deret di sebelah nama saya. Siang itu, saya mengumpulkan 50 suara meninggalkan rival saya yang memperoleh dukungan setengahnya. Saya terpilih menjadi Ketua KMHD UGM.
1999: IP saya 1,2. Ini prestasi paling penting yang selalu saya ceritakan kepada siapa saja. Tidak usah bertanya apa sebabnya. Sebabnya hanya satu yaitu kebodohan. Namun begitu, dalam kebodohan itu saya tetap menjaga satu sifat penting yang tidak saya hilangkan sampai kini yaitu “kenakalan”. Dengan kenakalan saya mengikuti berbagi lomba, saya terdampar ke Pyongyang, Korea Utara. Kalau sekarang saya ceritakan ini kepada kolega saya, mereka bisa merinding dan berdecak kagum. Tidak banyak makhluk manusia di muka bumi ini yang diberi ijin pergi ke negeri Kim Il Sung tersebut.
2000: Suara perempuan muda di seberang telepon terdengar merdu. “Semua biaya perjalanan akan ditanggung, Anda hanya perlu menyerahkan bukti tiket saja. Selain itu, ada hadiah uang yang akan diberikan. ” Menggugat Korea, demikianlah judul tulisan saya yang dinyatakan sebagai pemenang harapan satu lomba penulisan essay tentang Korea tahun itu. Itulah kali pertama saya ke kedutaan Korea Selatan, diliput oleh Suara Pembaruan dan RCTI.
2001: “Mawar yang kita tanam akan segera berbunga” demikian saya tulis di lembar persembahan skripsi untuk Asti. Sidang hari itu sangat singkat, tidak banyak tanya dan komite berani mengumumkan nilainya saat itu juga. Skripsi saya lulus dengan nilai A. Di tahun yang sama saya masuk Unilever, perusahaan consumer goods yang terkenal itu. Tak puas dengan Unilever, saya pun masuk Astra. Bersyukur memiliki calon istri yang membiarkan saya bertualang.
2002: Sejarah besar terjadi. Saya diterima sebagai dosen di Teknik Geodesi UGM setelah bersaing dengan 10 orang lainnya yang hebat-hebat. Tak banyak yang bisa saya sampaikan kecuali bersyukur. Masih terbayang bagaimana psiko tesnya, wawancaranya yang melewati 3 panel, dan rapat finalnya. Siang itu di bulan Juni, saya di-SMS oleh Pak Prinug. Sejarah karir akademik saya dimulai.
2003: Sebenarnya tahun in saya dapat beasiswa AusAID (ADS) untuk studi master, tetapi yang lebih menarik diceritakan adalah pernikahan dengan Asti. Dua orang yang sesungguhnya belum dewasa sempurna itu mengikatkan janji. Semua orang bersuka cita dan bergembira. Pesta putra mahkota, anak kelian banjar yang istimewa. 14 April 2003, sejarah keluarga Arsana dimulai.
2004: Saya menginjakkan kaki di Sydney untuk pertama kalinya. Selama dua tahun ke depan, saya akan berada di tanah kangguru ini untuk menuntut ilmu. Inilah awal pembangunan jejaring internasional bagi saya.
2005: Dari sekian banyak hal yang terjadi, yang paling layak dicatat adalah kelahiran Lita, putri kecil kami. Penerus keluarga Arsana telah menjelma. Hidup saya jauh lebih bergairah dari sebelumnya. Saya lebih produktif. Untuk pertama kalinya tulisan saya dimuat di Jakarta Post. Tahun itu juga konferensi internasional saya yang pertama kali, meskipun di Jakarta. Pertama kali ke Adelaide untuk konferensi, dan mendapat penghargaan sebagai presenter terbaik dalam acara Annual Researh Seminar di Sydney.
2006: Ke Bangkok pertama kali untuk konferensi. Tahun ini juga pertama kali saya secara dominan ada di kampus dan mengukur produktivitas diri. Delapan belas publikasi adalah angka yang tidak terlalu buruk walaupun menurun dari tahun sebelumnya ketika saya berada di Australia.
2007: Saya mendapat kesempatan mengikuti riset dan internship selama total 9 bulan di Australia dan New York (gedung PBB). Saya adalah penerima UN-Nippon Fellowship. Untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di tanah Amerika, menyentuh Patung Liberty dan mengamati Gedung Putih dari beberapa meter.
2008: Saya mendapat beasiswa Australian Leadership Awards dan Alison Sudradjat Awards untuk meneruskan PhD di University of Wollongong, Australia. Bulan Juni saya terpilih sebagai alumni representative untuk program UN-Nippon Fellowship. Di tahun yang sama, saya menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah Eropa. Selama Agustus 2008, saya menjelajah Norwegia, Jerman, dan Belanda. Sebuah perjalanan yang layak dicatat.
2009: Saya menghabiskan waktu selama sebulan di tengah laut, berpartisipasi dalam pemetaan dasar laut Australia. Di tahun yang sama, saya juga ke Tokyo untuk pertama kalinya dalam rangka konferensi/meeting alumni UN-Nippon Fellowship.
Saya sengaja mengisi daftar itu hanya dengan hal-hal baik untuk menghibur diri. Namun begitu, saya tidak pernah mengabaikan hal buruk untuk dijadikan pelajaran. Apapun itu, saya memiliki dua orang yang menemani saya dalam dua sisi kehidupan. Asti dan Lita adalah alasan saya untuk menjadi ada dan tetap ada.
OM Swastyastu,
Salut buat Made Andi !!
Kesuksesan memang tergantung kepada usaha kita. Catatan hidup anda menggambarkan itu
Salam sukses selalu
Ketut-makassar
Pak Andi, saya terharu membaca tulisan Anda ini 🙂
good chapter – journey of life…
Luar biasa, anda adalah salah satu tempat aku belajar… mungkin anda bisa juga menulis laskar pelangi dari bali…
Makasih Eksa…
Laskar Pelangi? hm..
Selamat Pak Andi walau agak terlambat.
Saya dua hari yg lalu mengikuti konferensi anak muda pekerja kristiani.
kami diajarkan untuk selalu dapat menjadi inspirasi bagi keluarga, teman, kantor, kota, dan negara.
kemudian kami disuruh menyebutkan daftar 10 orang yang menjadi inspirasi kami masing – masing
salah satunya adalah pak Andi..
membaca post bapak semakin menyakinkan saya, daftar saya benar.. 🙂
Thanks Benny…
Salam dari Makassar
Duh…Andi salut berat sama perjalanan yang sudah ditempuh sejauh ini dalam usia semuda Andi (dibanding usia saya….he….he…)
Smoga selalu diberi kekuatan oleh yang maha kuat untuk terus menorehkan prestasi, amin.
Erni
Terima kasih Mbak Erni…
Wah kawan lama (meskipun sebentar, ketemu di Bandara). Terima kasih sudah mampir.
Apa yang saya tulis tentu yang baik2 saja mbak. Yang jelek banyak sekali dan tidak saya tulis 🙂
pak made, tiang gede saking tegaljadi masih, delod umah pak prebekel.
suksma Gede..
Koq tidak ada cerita gagal-nya???
Kelihatan kalau nggak baca nih Bang Aroman :))