23 Tahun Bersekolah


http://www.merinews.com/
http://www.merinews.com/

Suatu pagi di tahun 1984, saya berdiri di halaman SD 1 Tegaljadi bersama 4 orang lain yang sebaya usianya. “Coba ambil batu 5 biji!“, demikian Pak Ketut Merta memerintahkan. Beliau adalah kepala sekolah. Sejurus kemudian, meluncur dari mulut bijaksana beliau “coba lari ke barat!“. Saya pun mengikuti setiap perintah itu, jujur saja, dengan perasaan sedikit dongkol. Berkecamuk antara pikiran excited dan ego yang seperti dikoyak dan direndahkan. Hari itu adalah pendaftaran masuk SD, dan saya diragukan akan bisa memenuhi syarat oleh kepala sekolah. Itulah sebabnya beliau perlu membuktikan bahwa saya dapat membedakan arah timur dan barat dan terutama bisa berhitung. Di masyarakat kami di desa terpencil di Bali, tahu arah timur dan barat adalah salah satu ciri kepintaran. Karena itulah mereka yang lemah daya pikirnya dijuluki orang yang tidak tahu ‘kangin (timur) kauh (barat)’.

Kejadian pagi itu tidak akan pernah saya lupakan. Hingga kini saya selalu ceritakan lagi dan lagi, di manapun. Tidak satu orangpun tahu dan menduga apa yang akan terjadi 20-an tahun kemudian. Di mana saya berada sekarang ini, sejarahnya dimulai di halaman sekolah sederhana di SD 1 Tegaljadi, 25 tahun silam.

Kadang saya merenungkan dan meneliti ulang perjalanan hidup saya. Sebagian besar waktu saya habiskan untuk bersekolah, walaupun tidak berarti selalu belajar. Bersekolah dan belajar adalah dua hal yang berbeda. Sejak tahun 1984 hingga tulisan ini dibuat, saya bersekolah. Jika ada tahun saat saya tidak bersekolah secara formal, itu adalah tahun 2002 dan 2003. Ya, hanya dua tahun itu. Hingga usia berkepala tiga, saya habiskan waktu tidak kurang dari 23 tahun untuk bersekolah. Karena saya orang biasa yang tidak bisa mengingat kejadian sebelum umur 5 tahun maka usia ‘sadar’ saya saat ini adalah 26 tahun. Jika 23 tahun dihabiskan untuk sekolah maka hanya 3 tahun dari keseluruhan usia itu yang saya habiskan secara sadar untuk hal lain. Fenomena ini sesungguhnya luar biasa, tidak lazim. Yang jelas, ini tidak dialami keempat teman saya yang dulu berdiri di halaman SD 1 tegaljadi di tahun 1984.

Apa dampaknya bersekolah sedemikian lama? Pertanyaan logis yang saya lontarkan pada diri sendiri adalah ‘seberapa mumpuni saya saat ini?’ karena salah satu indikator keberhasilan sekolah adalah kepintaran. Tidak sulit menjawab pertanyaan ini. Semakin lama saya bersekolah, semakin sadar bahwa terlalu banyak hal yang tidak saya tahu. Benar memang kata Forbes, tujuan pendidikan adalah membuka pikiran. Yang saya rasakan adalah keterbukaan bahwa semakin banyak hal yang tidak saya ketahui.

Satu hal yang melegakan, bersekolah dalam waktu lama membuat saya menjalani dan melihat banyak hal, banyak kebudayaan, banyak tempat dan banyak peradaban. Akibatnya, saya memiliki banyak cerita. Jika ada satu kisah yang layak saya ceritakan, tentulah itu tentang sekolah dan menuntut ilmu. Saya telah menjalaninya selama 23 tahun. Meski demikian, cerita itu belum tentu serta merta layak untuk menggurui. Seiring berjalan waktu, saya bahkan semakin ragu tentang kecukupan ilmu saya untuk dibagi. Keraguan ini datang lagi dan lagi terutama ketika saya sedang menekuni sesuatu yang sempit namun menuntut kedalaman. Saya tak lebih dari seorang autis yang terjebak dan berekstasi dalam satu kubangan kecil. Mungkin demikianlah saya saat ini.

Kadang saya merenungkan sebuah pernyataan orang pintar, bahwa sekolah itu candu. Mungkin ada benarnya karena bisa jadi alasan saya bersekolah bukanlah untuk memintarkan diri atau menuai kebijaksanaan tetapi untuk kenikmatan diri layaknya sebuah orgasme, trans atau suasana meditatif sesaat. Entahlah! Namun saat ada pertanyaan sederhana yang diajukan ke saya untuk memilih bersekolah atau tidak, maka jawaban saya jelas “bersekolah”.

Seperti pertanyaan saya yang tidak pernah berhenti, tulisan ini berakhir dengan sebuah tanda tanya. Entahlah kapan akan berakhir…

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

One thought on “23 Tahun Bersekolah”

  1. Dear Pak Andi,

    Sebenarnya saya sudah lama jd fans tulisan-tulisan bapak. Maklum, saya kan cuman penulis anak bawang…saya ingin belajar banyak dari penulis senior seperti bapak. Walaupun berlembar-lembar tulisan saya belum pernah dimuat di media massa (he..he..), saya tetap pantang menyerah agar tulisan saya bisa sukses seperti bapak.

    O ya, kalau bapak tidak keberatan, saya ingin menanyakan info tentang universitas mana di australia yang mempunyai program Master untuk “Teaching English as Foreign Language”? karena saya berencana mendaftar master untuk tahun ini tapi sampai sekarang saya masih kebingungan universitas mana yang terbaik untuk program ini.

    Terima kasih dan sukses terus buat Pak Andi. Saya bangga bisa kuliah di universitas yang sama dengan penulis hebat seperti Pak Andi.

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: