Lentera Jiwa


salafibatam.wordpress.com
salafibatam.wordpress.com

Anda mungkin sudah membaca tulisan Andy F. Noya yang berjudul sama: Lentera Jiwa baik dari Andy’s corner maupun dari milis yang beredar belakangan. Entah apa pasalnya, tulisan itu memang sangat populer. Anda mungkin juga menuduh bahwa saya meniru tulisan Andy dan bahkan tidak kreatif sehingga memilih judul yang sama. Anda tidak salah. Tapi dalam rangka mengurangi rasa malu saya, mari kita gunakan istilah ‘terinspirasi’, dan bukan ‘menjiplak’. Begitulah biasanya para akademisi atau orang pintar menghidar dari tuduhan.

Membaca tulisan Andy seperti menonton sebuah fenomena yang membius. Hal ini sesunguhnya tak baru, seperti juga yang diakuinya. Banyak orang lain telah melakukan langkah tak populer: meninggalkan kenikmatan dan keluar dari zona kenyamanan. Saya sendiri terinspirasi dengan kaliamat terakhir setiap tulisan Gede Prama di media massa ”Bekerja di Jakarta, tinggal di Desa Tajun, Bali Utara.” Seperti juga Andy, Gede Prama adalah satu dari yang istimewa, meninggalkan kenyamanan dan memilih tantangan baru.

Sama sekali tidak dalam rangka menyamakan diri dengan Andy atau Gede Prama, saya memiliki kisah tersendiri tentang lentera jiwa. Di tahun 2002, saya beruntung telah bekerja di sebuah perusahaan otomotif terkemuka di negeri ini: Astra. Meski bukan perusahaan nomor satu dunia, harus diakui bahwa Astra menjadi impian banyak sekali anak muda seusia saya waktu itu. Semua baik-baik saja dalam pekerjaan saya. Teman yang baik, lingkungan yang menyenangkan dan terutama gaji yang tak sedikit. Tidak banyak perusahaan yang memberikan bonus akhir tahun hingga delapan kali gaji. Saya tak kan menampik jika diminta bersyukur.

Entah apa pasalnya, godaan tantangan selalu datang di berbagai situasi. UGM, almamater saya, memerlukan dosen. Tawaran ini menurut saya menarik. Saya teringat kembali masa kecil di desa dan masa muda yang penuh idealisme. Saya merasa perlu mempertimbangkan pilihan ini. Meski demikian, meninggalkan Astra untuk mengejar pekerjaan dengan gaji kira-kira sepertujuh-nya tentu bukan pilihan populer. Melamar dosen non-PNS di UGM dengan gaji tak lebih dari 500 ribu rupiah sebulan sementara sudah hidup nyaman di Astra bisa dengan gampang dituduh bodoh. Apakah saya memang sebodoh itu sehingga merasa perlu untuk melamar? Mungkin memang saya sebodoh itu.

Sebuah diskusi dengan Asti, calon istri saya ketika itu, membuahkan kesepakatan menarik. Dia setuju saya keluar dari Astra dan mendukung langkah saya menjadi dosen. Tak banyak dukungan hebat yang bisa didapatkan seseorang selain dari orang yang dicintainya. Dukungan dari orang yang akan saya ajak hidup puluhan tahun satu ranjang ini penting. Sangat penting. Saya lega telah mendapatkannya.

Saya menelpon bapak di desa. Tak banyak yang beliau pahami tentang pekerjaan saya. Yang penting baginya adalah pekerjaan saya bisa membiayai perjalanan hidup yang tak kian mudah. “Berapa gajinya kalau jadi dosen?” itu pertanyaan penting yang disampaikannya. Beliau terdiam sangat lama, hening di seberang membuat suasana hati saya tidak nyaman. Perlahan terdengar isak lirih. Bapak saya menangis tersedu, sesutu yang jarang sekali terjadi. Terdengar jelas kesedihan mendalam bercampur kebingungan yang tak terperi. Tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Dia terdiam seakan ingin mengatakan kepada saya betapa tidak masuk akalnya rencana ini. Betapa tidak mengertinya dia dengan keinginan anaknya untuk meninggalkan kenyamanan di Jakarta dan berpaling pada ketidakpastian di Jogja. Pembicaraan kami terhenti tanpa kata sepakat.

Selepas menelpon saya termenung sangat lama. Tiba-tiba ada kesadaran akan kebodohan sendiri. Ada rasa bersalah telah membuat bapak saya menderita kebingungan teramat sangat. Penderitaan ini terjadi lebih karena beliau tidak tahu dan tidak bisa membantah saya. Apa yang bisa dibantah oleh seorang lelaki tak lulus SD tentang pilihan pekerjaan anaknya? Namun satu hal, gaji menjadi dosen yang saya sampaikan di telepon tadi telah membuat kebingungannya menjadi. Dia jelas tak menyetujui tetapi tak kuasa dia mengatakan “tidak” karena memang tidak punya alasan. Tak banyak yang diketahuinya tentang dunia pendidikan. Saya telah menyudutkannya di tempat yang sangat sulit. Saya tiba-tiba merasa salah. Saya salah telah bercita-cita menjadi dosen. Saya salah telah membuat orang tua saya kecewa dan bersedih hati dengan rencana pilihan saya. Saatnya mengatakan ”tidak”. Saya tidak akan melamar sebagai dosen. Demikianlah ketetapan hati saya malam itu.

Di dalam perjalanan saya menuju tidur di sebuah kamar kos di Kelapa Gading, ingatan saya menerawang. Keraguan kadang muncul lagi. Ingat masa-masa yang saya sering sebut sebagai ”keemasan masa muda.” Akankah hidup saya berhenti di belakang komputer dengan perut semakin gendut dan kantong semakin tebal sementara ada hal lain yang pernah saya daftarkan pada buku idealisme namun tak terlaksana? Sepertinya tak mudah menerima ini. Saya tidak siap hanya untuk menjadi kaya. Saya merasa sesak ketika sadar tak banyak ruang untuk beraktualisasi. Demikianlah idealisme masa muda saya meledak-ledak, entah benar entah salah.

Bapak saya menelpon. Suaranya di seberang jauh lebih tegar dan lebih segar dibandingkan malam itu. Saya menyambutnya hangat, saya ingin menyenangkan hatinya hari ini dan tidak mengusiknya dengan rencana konyol saya. ”Bapak tetap tidak tahu apakah rencamu itu baik atau buruk. Bapak tetap tidak mengerti” demikian beliau memulai percakapan penting itu. ”Namun satu hal, Bapak percaya akan pilihanmu. Bapak meyakini bahwa kamu tidak gegabah dalam mengambil keputusan hidup. Oleh karena itu, Bapak mendukung rencanmu menjadi dosen.” Saya termenung tak bisa berkata apa-apa. Rasa bersalah dan ragu tiba-tiba menjadi semakin kuat. ”Jika kelak di kemudian hari terbukti bahwa pilihanmu baik, Bapak akan merasa bangga dan senang. Tapi jika ternyata pilihanmu terbukti tidak tepat, Bapak adalah orang pertama yang akan turut mengakui sebagai pilihan Bapak juga. Kamu tidak sendiri memutuskan ini. Ini adalah pilihanmu yang akan Bapak akui juga.” Suara Bapak yang terbata dan lirih di seberang mengandung energi yang tak biasa. Getarannya tiba-tiba menjalar dari telinga saya, memberi kehangatan di kepala kemudian merambat ke leher saya lalu ke kedua tangan, dada dan akhirnya kaki saya. Penjalaran energi yang luar biasa ini membuat tubuh saya ringan. Saya tersenyum dan tersedu dalam tangisan haru yang tak terbendung. Adakah dukungan yang lebih hebat dari yang baru saja saya dapatkan dari Bapak?

Entahlah, apakah saya sudah menemukan lentera jiwa seperti halnya Gede Prama dan Andy Noya, saya tidak tahu. Percakapan spiritual itu sudah enam tahun berlalu. Yang pasti saya merasa senang. Banyak orang sudah saya temui, banyak negara terlewati dan banyak kesan yang mendalam. Ada kedamaian ketika bisa menertawakan diri sendiri berhujan-hujan berangkat mengajar di musim yang tak bersahabat. Ada keindahan juga ketika menerima email dari seorang mantan anak murid, mengatakan ”Pak ayo’ makan di Suka-suka, saya yang traktir” Atau ketika ada seorang gadis belia berucap penuh haru ”papa saya menganggap saya orang yang berbeda sekarang ini. Saya bukan lagi anak ’nomor dua’. Makasih ya Pak atas motivasinya.” Mungkin ini adalah lentera jiwa, tinggal bagaimana kita menghayatinya, seperti kata Ebiet G. Ade.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

28 thoughts on “Lentera Jiwa”

  1. keluar dari zona nyaman untuk masuk ke jenjang lebih tinggi sepertinya butuh perjuangan ya pak. Setidaknya itu yang saya dapat dari membaca tulisan ini, tulisan tulisan lain yang terkait lentera jiwa.

    Satu yang pasti, lentera jiwa saya juga sudah menunggu untuk ditemukan ini pak. Wish me luck (atau doakan saya..mungkin itu lebih wise…. haha :mrgreen: )

  2. Mas Andi…bisa Aja.. very inspiring loh baca2 blog nya… aku akui, emang pencerahan..setiap kali aku suntuk nulis atau berpikir.. mengunjungi blog mu sangat membuat hati dan pikiran jadi lain. Salam buat Asti, cium buat Lita n Always Keep up the Good work. TC, Atik

  3. Bli Andi, memang kadang kala kita tak mengetahui apakah yang sedang kita geluti memang sesuatu yang kita cari atau sesuatu yang cocok dengan ‘panggilan jiwa’. Namun bisa juga sebaliknya, sesuatu yang sesungguhnya kita cari-cari namun belum disadari. Maka lentera jiwa seperti yang Bli Andi, atau Bung Andy F. Noya, katakan kadangkala tak sepenuhnya pencarian. Kalau menurut saya malah bisa jadi penemuan (tak disengaja). Ada banyak orang yang mengerjakan sesuatu, yang mungkin tak disadari awalnya menjadi sesuatu yang sangat dicintai. Kayaknya memang menuruti kata jiwa adalah kuncinya. Kata jiwa yang berusaha mencari kebenaran.

    Tapi Bli Andi, saya kurang bersepakat dengan pernyataan Bli yang mengatakan, “Banyak orang lain telah melakukan langkah tak populer: meninggalkan kenikmatan dan keluar dari zona kenyamanan”. Kalau kita melihat atau membaca perjalanan hidup Gede Prama atau Andy F. Noya, kalau menurut saya, mereka adalah orang-orang yang meninggalkan satu zona kenikmatan atau kenyamanan, menuju zona kenikmatan lain menurut perspektif (lentera jiwa) mereka. Atau, malah sesungguhnya mereka meninggalkan zona (yang menurut mereka) tak nyaman, kepada yang nyaman. Gede Prama mungkin merasakan menjadi “penebar kebajikan” adalah profesi yang lebih nikmat dibanding ‘hanya’ menjadi pemimpin perusahaan. Demikian juga Andy F. Noya.

    Demikian juga kasus Bli Andi. Kalau ditilik, menurut saya, Bli Andi malah tak nyaman dengan pekerjaan di Astra. Bukan di aspek finansial, tapi dari sisi lain seperti yang Bli Andi katakan, “Akankah hidup saya berhenti di belakang komputer dengan perut semakin gendut”. Maka zona nyaman bagi Bli adalah zona yang menyediakan ruang untuk beraktualisasi. Dan terbukti sekarang.

    Pelajaran penting yang saya dapatkan dari membaca posting Bli Andi ini, juga ‘lentera jiwa’ (yang asli..he..he..) dari Andy F. Noya adalah janganlah selalu meletakkan ukuran kenikmatan pada materi. Dan kesuksesan tak seharusnya hanya diukur dari aspek finansial. Walaupun dalam kasus Bli Andi, akhirnya berujung juga pada kesuksesan finasial..he…he.. Ya kan Bli.

    Thanks pencerahannya. Sorry, kalau kepanjangan dan kurang berkenan.

    Salam
    Yansen

  4. Oom Yansen,

    Terima kasih atas ulasannya yang mendalam 🙂 Saya tak punya banyak kata untuk berkomentar apalagi menolak dan membela diri.. kecuali terima kasih 😉

    Atas segala komentar positifnya, terima kasih. Atas koreksi dan masukannya, terima kasih. Sepakat atau tidak, terima kasih juga. Good luck.

  5. coolzz…
    Saya ga tau kudu manggil apa nih…
    Saya panggil bapak saja ya!! lowong jadi Dosen kn?
    wkkwkw….

    uda ga banyak manusia yang mo keluar dr comfort zone na…
    ntah secara sadar atau tidak…
    ntah memang nyaman atau dinyaman-nyamankan..
    ( Mungkin itu yang dimaksud saudara yansen ^^ )

    tapi yang pasti langkah yang Bapak ambil menurut saya pantas diacungkan jempol… ga semua orang berani mengambil resiko sebesar itu utk sebuah idealisme…

    inspiratif banget kisah na!! Buat yg baca ( at least saya.. ) mulai bertanya tanya..apa saya juga sedang ada di zona aman saya sehingga ga berani menggapai lebih jauh? hahaha..

    Tg buat kisah na..
    GBU…

    ===
    Hi Blue,
    Thanks sudah membaca dan berkomentar. Silahkan panggil saya Andi, atau Bli Andi atau Mas Andi, seperti temen2 lain memanggil 🙂 Terima kasih juga apresiasinya.

  6. Itu memang lenteranya bro… lentera itu akan semakin terang apabila datang dari orang yang paling kita “sayangi” dan kita “kagumi”..

  7. Hallo mas Andi..

    Trias baru baca tulisan mas Andi ini.. Ya begitulah mas, restu dari orang tua sangatlah menyejukkan dan membuat langkah kita menjadi lebih ringan.

    Cerita mas Andi mengingatkan saya akan kisah kakak saya. Sepulang dari sekolah di Australia, kakak saya mendapatkan tawaran untuk ngajar di brawijaya. Tapi dia bingung, karena gajinya lebih kecil dari gaji yg dia dapatkan dari kantor di Jogja. Namun orang tua kami menyakinkan kakak saya, bahwa menjadi dosen lebih terjamin dan berguna buat orang lain daripada kerjaannya dulu.

    Memilih atau memutuskan sebuah pilihan hidup memang sulit, namun dengan berdiskusi, meminta pertimbangan dari orang tua dan tentu saja meminta restunya ternyata membuat pilihan kita menjadi indah.

    Makasi mas tulisannya.. sangat inspiratif sekali..

  8. Bli Andi.
    Saya terharu membaca penggalan pembicaraan ayah-anak di atas. Luar bisa! Salut untuk tulisan Bli Andi, as always. Salam takzim untuk sang Ayah 😀

  9. Saya baru baca tulisan ini bli. Bikin terharu.Tercenung. Dan lagi-lagi penuh inspirasi sekali.

    Kalo saya, keluar dari zona nyaman, baru sekedar kuliah keluar bali saja. Jogja.
    Di bali jelas nyaman, keluarga banyak, teman banyak sekali, mayoritas, pokoknya nyaman lah.

    Saya nakal sekali, pengen merantau ke jogja. Saya beberapa kali “disidang” oleh keluarga dirumah. Dikiranya saya ke jogja cuma ingin bebas aja (ya karena ga ada pengawasan dari orangtua)

    Dulu, orangtua juga sempat tidak setuju. Apalagi kuliah di jurusan yang tidak populis sama sekali 😀 Tapi akhirnya, beliau percaya dengan pilihan saya (persis seperti bapak bli katakan)

    Hehe, tulisan lentera jiwa ini seakan memberi gambaran buat saya bahwa idealisme memang terkadang membawa posisi “ketidaknyamanan” ke posisi nyaman yang sejati.. (kan banyak orang bilang jaman sekarang ga baik kalo idealis, yang penting kaya banyak duit, itu baru keren.)

    Sip. Saya juga punya angan2 kelak jadi dosen. Hehe…

    Sukses bli. Teruslah menginspirasi banyak orang. Om Awighnam Astu Namo Siddam.

  10. Saya baru baca tulisan ini bli. Bikin terharu.Tercenung. Dan lagi-lagi penuh inspirasi sekali.

    Kalo saya, keluar dari zona nyaman, baru sekedar kuliah keluar bali saja. Jogja.
    Di bali jelas nyaman, keluarga banyak, teman banyak sekali, mayoritas, pokoknya nyaman lah.

    Saya nakal sekali, pengen merantau ke jogja. Saya beberapa kali “disidang” oleh keluarga dirumah. Dikiranya saya ke jogja cuma ingin bebas aja (ya karena ga ada pengawasan dari orangtua)

    Dulu, orangtua juga sempat tidak setuju. Apalagi kuliah di jurusan yang tidak populis sama sekali 😀 Tapi akhirnya, beliau percaya dengan pilihan saya (persis seperti bapak bli katakan)

    Hehe, tulisan lentera jiwa ini seakan memberi gambaran buat saya bahwa idealisme memang terkadang membawa posisi “ketidaknyamanan” ke posisi nyaman yang sejati.. (kan banyak orang bilang jaman sekarang ga baik kalo idealis, yang penting kaya banyak duit, itu baru keren.)

    Sip. Saya juga punya angan2 kelak jadi dosen. Hehe…

    Sukses bli. Teruslah menginspirasi banyak orang. Om Awighnam Astu Namo Siddam.

  11. Terima kasih atas cerita Pak Andi. Saya semakin yakin kalau setiap pilihan yang dilandasi keyakinan pasti mendapatkan jalan ke arah positif ya Pak. Entah itu jalan yang dapat ditempuh secara singkat atau jalan yang panjang untuk dapat sampai ke tujuan, yang sebenarnya itu berangkat dari seberapa besar keyakinan dan usaha dari diri sendiri.

  12. Kisah beliau sangat menginspirasi 🙂 .. Saya pernah keluar dari zona nyaman dan berakhir sangat luar biasa .. Banyak pelajaran yang bisa di ambil.. So, jgn takut kluar dr zona nyaman kita yaa teman2 😀 God bless you

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: