
Saya dikejutkan oleh suara HP di pagi yang masih gelap. Jerit HP itu membangunkan saya dari tidur yang masih lelap di sebuah kamar kos di Kelapa Gading, Jakarta. “Bali kini sudah tidak aman lagi. Bom meledak di Kuta, puluhan orang meninggal” demikian kira-kira bunyi sms itu, datang dari adik sepupu saya, seorang arsitek dari Udayana. Enam tahun peristiwa itu telah berlalu, tak banyak berkurang kenangan buruk yang saya rasakan. Tidak saja karena banyak nyawa yang melayang, tapi kematian citra Bali sebagai tempat yang aman dan keruntuhan ekonomi yang dampaknya tak sehari dua hari. Hingga kini pun, Bali sesungguhnya belum pulih dari sakitnya.
Saya menulis sebuah ungkapan perasaan ketika itu, mengenang kembali kejadian di tahun 1998 ketika negeri ini rusak binasa oleh segala macam kekacauan. Bali dijadikan satu-satunya tempat berlindung oleh banyak dari mereka yang tertindas hidupnya. Bali memberi harapan kepada mereka yang teraniaya. Setelah bom itu, adakah Bali masih menyimpan kenyamanan?
Yang menarik, agama menjadi isu penting dan dideklarasikan sebagai alasan perbuatan menghilangkan nyawa orang itu. Amrozi bersama kawan-kawan yang terbukti sebagai pelaku pengeboman dengan tegas mengakui sebagai kaum muslim dan memilki alasan spritual dalam melakukan tindakannya. Saya bukan muslim dan tak sempat juga membaca Al-qur’an, jadi tak pernah mengerti kebenaran ucapan dan pengakuan Amrozi.
Menariknya lagi, Amrozi dibela oleh sekelompok pengacara yang menamakan diri mereka TPM, Tim Pengacara Muslim. Kedua fenomena ini, Amrozi yang dengan tegas mengakui keislamannya dan munculnya pembela yang juga berbasis Agama Islam, membuat saya yang orang awam ini terheran-heran. Benarkah semua ini? Imanda kawan saya yang hafal Al-Qur’an, Nina sahabat saya yang berjilbab, cantik dan baik hati, Bilal rekan riset saya yang jago elektro dan sederet nama lain, di mata saya tak pernah bisa mewakili kaum muslim yang dicitrakan Amrozi. Sekali lagi, saya tidak membaca Al-Quran, saya tidak bisa menilai mana di antara keduanya yang mencitrakan Islam sesungguhnya.
Amrozi yang mengaku Islam, di mata saya, kalah pamornya dibandingkan Haji Bambang yang adalah pahlawan Bom Bali 2002. Haji Bambang, dengan semangat kemanusiaanya bergerak di garis depan memberi pertolongan. “Haji Bambang telah berjumpa Tuhan“, kata Gede Prama memberi apresiasi. Tulisan-tulisan Mulkhan tentang Islam juga membius saya dengan keindahan dan kedamaian. Kedamaian yang saya yakini tak pernah berkawan dengan kesadisan dan pembunuhan yang ditampilkan Amrozi. Namun sekali lagi, saya hanya menyimpulkan dari fenomena. Saya tidak membaca kitab suci. Bukankah ini cara yang umum dilakukan orang dalam menilai orang lain?
Orang Indonesia, seperti yang pernah saya tulis, dinilai dari perilaku yang terlihat, bukan dari Butir-butir Pancasila atau dari Pembukaan UUD 45 dan Batang Tubuhnya. Indonesia dicitrakan oleh seorang Sukarno sang proklamator, atau oleh Sumanto yang kanibal atau oleh seorang Mbah Maridjan yang berani mati. Saya kira demikian juga tentang agama. Kapan Hindu dikatakan baik? Kalau umatnya baik di mata umat beragama lain. Kalau sebagian besar umat Hindu pencuri, nampaknya tidak mudah meyakinkan orang lain bahwa Hindu melarang pencurian.
Seorang gadis cantik bertanya pada saya di sudut Kota Amsterdam. “Apakah Mas mengetahui bahwa Islam adalah agama hasil penyempurnaan agama-agama yang telah ada?” Sebuar pertanyaan yang sangat menarik. Saya mengiyakan, karena di dalam Hindu, yang saya pahami pun, penyempurnaan itu masih memiliki ruang. Lihatlah deretan Awatara yang menggambarkan tahap penyempurnaan dari ikan hingga homo sapiens. Tapi ketika gadis cantik ini bertanya “apakah suatu saat nanti Mas akan pindah ke islam?” Saya tercenung dalam. Saya tersenyum dalam hati sambil berusaha mengusir wajah Amrozi dari benak saya. Ketika Amrozi kabur wajahnya, muncul segerombolan FPI menyerang ketercenungan saya. Saya tak perlu menjawab pertanyaan ini dan biarlah diam yang menyelesaikan segala prasangka.
maaf sobat… salah benarnya amrozi cs harus dibuktikan dulu dalam persidangan!
nyatanya sekarang telah terbukti menurut sobat!
namun apakah sobat mengikuti jalan persidangan ketiganya, dari mana putusan hakim menyatakan mereka terbukti secara sah dan meyakinkan???
semuanya hanya berdasarkan pengakuan semata!!!
apakah itu diterima oleh sistem pembuktian kita. idealnya tidak! pengakuan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus ada bukti lainnya!
apakah sobat tau bom yang meledak dibali itu adalah mikro nuklir, apakah majelis hakim yang mulia itu mau menggali dari mana bahan-bahan peledak itu didapat oleh Amrozi cs daripada sibuk menhitung jumlah korban yang sudah diketahui umum dan tidak perlu dibuktikan lagi.
masih banyak yang tertinggal dan tidak berani diungkap dalam permasalahan bom bali & itu yang terus diperjuangkan oleh Tim Pengacara Muslim.
wallahualam,
wassalam
Dear Pak Andi,
Wah maaf telat sekali pastinya komentar saya ini, tapi saya memang baru saja membaca artikel yang satu ini.
Terima kasih sebelumnya untuk artikel ini, kritis tapi tidak menghakimi. Takjub rasanya membaca pandangan pihak lain tentang agama saya pasca kejadian itu, yang sesungguhnya juga merupakan awal petaka bagi umat muslim di seluruh penjuru dunia saya yakin, terutama mereka yang menjadi kaum minoritas di suatu bangsa.
Komentar saya ini bukan counter balik dari tulisan bapak, karena sesungguhnya saya setuju sekali bahwa terorisme apapun kedoknya sangat melukai persaudaraan umat manusia.
Saya hanya ingin menggaris bawahi pernyataan bapak bahwa bila ajaran suatu agama dilihat dari fenomena dan perilaku umatnya, maka mohon jangan melihat mereka, Amrozi cs, sebagai keterwakilan dari semua muslim.
Mereka bagi saya ibaratnya adalah murid-murid yang bandel, yang diajarkan dengan baik bagaimana mulianya dan bermanfaatnya air susu ibu untuk bayi. Tetapi alih-alih menyerukannya kepada khalayak ramai, mereka malah membangun pabrik-pabrik susu bayi dan mencoba memformulasikan semua kandungan gizi air susu ibu ke dalam satu kaleng susu ciptaan mereka, yang tentu saja sudah tak muat lagi untuk ditempati nilai-nilai kasih sayang seorang ibu ke anaknya.
Begitu juga mereka pak. Mereka, sama seperti saya, diajarkan bahwa dalam Islam ada prinsip jihad yang berarti berjuang di jalan Allah yang namun sebenarnya berarti menegakkan standar kehidupan yang lebih indah untuk siapapun. Disini mereka mengartikan jihad sama dengan perang melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan negara-negara adidaya di beberapa negara muslim seperti Palestina. Mereka memilih Bali karena sebagai tempat tujuan wisata utama di Indonesia mereka tahu disanalah tempat berkumpulnya orang-orang dari negara adidaya tersebut.
Lupa mereka sepertinya kalau orang-orang itu mungkin bahkan tidak tahu-menahu tentang kelakuan buruk segelintir kecil orang di negaranya terhadap Palestina. Mereka saya yakin lupa, bahwa di Islam diajarkan banyak hal untuk membuat kehidupan lebih indah, sedekah, senyum dan doa bagi sesama misalnya, bahkan untuk negara yang semenderita Palestina sekalipun. Saking penuhnya hati dan kepala mereka dengan kemarahan untuk Palestina, sampai mereka lupa memasukkan pertimbangan akan kesedihan yang tentunya diderita keluarga korban dan masyarakat Bali akibat kejadian itu ke hati mereka.
Demikian pak, harapan saya semoga bapak dan penganut agama lainnya dimanapun berada suatu hari nanti berkesempatan bersahabat dan bergandengan tangan dengan muslim lainnya yang mencintai damai.
Salam damai,
Tiara
(saya yang sedang belajar Islam)
Tia,
Terima kasih atas komentar yang lengkap, cerdas dan sejuk at the same time. Tulisan saya adalah kegelisahan banyak anak manusia di negeri kita yang memilih untuk mempertanyakan keadaan dengan baik-baik tanpa menjadi anarkis.