Masih terngiang percakapan terakhir di desa sebelum keberangkatan ke Australia. Malam setelah meninggalnya Mangku Kompyang, kerabat banjar berkumpul melek seperti layaknya tradisi yang bejalan entah sudah berapa lamanya. Orang selalu berkerumun di manapun aku berada, mereka ingin mendengar cerita luar negeri. Wayan Koncong, salah seorang sahabat lama, bertanya ”di Australi ada beras nggak?” Belum lagi sempat aku menjawab, Mangku Ngurah yang memang terkenal vocal memotongnya ”Nasi? yang bener aja. Australi kan gak makan nasi. Orang makan roti di sana. Namanya juga luar negeri. Itupun bahannya gandum.” Aku sendiri tersenyum saja mendengar perdebatan keduanya. Keduanya antusias, keduanya tidak pernah ke luar negeri dan keduanya hanya sempat mengenyam pendidikan hingga SMP. Menurut buku geografi kita jaman dulu yang diterbitkan oleh PT Intan Pariwara atu Ganesha Ecaxt Bandung, orang Australia memang makan gandum. Memang buku SD atau SMP kita gemar sekali menjeneralisasi 🙂
Pagi ini di Wollongong dingin sekali, winter baru saja memasuki usianya yang masih belia. Asti sedang terpaku di meja makan setelah sarapan cereal dan susu segar. Bergumam samar kudengar ”terasi, sere, bawang putih, bawang mereh, kecap, garam, cabe, kencur, kunyit bubuk, mi goreng….” dan seterusnya yang kalau ditulis di sini bisa sangat panjang. ”Jangan lupa bumbu soto untuk sate, santan dan kelapa parut. Gula merahnya juga habis, jangan lupa ditambain ya Bu” aku berteriak dari kamar sambil memakaikan baju untuk Lita yang baru saja selesai mandi seraya mengoleskan sorbolene di wajahnya agar tidak kering karena dinginnya udara.
Diam-diam aku ingat lagi percakapan di kampung beberapa waktu lalu. Kalau saja Mangku Ngurah melihat catatan belanja Asti, mungkin dipikirnya kami akan belanja di pasar tradisional Dauh Pala di Tabanan. Atau kalau Mbah Putrinya Lita melihat ini, beliau pasti akan menduga daftar belanjaan ini adalah untuk di Pasar Sambilegi di Maguwoharjo. Masak di Australia ada terasi? Wayan Koncong pasti akan bertanya seperti itu.
Daftar belanjaan Asti ini bukan untuk belanja di Pasar Dauh Pala atau Sambilegi di Jogja tetapi di sebuah toko makanan Asia di Wollongong, Australia. Dong Phuong (DP) adalah nama toko yang dimiliki oleh orang Vietnam tersebut. Berlokasi di Keira Street, dekat dengan City Mall, DP bisa ditempuh dengan bis dari unitku di Mt. Keira Road dengan tiket $ 1,50 kalau konsesi (AusAID student) atau $ 3,00 untuk Asti yang penumpang umum. Sementara itu Lita yang masih toddler tidak dikenai biaya. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 15 menit.
“Yah, cepetan mandi, bisnya jam 11.10 lo. Jangan telat lagi seperti minggu lalu. Hari Sabtu bisnya dua jam sekali kan. Masak mau jalan lagi kayak minggu lalu gara-gara ketinggalan bis” Asti berteriak sambil menyiapkan bekal makan siang untuk kami bertiga. Menyiapkan bekal makan siag memang wajib di sini. Kalau tidak, makan di rumah makan bisa setidaknya kena $25 untuk bertiga. Sementara itu, seperti biasa aku selalu stuck di depan laptop dan tidak beranjak kalau tidak dipaksa. Kebiasaan buruk memang. Namun kebiasaan buruk ini juga yang membuat Anda tersenyum hari ini. [tolong tinggalkan protes di bawah kalah saya salah :)]
Akupun beranjak dari laptop mulai mandi. Dinginnya luar biasa. Untunglah di setiap unit/rumah di sini dilengkapi kamar mandi dengan air panas dan dingin. Tidak ada masalah. ”Wah seperti hotel dong” kata bapakku ketika suatu saat aku ceritakan. Beliau memang tidak bisa membayangkan kalau anaknya tinggal di suatu tempat di luar negeri dengan kamar mandi berair panas dan dingin. Menariknya lagi, di New South Wales secara umum, masyarakat tidak perlu membayar penggunaan air, tidak juga untuk gas. Tidak ada meteran khusus untuk air dan gas. Kompor di sini juga mengunakan listrik. Artinya, pengguna akan dikenai iuran listrik saja, baik untuk penggunaan penerangan, elektronik, kompor maupun pemanas air mandi. Artinya, tetap saja tidak bisa menggukan air panas semaunya. Salah sedikit, tagihan listrik bisa bengkak. Lebih buruk lagi, hal ini bisa saja membuat terlena karena tagihan datang setiap tiga bulan. Periode yang lama ini bisa membuat lupa, memang.
Aku melihat orang-orang sibuk memilih barang kebutuhannya di DP. Wajah mereka beraneka rupa, ada yang kuning langsat dari China atau Singapura, ada juga yang sawo matang dari Indonesia atau Malaysia atau Thailand atau daerah lainnya di Asia Tenggara. Orang Filipina juga sulit sekali dibedakan dengan orang Indonesia sampai mereka bercapak-cakap. Berbeda sekali memang berbelanja di toko makanan Asia. Aromanya khas, suasananyapun riuh rendah oleh percakapan. Orang Asia memang gemar bertegur sapa dan ngerumpi sesamanya. Berbeda dengan suasana di Woolworth atau di K-Mart yang umumnya dipenuhi wajah-wajah yang kalem dan bahkan sedikit tegang tak peduli.
Di Wollongong ada dua toko makanan asia yang ternama, Dong Phuong dan Vinna yang lokasinya hanya berjarak 100an meter satu sama lain. DP is definetely more popular. Vinna berada di Victoria St. yang biasanya ditempuh dengan jalan kaki dari DP kalau ada sesuatu yang tidak ditemukan di DP. Cukup sering aku menemukan kacang panjang di Vinna, tetapi tidak di DP. Lawar Bali yang sering kami nikmati memang berbahan kacang panjang atau kalau terpaksa, buncis.
”Yah, tolong angkatin beras triple A-nya. Yang lima kilo aja ya, biar gak terlalu berat” Asti mengingatkan ketika kami siap melakukan pembayaran di DP. Entah kenapa, beras jasmine Thailand memang satu-satunya yang cocok di lidah karena memang harum dan pulen. Ini menjadi andalan sehari-hari kami selama di Wollongong. Beras ini juga dijual di DP dan di beberapa supermarket besar di Australia yang tentu saja tampil dengan kemasan berbeda. Beras sekarang ini cukup mahal. Kalau tahun lalu aku masih membeli beras 5 kilo dengan harga $ 8, sekarang sudah menjadi $ 12. Tidak hanya di tanah air harga meningkat gila-gilaan, di Australia pun tidak berbeda. Tetapi namanya orang desa, aku tidak pernah bisa menjawab ”sudah” ketika ditanya ”sudah makan?” sebelum benar-benar makan nasi. Paling banter menjawab ”belum makan nih, cuma roti aja tadi dua bungkus.”
Menjawab pertanyaan Wayan Koncong di kampung tempo hari, ya kami di Australi juga makan nasi kok 🙂
iya pak…. saya juga… walu sudah kenyang karena roti atau jajanan… tetep ga bisa dibilang sudah makan kalau ga pake nasi… knp y??
Kris, kebiasaan aja sih 🙂
he2 iya kali ya… ga ada hubungannya dengan gen atau keturunan ya… he2 😛
cerita yg menarik, pak. tapi nasilah yang menyelamatkan berat badan saya stabil selama di australia. bayangkan kalau saya maksa makan roti, yang ada ngga berhenti-berhenti, karena perut masih belum menganggap itu sebagai makanan, tapi jajanan. hehehhe…salam buat istri dan anakknya
ternyata harga beras AAA rata ya hehe..di Adelaide juga segitu harganya, btw salam kenal yaaa..
Slam kenal 🙂
klo sy ksana bawa kluarga kali bsa ga makan ya ato klo ga tekor terus hahaha beruntung mba asti bisa masak ya …..
Kalau sudah ke sini pasti jadi bisa masak 🙂
wah inshaAllah saya mau merried ama orang austrllia nih..
jd menu makan siangnya ama malam orang sana biasanya makan apa ya???
mau nikah tapi gak tau whakkkkk jadi geli 😀
muter muter nyari di website nyasarnya disini
klu kita mah kemana mana klu gak ada nasi gak kenyang(ember)
maaf nih ibu ibu tapi gaul hehehhee
Banyak orang Aussie yg sdh seperti orang Ina makannya 🙂