Saya bukanlah orang yang bersih dari pelanggaran lalu lintas. Meskipun sudah mencoba, kadang pelanggaran masih tetap terjadi. Sekali-sekali saya masih menerobos lampu merah, umumnya karena kendaraan di belakang berkecepatan sangat tinggi dan seakan yakin bahwa saya akan melanggar. Daripada menjadi sasaran empuk mobil di belakang saya, pelanggaran akhirnya menjadi pilihan. Ironis memang.
Meski begitu, untuk yang satu ini saya mencoba berkomitmen: tidak melakukan gerakan U TURN (berbelok 180°) ketika ada tanda dilarang memutar. Hal ini sudah menjadi kebiasaan walaupun tentunya saya harus menempuh jarak yang lebih jauh dan waktu yang lebih panjang. Setelah menjadi kebiasaan, menempuh jarak yang lebih jauh dan waktu yang lebih panjang ini ternyata menyenagkan juga. Saya tidak mengalami masalah apapun.
Persoalan jadi lain kalau saya dan Asti mengendari motor masing-masing. Sudah menjadi kebiasaan, Asti di depan dan saya di belakang megiringi. Ketika tiba di jalan depan rumah, hampir selalu Asti berbelok di tempat yang tidak boleh berbelok. Memang kalau menempuh jalan ini, waktu dan jarak tempuh jauh lebih singkat. Alhasil, semakin cepat tiba dan mendapati senyum Lita di rumah. Saya pun, dengan senyum geli, mengikutinya. Hari ini saya melanggar komitmen. Sebenarnya bisa saja saya tidak hirau dan tetap melewati jalan yang saya lewati biasanya, tapi ada perasaan tidak tega melakukan itu. Saya membayangkan, saya akan terlihat kaku dan tidak supportive kepada istri he he he. Apakah tindakan saya salah? Jelas salah. Tidak perlu ditanyakan ke mana-mana, melanggar rambu lalin adalah kesalahan, cuma memang masih saya lakukan
Sampai di rumah Asti biasanya tertawa, merasakan kemenangan. Dia tahu apa yang kami lakukan tadi konyol dan salah. Itu pasti. “Nggak apa-apa ya yah, demi cinta” katanya berkelakar dan kami tergelak. Cinta memang dasyat. Kekuatannya seperti pisau bermata dua, dia bisa melambungkan kita ke puncak pencapaian, bisa juga menjerumuskan ke lembah kegagalan. Melanggar rambu lalu lintas mungkin jauh dari semua bencana itu, tapi setidaknya saya mengerti dari mana bencana itu berawal.
Selalu ada hal sederhana dan bermakna yang bpk ceritakan. Nice story..
Thanks Okto!
Becik, becik…
suksma bli Dek
kok saya jadi garuk garuk kepala ya…..apakah cinta awal bencana juga pak ??