Sebuah pena


Hari ini aku membaca lagi. Membaca kisah-kisah yang pernah kutuliskan dulu saat penaku masih tajam untuk puisi. Saat itu, ada seribu satu alasan untuk mencipta keindahan karena engkau menjelma menjadi kupu-kupu, salju, bajing di tepi jalan dan bahkan dingin tak bersuara yang memberikan apresiasi. Aku rindu pujian itu. Aku rindu tangisan cerdas yang oleh matamu menjadi istimewa sehingga layak didramakan. Begitulah dulu ketika penaku masih tajam untuk puisi.

Subuh-subuh tadi, tiba-tiba saja pena itu kutemukan lagi. Entahlah setajam apa dia sekarang. Lusuh ia diantara buku harianku yang telah lama tidak berkisah tentang cinta. Aku tersenyum setiap hari dan bercinta dengan waktu yang tak perhah kulewatkan dengan sia-sia. Tetapi itu berbeda. Masih sering kurindukan kupu-kupu yang hinggap liar di indahnya bunga matahari untuk kemudian terbang melesat entah ke mana. Keliaran mimpiku lama tak menemukan lahannya yang subur untuk bertumbuh. Imajinasiku memerlukan pasangannya yang berkelebat datang dan pergi tanpa pesan, mengajakku berkelakar di lembah-lembah temaram yang terlarang nan memikat. Ingin kuraut lagi penaku agar tajamnya menjadikan tetes air, suara angin, jatuhnya daun dan sepinya malam sebagai puisi yang menawarkan dahagaku.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: