Ke Luar Negeri Pertama Kali


Seperti malam pertama, apapun yang pertama hampir selalu menegangkan. Bepergian ke luar negeri pertama kali adalah salah satunya. Saya ke luar negeri pertama kali tahun 1999, waktu itu ke Pyongyang, Korea Utara. Betul, perjalanan saya ke luar negeri pertama adalah ke salah satu negeri paling kontroversial di dunia. Tegang? Pasti. Pertanyaan saya banyak sekali. Apa yang harus dibawa, apa yang tidak boleh dibawa, apakah makanan di sana cocok dengan saya, apakah petugas imigrasinya menyeramkan, apakah di sana ada mafia dan penjahat seperti di film-film Hollywood, dan seterusnya.

Saat harus ke Australia pertama kali di tahun 2004, pertanyaan serupa memenuhi kepala saya. Salah satu pertanyaan awam saya adalah apakah di Australia ada indomie karena banyak orang Indonesia dengan status pelajar tidak bisa hidup tanpanya. Pertanyaan lebih canggih lainnya adalah apakah saya akan mengalami gegar budaya atau culture shock. Selain itu ada juga pertanyaan nakal seperti apakah saya akan melihat cewek-cewek bule setengah telanjang yang berjemur di pantai seperti yang ada di film-film barat. Atau yang lebih parah lagi, benarkah saya akan menyaksikan masyarakat yang bebas, bertemu sekali di taman kota lalu berakhir di tempat tidur. Pertanyaan lain yang lebih beradab adalah bisakah nanti saya mengikuti perkuliahan? Samakah sistem pendidikan di Indonesia dengan di Australia? Jika berbeda apa bedanya? Daftar pertanyaan itu hanya sedikit dari berjuta (Okay, mungkin tidak sebanyak itu) pertanyaan.

Kesimpulan saya satu saja. Ke manapun kita pergi, awalnya selalu dari tempat yang sama yaitu “perpustakaan”. Membaca buku ringan seperti “Lonely Planet” atau semacam “Naked Traveller” sebaiknya dilakukan sebelum pergi ke luar negeri. Tips saya, siapkan sebanyak mungkin pertanyaan yang spesifik lalu cari jawabannya satu per satu dengan sabar. Asumsi saya, Anda memiliki waktu yang cukup untuk mendapatkan jawabannya karena pergi ke luar negeri pertama kali biasanya tidak mendadak. Membaca blog orang-orang yang pernah tinggal di luar negeri, seperti yang Anda lakukan sekarang, adalah salah satu jalan keluar. Meski demikian, pengalaman mereka belum tentu akan menjawab semua kekhawatiran Anda. Perlu membaca sumber lain.

Saat pertama kali ke Sydney, saya pernah membuat daftar barang bawaan yang saya reka-reka sendiri berdasarkan informasi dari berbagai sumber dan dugaan saya sendiri. Silakan lihat daftar barang yang saya siapkan waktu itu dan saya sempurnakan dari waktu ke waktu. Setelah tinggal di Australia, akhirnya saya paham bahwa tidak semua barang itu saya perlu bawa karena sebagian besar ada di Australia. Jangan pernah berencana membawa indomie, misalnya, karena barang itu ada di mana-mana di Australia. Pengalaman saya ke Amerika dan Eropa juga sama. Indomie bisa diperoleh di banyak negara. Tapi jika ingin membawa dua atau tiga bungkus kecil dengan alasan takut belum bisa membeli di hari pertama sampai di luar negeri, silakan saja. Akan sangat membantu.

Bagaimana dengan gegar budaya? Salah satu tips saya adalah kendalikan diri agar tidak cepat kagum, tidak cepat terkejut dan terutama tidak cepat kecewa. Kita diskusi ini di tahun 2012 ketika dunia sudah “jauh mengecil” dan terhubung satu sama lain. Jangan heran kalau apa yang kita biasa lihat di Indonesia sama persis dengan apa yang ada di New York. Jangan terlalu berharap di luar negeri akan dipenuhi orang-orang seperti Tom Cruise (Ok, Anda bisa ganti dengan Brad Pit, atau George Clooney atau Leonardo Di’caprio) atau Angelina Jolie (Saya tahu, seleb nomor 1 dunia versi Forbes saat ini adalah J-Lo, silakan ganti dengan namanya) karena kenyataannya orang Asia sudah “menjajah” seluruh dunia. Di kota besar manapun, tidak sulit menjumpai orang Asia yang berbicara bahasa Jawa Timuran. Saya pernah terkesima di sebuah kereta bawah tanah di New York ketika ada orang cantik di sebelah saya tiba-tiba menerima telepon dan berucap “Aku ndik sabwe iki, kamu ndik mana, ta?” *gubrag*. Pernah juga sekali waktu dilayani oleh seorang perempuan manis asal Jawa ketika membeli ayam goreng siap saji di sebuah sudut kota Antwerpen di Belgia. Saya sering berkelakar, di Kingsford, Sydney ada dua bahasa yang biasa kita dengar di jalanan yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa 🙂

Jangan juga terkejut kalau banyak orang hebat di perguruan tinggi yang Anda datangi adalah migran dari India, Ghana, China atau Filipina. Indonesia tentu juga banyak. Beberapa waktu lalu saya membantu delegasi Indonesia yang belajar di Wollongong. Salah satu peserta terkejut bukan kepalang karena koordinator dosen yang mengajar mereka adalah seorang gadis muda berwajah Sunda berkebangsaan Filipina. Jangan heran jika Anda mengikuti suatu kursus singkat di luar negeri dan akhirnya merasa dosen terbaik selama kursus itu berasal dari sebuah desa kecil di Indonesia. Ingat dunia mengecil dan pandangan bahwa hanya orang bule yang hebat sudah tidak relevan lagi. Jika kita masih terkejut ketika ada orang berwajah Jawa memperkenalkan diri sebagai orang Australia artinya kita perlu membaca sejarah peradaban dunia lebih banyak. Ingatlah, orang keturunan Kenya, Afrika kini berkantor di Gedung Putih, dan dinobatkan sebagai “the most powerful man in the world”. Dunia sudah tidak seperti dulu lagi.

Bagaimana dengan rok mini? Suatu hari saya ke Coogee Beach beberapa hari setelah sampai di Sydney. Saya diantar seorang teman lama, cewek bule yang dulu pertukaran pelajar di SMA saya di Bali. Dia tahu apa yang saya pikirkan karena saya gelisah melihat cewek-cewek berjemur dan bahkan ada yang telanjang sempurna. “What are you thinking?” tanyanya. Itu bulan Januari 2004, summer pada puncaknya sehingga pemandangan seperti itu tidak hanya ada di pantai tetapi juga di lapangan rumput universitas (meskipun tidak telanjang sempurna). Saya menghela nafas, saya memang udik. “Tidakkah mereka takut akan terjadi kejahatan seperti pemerkosaan? Lelaki akan tergoda melihat hal seperti ini” kata saya. “Kamu tergoda tidak?” tanyanya balik. Saya bilang “jelas tergoda”. Dia lalu bertanya “mengapa kamu tidak datangi salah satu lalu perkosa dia?” wajahnya serius. Saya menatap dia dan bilang “of course I will not do that.” “That’s the point, Andi. It’s not what you feel but what you do that matters in this country.” Tiba-tiba saja saya merasa udik seudik-udiknya.

Kesimpulan saya yang utama adalah bahwa BANYAK hal sederhana yang berbeda di luar negeri. Kebiasaan antri, apa yang tabu atau tidak tabu ditanyakan, sopan santun, etika dan sebagainya banyak yang berbeda sama sekali. Memulai pembicaraan dengan orang asing di halte bus tidak dilakukan dengan bertanya “anda dari mana?” tetapi “cuaca hari ini cerah ya”. Sama sekali tidak umum bertanya “anda sudah menikah?” atau bertanya alamat rumah di saat pertama betemu, misalnya. Hal-hal kecil ini cukup banyak dan semua itu bisa diketahui hanya dengan membaca dan mengamati. Intinya, selalu waspada dan sadarilah bahwa apa yang biasa di Indonesia mungkin jadi luar biasa di luar negeri atau sebaliknya.

Apakah sistem belajar di negara maju berbeda dengan di Indonesia? Secara umum yang bisa saya simpulkan adalah bahwa mahasiswa di negara maju jauh lebih mandiri. Proses pembelajaran dilakukan dengan menggali sendiri dan dosen sebagai fasilitator. Tidak ada yang disuapi. Malas mencari sendiri berarti bencana. Intinya hanya satu: membaca yang banyak sebanyak banyaknya agar tidak merasa jadi “orang hilang” di kelas atau dalam diskusi kelompok.

Tips terakhir dari saya, pastikan Anda memiliki kontak perwakilan Indonesia (Kedutaan atau Konjen) terdekat dari tempat yang akan Anda kunjungi. Ini wajib hukumnya. Silakan lakukan pencarian di internet, pasti ketemu. Jika tidak ketemu, hubungi kementerian luar negeri di Jakarta dan tanyakan alamat kantor perwakilan yang dimaksud. Jika mereka tidak mau menjawab, ya nggak mungkin mereka ga’ menjawab, memangnya mereka ga’ bisa bicara 🙂 Tapi kalau ada yang tidak berhasil mencari alamat/kontak kedutaan atau konjen kita di luar negeri maka dia perlu bertanya secara serius “bener nih saya mau ke luar negeri?

Selamat berkemas-kemas. Mari kita jelajahi dunia!

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

29 thoughts on “Ke Luar Negeri Pertama Kali”

  1. Wowwwww……mass…njenengan tuch…bener-bener detail dan gak tanggung-tanggung dalam membantu dan memberi informasi….sampai hal-hal printilan barang-barang bawaanpun…juga terlintas untuk dishare…keren banggeeettttt….!!!!!!!!!!! Semoga Tuhan….melimpahkan anugerah dan amal yang berlipat ganda atas keihklasan dan dedikasi yang luar biasa ini….MERDEKAAAA..!!!!! .hehehe ….

  2. “That’s the point, Andi. It’s not what you feel but what you do that matters in this country.” – saya suka quote itu Mas Andi, persis seperti apa yang saya rasakan ketika pertama sampai di Perancis 🙂

  3. Wah mas, menarik tuh negeri pertama yg dikunjungin korut, udah pernah ditulis lum?
    Kalo saya kok prinsipnya nggumunan ya, biar udah beberapa bulan di sini 🙂

  4. thank ya tip brgkat. Ke. Luar negeri. Nya. Kebetulan akhir bulan ini sy jg brgkat Ke rassia Moscow sebagai spa trainer

      1. mas andi slam kenal.gmn cara berkomunikasi dgn org disan jika kita tdk bisa berbhs ingris ,plonga plongo dong disana nanti 😀

  5. thank you for this … i love to read someone experience in others country .. i havent go to others country *sigh* i just hope that i can see the beautiful in others country, but that doesnt mean indonesia isnt beautiful. Indonesia is a beautiful country ever !! just hope the stupid government can mannage this country …

    heheh, maaf inggrisnya berantakan ya, maklum gak ada pembimbing nya, cuma belajar sendiri .. saya suka blog anda, terimakasih atas sharing pengalaman anda 🙂

  6. “Jangan terlalu berharap di luar negeri akan dipenuhi orang-orang seperti Tom Cruise Brad Pitt, atau George Clooney atau Leonardo Di’caprio…. karena kenyataannya orang Asia sudah “menjajah” seluruh dunia.”

    Hal simpel yang menjadi kenyataan untuk saya, Bli. Berharap lihat-lihat KW2 Thor/Chris Hemsworth di Sydney, tapi KW2 boyband yang berkeliaran 😛
    Terus menginspirasi, Bli!

Bagaimana menurut Anda? What do you think?