Cerita Alumni Teknik Geodesi UGM: Bertarung di Meja Perundingan Antarbangsa, Terus Bersahabat Senantiasa

Ini adalah kisah tentang alumni Teknik Geodesi UGM: Mas Amin Nurdin dan Mbak Cherli. Mas Amin orang Indonesia, angkatan 1996 dan Mbak Cherli berasal dari Timor Leste, angkatan 2009. Kini, keduanya mewakili negaranya dalam urusan batas internasional.

Beberapa waktu lalu, Mas Amin mengirimkan foto pada saya. Pada foto itu, nampak Mas Amin dan Mba Cherli berpose di dekat Bendera Indonesia dan Timor Leste. Rupanya, keduanya tengah menjalankan perundingan untuk menetapkan batas antara Indonesia dan Timor Leste. Dalam pesannya, Mas Amin menulis “ilmu geodesi tidak membatasi dalam pengabdian kepada negara, sekalipun kita berdiri di pihak yang berbeda”.

Mas Amin dan Cherli

Bagi saya pribadi, ini adalah momen akademik yang begitu penting. Mbak Cherli adalah bimbingan skripsi saya sedangkan untuk Mas Amin, saya adalah ko-promotor S3nya. Beliau sedang menyelesaikan S3 di Prodi Ketahanan Nasional di Sekolah Pascasarjana UGM. Yang lebih menarik, saya dan Mas Amin adalah sahabat seangkatan ketia S1 di Teknik Geodesi UGM. Saya ingat, kami pernah bersama-sama melakukan denonstrasi saat reformasi 1998.

Reformasi 1998

Rasanya turut terharu menyaksikan dua alumni Teknik Geodesi UGM itu kini berperan bagi negara masing-masing. Saya yakin, keduanya akan membela bangsanya dengan penuh seluruh. Di sisi lain, saya juga yakin, mereka akan menjunjung tinggi akal dan ilmu yang telah mereka pelajari di tanah yang sama di Padepokan Gadjah Mada. Di tangan mereka, semoga titik temu kedua bangsa menjadi lebih dekat.

Hari ini istimewa karena Mas Amin telah dinyatakan lulus S3 setelah mempertahankan disertasinya dengan sangat baik. Kecemerlangan pemikirannya masih saya ingat jelas sejak S1 dulu. Dalam sambutan penutup saya ketika sidang disertasi tadi, saya tanpa ragu mengatakan “Mas Amin lebih pintar dari saya”. Hal itu telah dibuktikannya sekali lagi, hari ini. Penguji menegaskan dengan penuh keyakinan bahwa disertasi Mas Amin sangat baik dan layak mendapat nilai tertingi.

Mas Amin dan Mbak Cherli adalah contoh baik tentang makna menjadi alumni UGM. Tentang perjuangan meraih ilmu lalu mengabdikannya bagi makna yang lebih besar. Mereka berdua adalah sebagian dari titik-titik alumni yang tersebar di berbagai tempat. Semoga kita juga bisa seperti mereka untuk terus belajar dan terus berkarya dalam pengabdian. Semoga.

Jogja, 18 Maret 2024
Made Andi (T Geodesi ‘96)

Kembali Lagi ke Le Meridien: Dari Berburu Beasiswa Hingga Debat Capres

Di tahun 2002, 22 tahun silam, saya datang ke Hotel Le Meridien Jakarta untuk pertama kalinya. Saat itu, saya adalah karyawan di PT Astra Otoparts, Tbk, maka saya berada di Jakarta. Meski begitu, kehadiran saya di hotel itu tidak ada kaitannya dengan pekerjaan di Astra. Saya hadir di Le Meridian untuk mengikuti pameran pendidikan.

Rasanya tergagap-gagap menyaksikan kemeriahan suasana saat itu. Saya melihat berbagai stand perguruan tinggi mentereng dunia yang membagikan informasi. Saya tertarik untuk sekolah di luar negeri tetapi tidak yakin dan hilang percaya diri. Pertama, saya tidak yakin apakah secara akademik akan mampu. Kedua, tentu saja saya khawatir perkara biaya. Waktu itu belum ada Beasiswa LPDP. Kalau mau sekolah ke luar negeri, harus berjuang untuk mendapatkan beasiswa dari negara tujuan.

Saya tidak banyak bertanya, hanya berkeliling mengunjungi sebanyak mungkin stand pameran. Saya rajin mengumpulkan brosur dan souvenir yang disediakan. Sempat juga berkenalan dengan beberapa orang yang sama suasana psikologisnya. Ternyata saya tidak sendirian merasa khawatir dan tidak percaya diri. Bertemu kawan yang demikian, yang diliputi khawatir tetapi tetap memutuskan untuk berjuang, cukup melegakan hati.

Perjalanan saya berikutnya mengantarkan saya pada berbagai kejadian dan kesempatan. Di tahun 2003 dinyatakan gagal STUNED, tidak lolos Chevening, dan dicuekin oleh DAAD. Untunglah, saya juga dinyatakan lolos Australian Development Scholarship (kini AAS). Tahun 2004 saya menginjakkan kaki pertama kali di Australia untuk sekolah S2 di UNSW. Tahu rasanya menjadi paling bodoh sekelas, tidak paham penjelasan dosen karena Bahasa Inggris yang tidak ramah di telinga. Lepas dari berbagai drama dan kegagalan, itulah awal dari perjalanan intelektual saya mempelajari isu aspek geospasial hukum laut terutama batas maritim.

Tahun 2013, saya mendapat undangan ke Hotel Le Meridien, Jakarta untuk menjadi salah satu pembicara di forum ASEAN-Uni Eropa. Saat itu saya sedang menyelesaikan S3 di University of Wollongong, Australia dan mendapat kehormatan untuk menyampaikan gagasan di sebuah forum mentereng di Jakarta. Tentu saja saya lebih banyak menyimak dan belajar selain presentasi singkat soal Laut Cina Selatan.

Tahun 2024, saya kembali lagi ke Hotel Le Meridien. Kali ini tidak untuk mengunjungi pameran pendidikan atau bicara di forum ilmiah. Kali ini, saya mendapat tugas untuk menjadi panelis Debat Capres 2024. Ini adalah debat ke-3 dengan tema Pertahanan, Keamanan, Globalisasi, Hubungan Internasional, Geopolitik, dan Politik Luar Negeri.

Kembali ke Le Meridien adalah sebuah kehormatan. Bagi saya pribadi, ini adalah sebuah alasan bersyukur yang tak terkira. Kegamangan saya yang tergagap-gagap di pameran pendidikan di tahun 2002 di Le Meridien seperti terobati. Bahwa mereka yang mau mengambil keputusan yang tidak mudah akan diberi kesempatan. Kesempatan untuk berperan dan terus belajar. Selamat belajar.

Memprotes Peta Baru Tiongkok

Kompas, 7 September 2023

I Made Andi Arsana[1]

Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, dengan tegas menyatakan protes terhadap peta baru yang dikeluarkan oleh Tiongkok. Pasalnya, peta yang secara resmi disebut “China Standard Map Edition 2023” itu memasukkan kawasan laut yang secara sah merupakan bagian dari Indonesia menjadi bagian dari Tiongkok.

Tidak hanya Indonesia, India juga melakukan protes keras. Alasannya mirip, peta baru Tiongkok tersebut memasukkan wilayah Arunachal Pradesh dan Aksai Chin ke dalam peta tersebut. Dua Kawasan ini memang menjadi sumber sengketa sejak lama. Kedua negara pernah melakukan kontak senjata di tahun 2020 lalu.

Filipina tidak ketinggalan. Peta baru Tiongkok diprotes karena memasukkan sebagian besar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina ke dalam wilayah Tiongkok. Protes juga disampaikan oleh Taiwan karena peta baru itu dengan tegas memasukkan Taiwan sebagai bagian dari Tiongkok. Malaysia, dan Vietnam pun melakukan hal yang sama. Alasannya tidak berbeda. Peta baru Tiongkok memasukkan Kawasan perairan kedua negara itu menjadi bagian dari Tiongkok.

Peta baru Tiongkok ini sesungguhnya bukan hal baru. Tidak ada yang mengejutkan. Peta ini adalah penegasan ulang akan klaim Tiongkok sejak lama. Klaim Tiongkok di Laut Cina Selatan (LCS) adalah salah satu contohnya. Sejak lama, Tiongkok mengklaim hampir seluruh kawasan tersebut dengan sembilan garis putus-putus yang dikenal dengan nine-dash line. Di peta baru 2023 ini ada penegasan satu segmen garis tambahan sehingga menjadi ten-dash line yang sebenarnya juga sudah pernah ditampilkan sebelumnya. Segmen ke-10 ini yang menegaskan bahwa Taiwan adalah bagian dari Tiongkok. Ini adalah bagian dari sejarah panjang Tiongkok.

Jika tidak ada hal baru dari klaim Tiongkok, mengapa isu ini menjadi perbincangan hangat belakangan ini? Hal ini berawal dari acara peluncuran Peta Standar Tiongkok Edisi 2023 oleh Kementerian Sumberdaya Alam pada saat peringatan Hari Publisitas Survey dan Pemetaan dan Minggu Publisitas Peduli Pemetaan Nasional tanggal 28 Agustus 2023 di Deqing, Zhejiang. Acara ini menarik perhatian nasional Tiongkok dan disiarkan secara internasional sehingga menyita perhatian berbagai negara, terutama yang terdampak oleh peta baru tersebut.

Peta Tiongkok 2023 tersebut menyajikan kembali klaim Tiongkok yang eksesif sehingga memasukkan wilayah berbagai negara menjadi bagiannya. Maka dari itu, negara-negara yang terdampak tersebut seakan ‘dipaksa’ untuk mengajukan protes lagi secara resmi. Sekali lagi, yang diajukan Tiongkok dan yang diprotes negara tetangga bukanlah hal baru. Ini adalah soal mencatat aksi secara resmi. Tiongkok ingin sekali lagi mencatat aksi penegasan klaim dan negara tetangga juga wajib mencatatkan protesnya. Jika mereka tidak memprotes, maka akan jadi catatan buruk, seakan mereka mengamini klaim Tiongkok.

Bagi Tiongkok, tindakan ini bisa jadi merupakan bagian dari strategi untuk memanfaatkan momentum. Dengan mengeluarkan peta baru saat ini, banyak negara di dunia akan membicarakannya. Isunya jadi hangat. Ini momentum tepat karena Tiongkok akan hadir di ASEAN Summit di Jakarta (5-7 September 2023) dan Pertemuan G-20 di India (9-10 September 2023). Nampaknya Tiongkok ingin agar isu ini menjadi salah satu topik yang dibahas di forum internasional tersebut. Selama ini, forum-forum ini cenderung meghindari pembicaraan terkait sengketa wilayah.

Bagaimana sikap Indonesia sebaiknya? Penolakan tegas yang disampaikan Menlu Retno Marsudi melalu media adalah sikap yang tepat. Perlu diingat, posisi Indonesia di LCS selalu konsisten dari dulu berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Bahwa ruang laut yang diklaim Indonesia saat ini adalah sepenuhnya berdasarkan UNCLOS. Indonesia dan Tiongkok sama-sama telah mengakui UNCLOS sehingga tidak ada alasan untuk tidak menaatinya.

Sesuai UNCLOS, Indonesia tidak berurusan dengan Tiongkok di LCS. Hak ruang laut Indonesia hanya tumpang tindih dengan Malaysia dan Vietnam. Hanya dengan keduanya Indonesia perlu menetapkan batas maritim. Hal ini sudah dilakukan, meskipun belum sepenuhnya tuntas. Dengan Vietnam, Indonesia bahkan sudah berhasil mencapai kesepakatan batas ZEE pada bulan Desember 2022 lalu. Melalui proses legal yang panjang, dasar laut Indonesia di LCS sudah sepenuhnya jelas. Sebagian besar ruang air lautnya juga sudah jelas. Semua merupakan hasil kesepakatan dengan negara-negara yang secara legal merupakan tetangga Indonesia yaitu Malaysia dan Vietnam.

Klaim Tiongkok di LCS yang berupa nine-dash line (kini ten-dash line) jelas ‘mencaplok’ ruang laut Indonesia yang sah. Meski demikian, klaim Tiongkok yang tidak berdasarkan UNCLOS tersebut perlu disikapi dengan tenang dan strategis. Indonesia mungkin akan berhati-hati agar sikapnya tidak justru dianggap sebagai pengakuan terhadap klaim Tiongkok yang tidak berdasarkan hukum tersebut. Selain itu, perlu diingat bahwa nine-dash line sudah dinyatakan ilegal oleh Permanent Court of Arbitration tahun 2016. Ini merupakan dukungan hukum bagi sikap Indonesia.

Sebagai Ketua ASEAN, Indonesia harus melakukan langkah terbaik agar ASEAN Summit di Jakarta nanti berjalan kondusif dan tidak terganggu oleh isu sengketa wilayah. Perlu dipastikan, isu peta baru dan kehadiran Tiongkok tidak akan menimbul tekanan berlebihan pada anggota ASEAN yang akhirnya berdampak negatif bagi terjadinya dialog yang terbuka. Semoga.


[1] Dosen Aspek Geospasial Hukum Laut di Departemen Teknik Geodesi. Ketua Program Studi Magister Teknik Geomatika, Fakultas Teknik, UGM. Tulisan ini adalah pendapat pribadi

Menyambut Era Baru Batas Maritim Indonesia-Malaysia

Kompas, 7 Juli 2023

I Made Andi Arsana[1]

Tanggal 8 Juni 2023, tepat saat peringatan World Ocean Day, Indonesia dan Malaysia menorehkan sebuah sejarah penting. Dalam pertemuan Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri (PM) Anwar Ibrahim, kedua negara menyepakati perjanjian batas maritim untuk laut teritorial. Untuk membahas perjanjian bersejarah ini, saya berdiskusi dengan sahabat saya, dosen dan ahli hukum internasional di Fakultas Syariah dan Hukum, Universiti Sains Islam Malaysia, Dr. Mohd. Hazmi Mohd Rusli.

Perjanjian batas maritim terakhir disepakati Indonesia dan Malaysia tahun 1970, 54 tahun sebelum akhirnya perjanjian baru disepakati. Selama kurun waktu tersebut, usaha untuk mencapai kesepakatan selalu berjalan. Negosiasi secara intensif dilakukan sejak tahun 2005 ketika kasus sengketa Blok Ambalat mengemuka. Artinya, perlu waktu tidak kurang dari 18 tahun bagi kedua negeri untuk mencapai kesepakatan batas maritim.

Perlu diingat, Indonesia dan Malaysia telah mengakui/meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Artinya, hak dan kewenangan kedua negara atas laut didasarkan pada UNCLOS. Keduanya berhak atas laut territorial (12 mil laut), zone tambahan (24 mil laut), zona ekonomi eksklusif (ZEE, 200 mil laut), dan landas kotinen (dasar laut) yang bisa melebihi 200 mil laut. Perlu dicatat, satu mil laut setara dengan 1.852 meter.

Berdasarkan UNCLOS ini, Indonesia dan Malaysia berhak atas laut yang luas. Meski demikian, jarak kedua negara berdekatan satu sama lain. Akibatnya, tidak mungkin bagi Indonesia maupun Malaysia untuk menguasai semua zona maritim yang diizinkan UNCLOS tanpa adanya tumpang tindih satu sama lain. Tumpang tindih inilah yang menyebabkan kedua negara perlu berbagi laut melalui penetapan (delimitasi) batas maritim di Selat Malaka bagian utara, Selat Malaka bagian selatan, Laut Cina Selatan, dan Laut Sulawesi. Ini pula sebabnya mengapa kedua negara memerlukan beberapa perjanjian.

Dari tahun ke tahun, kita sering disuguhi berita terkait insiden di kawasan batas maritim antara Indonesia dan Malaysia. Sengketa terkait Blok Ambalat yang meledak di tahun 2005 dan 2009, adalah salah satu contoh nyata. Insiden penangkapan nelayan di Selat Malaka, Tanjung Berakit dan Laut Cina Selatan juga terjadi silih berganti. Masalah utamanya adalah belum disepakatinya batas maritim. Meski demikian, kedua negara telah mengajukan usulan batas maritim sesuai dengan interpretasi dan kepentingan masing-masing. Usulan tersebut menimbulkan tumpang tindih ruang laut. Di ruang ini kerap terjadi perselisihan dan ketegangan yang berujung insiden.

Puluhan tahun berunding, Indonesia dan Malaysia tak kunjung bersepakat. Berbilang perdana menteri telah berganti di Malaysia dan berbilang presiden datang dan pergi di Indonesia namun kesepakatan batas maritim belum juga tercapai. Maka dari itu, apa yang telah berhasil dicapai oleh Presiden Joko Widodo dan PM Anwar Ibrahim di tahun 2023 ini patutlah mendapat apresiasi. Tentu ada banyak orang di kementerian dan lembaga kedua negara yang pantas disanjung.

Buntut kesepakatan ini cukup gaduh di Malaysia. Ada yang menuduh, PM Anwar Ibrahim telah menjual kedaulatan Malaysia kepada Presiden Jokowi di Indonesia. Sementara itu, di sisi Indonesia pun kerap ada suara sumbang jika kesepakatan batas maritim berhasil dicapai. Tuduhan atau kecurigaan akan kekalahan kerap mengikuti sebuah capaian kesepakatan.

Kesepakatan batas maritim adalah hasil sebuah proses kompromi. Ini bukan hanya soal menang dan kalah tetapi soal kebesaran hati menerima berbedaan lalu bekerja sama untuk mencari solusi terbaik bagi semua pihak. Bisa dipahami, Indonesia tidak akan menerima begitu saja usulan Malaysia dan demikian pula sebaliknya. Maka, demi tercapainya kesepakatan, kedua belah pihak harus mau menyesuaikan keinginan. Ini adalah karakter utama sebuah negosiasi, bahwa setiap pihak akan mendapatkan kurang dari apa yang mereka inginkan di awal.

Satu yang penting untuk dicatat, Indonesia dan Malaysia berhasil mencapai kesepakatan tanpa intervensi pihak ketiga. Sebenarnya bisa saja keduanya membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional atau International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) namun mereka memilih berunding. Pilihan ini menunjukkan kedekatan hubungan dan kepercayaan satu sama lain.

Meskipun belum tuntas semua segmen batas maritim, keduanya memutuskan untuk mengikat diri dalam perjanjian. Ini merupakan pendekatan yang baik karena masyarakat kedua negara dan dunia akan melihat adanya progres. Pernah di suatu masa ada pendekatan “nothing agreed until everyting is agreed”, bahwa perjanjian akan ditetapkan jika semua segmen sudah disepakati. Pendekatan semacam ini bisa memakan waktu lama dan akan menimbulkan kesan yang lambat. Pendekatan ini nampaknya sudah berubah. Ini langkah tepat, sekali lagi, untuk mencatat dan menunjukkan adanya progres yang jelas dalam proses negosiasi.

Lepas dari kemungkinan perdebatan yang muncul terkait adil tidaknya kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia, keduanya telah menjadi contoh yang baik dalam menyelesaikan konflik dengan cara damai melalui negosiasi. Sebagai tetangga dan bangsa serumpun, memiliki batas yang jelas adalah bagian penting dari menjamin pertetanggan yang baik. Seperti ungkapan seorang penyair Amerika, Robert Frost, “Good fences make good neighbors”.


[1] Dosen Aspek Geospasial Hukum Laut di Departemen Teknik Geodesi. Ketua Program Studi Magister Teknik Geomatika, Fakultas Teknik, UGM.

Ekspor Pasir, Reklamasi dan Ancaman Batas Maritim

Kompas, 6 Juni 2023

Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang menimbulkan kontoversi. Pokok persoalannya adalah adanya pasal yang mengizinkan ekspor pasir laut ke luar negeri. Ekspor pasir ini pernah dilarang selama 20 tahun dan kini tiba-tiba dibuka lagi. Banyak pihak yang mempertanyakan.

PP 26/2023 tentu saja bukan hanya tentang ekspor pasir laut. Seperti namanya, peraturan in adalah tentang pengelolaan sedimentasi di laut dan pasir adalah salah satunya. Intinya, laut kita mengalami pendangkalan karena pengendapan berbagai bahan yang jika dibiarkan akan dapat menghambat lalu lintas di laut. Ini yang ingin dikelola melalui PP 26/2023 ini.

Secara teknis, pendangkalan laut akibat pengendapan memang perlu dipantau secara berkala. Perlu dilakukan survey pemetaan batimetri untuk mengetahui kedalaman laut pada waktu tertentu. Jika survey pemetaan ini dilakukan pada dua waktu berbeda, maka akan didapat hasil kedalaman yang berbeda. Perbedaan kedalaman itu menunjukkan proses pendangkalan.  Ini melibatkan keahlian pemetaan seperti geodesi, hidrografi dan oseanografi.

PP 26/2023 dengan rinci menjelaskan perlunya perencanaan yang baik terkait pengelolaan sedimentasi di laut ini. Ditegaskan juga di pasal 5 bahwa perencanaan ini perlu melibatkan ahli dan pihak lain yang kompeten. Selanjutnya pasal 6, 7, dan 8, mengatur cara membersihkan sedimen di laut dengan alat dan prosedur yang mengutamakan keselamatan dan keamaan serta keterjagaan lingkungan. Pada pasal-pasal berikutnya, diatur secara rinci tentang keterlibatan berbagai pihak, kebutuhan izin dan ketentuan yang harus diikuti untuk menjamin proses pengelolaan hasil sedimen laut ini berjalan dengan baik dan tidak merugikan siapapun.

Pada bagian pemanfaatan hasil sedimen di luat, PP 26/2023 menegaskan bahwa ada empat peruntukan yang dimungkinkan. Sedimen ini bisa digunakan untuk a) reklamasi dalam negeri, b) untuk pembangunan infrastruktur pemerintah, c) pembangunan prasarana oleh pelaku usaha; dan/atau d) ekspor. Pada poin terakhir, ditegaskan bahwa pasir bisa diekspor “sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Bagian inilah yang mengundang berbagai reaksi.

Jika kita membaca dengan teliti PP 26/2023 yang terdiri dari sembilan bab, 32 pasal dan setebal 30 halaman itu, kita akan tahu bahwa ekspor pasir adalah bagian kecil dari keseluruhan aturan. Mengapa menjadi kontroversi? Pasir yang kita ekspor itu bisa dibeli oleh Sigapura untuk reklamasi. Bayangkan, kita menjual pasir ke sebuah negara untuk memperluas daratannya. Apa yang terjadi dengan perbatasan kita jika daratan Singapura makin luas dan mendesak Indonesia?

Pertama, jika memang telah membeli dengan proses yang legal, Singapura bisa memanfaatkan pasir untuk reklamasi. Reklamasi adalah sebuah keputusan internal untuk kepentingan nasional Singapura yang Indonesia tidak bisa intervensi. Singapura adalah negara merdeka.

Meski demikian, muncul kekhawatiran klaim maritim Singapura. Sesuai ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, setiap negara pantai berhak atas laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang diukur dari garis pangkal (garis pantai). Ada pandangan, bertambahnya luas Singapura itu akan mengeser garis pantainya ke selatan dan artinya bisa menggeser klaim zona maritim ke selatan ke arah Indonesia. Jika ini terjadi, maka dikhawatirkan Indonesia akan dirugikan karena lautnya jadi berkurang.

Perlu dipahami, Indonesia dan Singapura sudah menetapkan batas maritim tahun 1973, 2009, dan 2014. Berita baiknya, batas maritim yang sudah ditetapkan itu tidak akan berubah karena adanya perubahan garis pantai salah satu pihak. Hal ini sesuai dengan Pasal 62 ayat 2.A.a Konvensi Wina 1969 yang menyebutkan bahwa perjanjian antar negara secara umum memang bisa berubah, kecuali untuk perjanjian soal perbatasan. Analoginya, seperti kondisi dua rumah yang saling bertetangga. Renovasi rumah tetangga kita, baik itu membesar maupun mengecil, tidak akan menggeser pagar pekarangan yang sudah ditetapkan.

Selain isu di atas, ada hal lain terkait ekspor pasir dan batas maritim yang perlu diperhatikan. Pada tahun 2003, Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI mengeluarkan Keputusan Menteri nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Pada aturan itu dikatakan bahwa penghentian itu akan ditinjau kembali, salah satunya, jika penetapan batas antara Indonesia dan Singapura sudah tuntas (pasal 2 ayat 2).

Penetapan batas maritim dengan Sigapura memang sudah ditetapkan namun di ujung barat dan timur segmen batas perlu ditetapkan titik temu tiga (three junction point) yang melibatkan Indonesia, Singapura dan Malaysia. Dilihat dari sini, bisa dikatakan bahwa batas maritim Indonesia dan Singapura belum sepenuhnya tuntas. Bisa dipahami bahwa pembukaan izin ekspor pasir tahun 2023 dianggap tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Pergagangan nomor 117/MPP/Kep/2/2003.

Banyak hal yang perlu didiskusikan. Kita perlu secara cermat memahami isi PP 26/2023 secara komprehensif dan tidak fokus hanya pada isu ekspor pasir. Tidak perlu ada kekhawatiran soal batas maritim dan kedaulatan terkait ekspor pasir ini namun isu lingkungan harus diperhatikan. Selain itu, aspek hukum perlu pembahasan yang teliti. Semua pihak perlu merespon dengan cermat.

Lebih Mudah Jadi Presiden Indonesia Dibandingkan Masuk Teknik Geodesi UGM?

Saya tahu, pasti banyak yang mengernyitkan dahi atau mencibir. Saya sedang bicara soal selektivitas, keketatan atau persaingan masuk perguruan tinggi.

Tahun 2022, misalnya, rasio masuk Teknik Geodesi UGM adalah 1:11 artinya ada satu orang yang diterima dari setiap 11 orang yang mendaftar. Sementara itu, tahun 2019, hanya ada dua calon presiden di Indonesia dan satu orang pasti berhasil jadi presiden. Artinya ada satu orang yang diterima dari setiap dua orang yang mendaftar. Lebih mudah mana?

Mari kita lihat lebih jauh. Kuota Teknik Geodesi UGM tahun 2022 adalah 140 orang. Artinya pendaftarnya sekitar 1.540 orang maka rasionya menjadi 1:11. Jadi ada 1.540 pendaftar dan yang diterima adalah 140 orang. Artinya, ada 1.400 orang yang pasti tidak diterima. Dengan kata lain, untuk bisa diterima di Teknik Geodesi UGM tahun 2022, harus mengalahkan 1.400 orang. Pak Jokowi hanya perlu mengalahkan Pak Prabowo untuk menjadi Presiden Indonesia di tahun 2019 lalu. Lebih sulit mana?

Apa betul lebih mudah menjadi Presiden RI dibandingkan masuk Teknik Geodesi UGM. Tentu kita tahu jawabannya. Tulisan ini untuk memberi sebuah ilustrasi, betapa bahanya kalau kita menilai mudah tidaknya masuk sebuah prodi kuliah hanya dengan melihat data keketatan,  selektivitas, atau persaingannya. Tahun 2022, keketatan masuk Pariwisata UGM adalah 1: 34 sedangkan Teknik elektro 1:19. Apakah masuk Teknik Elektro UGM lebih mudah?

Untuk masuk program internasional (IUP) Psikologi UGM, misalnya ada 40 orang yang diterima dari sekitar 300 pendaftar setiap tahunnya. Artinya keketatannya adalah 1:7. Sementara itu keketatan Prodi Arkeologi adalah 1:14, Sastra Jawa 1:9 dan Filsafat 1:9. Apakah masuk program internasional psikologi lebih mudah dibandingkan ketiga prodi tersebut? Anak saya yang harus belajar mati-matian untuk bersiap masuk IUP Psikologi, lalu mengikuti GMST berbahasa Inggris dan harus meraih skor ACEPT tinggi serta harus wawancara dalam Bahasa Inggris, tentu punya pendapat sendiri.

Tantangan masuk sebuah prodi kuliah tidak bisa dilihat dari keketatan atau tingkat persaingan saja. Terlalu sederhana dan bisa menimbulkan salah paham. Ini sama dengan mengatakan menjadi Presiden Indonesia lebih mudah dibandingkan masuk Teknik Geodesi UGM. Tentu saja ini pernyataan yang super absurd. Yang lebih penting lagi, mungkin tidak bijak mengatakan ini lebih baik dari itu karena program studi kuliah semestinya adalah soal pilihan yang disesuaikan dengan greget masing-masing. Seperti kata Abah Lala dalam lantunan Denny Caknan, “ojo dibanding-bandingke”. Kepada anak-anakku yang sedang berjuang, 20 tahun lagi kamu mungkin akan tertawa geli mengingat hal yang paling kamu khawatirkan tahun ini. Percayalah.

Menyambut Undang-Undang Landas Kontinen yang Baru

Kompas, 26 April 2023

Lima puluh tahun setelah Undang-Undang tentang Landas Kontinen pertama yang dimiliki negeri ini, akhirnya Indonesia memiliki undang-undang yang baru. Tanggal 13 April 2023, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Landas Kontinen menjadi undang-undang. Ini adalah pencapaian yang patut dicatat setelah perjuangan yang cukup panjang.

Landas kontinen adalah dasar laut yang merupakan hak suatu negara pantai sesuai dengan yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS). Menurut Pasal 76 UNCLOS 1982, hak atas landas kontinen bisa lebih dari 200 mil laut (lebih dari 370 kilometer). Penetapannya cukup rumit karena tidak hanya mempertimbangkan jarak tetapi juga kondisi dasar laut. Ada kriteria ketebalan sedimen/endapan dan topografi dasar laut yang harus dipertimbangkan untuk landas kontinen di luar 200 mil laut.

Selain proses teknis yang kompleks, penetapan batas terluar landas kontinen di luar 200 mil laut ini juga harus mendapat rekomendasi/persetujuan badan PBB yaitu Commission on the Limits of the Continental Shelf (UNCLCS). Singkatnya, untuk bisa memastikan haknya akan landas kontinen, terutama di luar 200 mil laut, sebuah negara harus melakukan proses geospasial teknis berupa survei pemetaan dasar laut sekaligus menempuh jalur hukum dan diplomasi untuk mendapat persetujuan PBB. Ada keterlibatan ahli teknis (geodesi/geomatika/geografi/geologi), pakar dan praktisi hukum, serta diplomat dalam prosesnya.

Usaha Indonesia untuk mengkonfirmasi haknya atas landas kontinen di luar 200 mil laut telah dilakukan sejak lama. Pengajuan kepada UNCLCS pertama dilakukan tahun 2008 dilanjutkan tahun 2019, 2020 dan tahun 2022. UNCLCS telah merekomendasikan pengajuan tahun 2008 dan menyetujui ‘penambahan’ dasar laut Indonesia sekitar 4000 km persegi. Sementara itu, tiga pengajuan lain sedang dalam proses pertimbangan UNCLCS.

Hak atas landas kontinen perlu dipastikan agar suatu negara bisa memanfaatkan kekayaan alam yang ada di dalamnya secara meyakinkan. Tentu ada banyak hal yang bisa dimanfaatkan, utamanya sumber daya hidrokarbon seperti minyak dan gas bumi. Jadi, selain soal wilayah dan yurisdiksi, landas kontinen adalah juga soal sumber daya alam dan ekonomi. Selain soal hak berdaulat (sovereign rights), landas kontinen adalah juga soal kesejahteraan (prosperity).

Pengelolaan landas kontinen memerlukan pengaturan yang rinci dan teliti. Inilah alasan perlunya undang-undang tentang landas kontinen. Di tahun 1973, Indonesia mengesahkan UU No. 1/1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Undang-undang tersebut mengadopsi aturan internasional yang berlaku saat itu yaitu Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen 1958. Aturannya berbeda dengan UNCLOS 1982 yang menjadi pedoman utama bagi pengelolaan laut saat ini.

Dalam penetapan batas terluar landas kontinen, misalnya, aturan UNCLOS 1982 sangat sistematis dan pasti, sedangkan Konvensi 1958 bersifat ‘terbuka’ dan tidak pasti. Di Konvensi 1958 disebutkan bahwa sebuah negara berhak atas landas kontinen “sampai kedalaman 200-meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam”. Dengan aturan ini, sebuah negara berhak atas dasar laut hingga jauh atau dalam sekali, asalkan negara tersebut masih bisa memanfaatkanya. Aturan ini mengandung ketidakpastian dan cenderung berpihak pada negara maju dan ini diadopsi dalam UU No. 1/1973. Ketidaksempurnaan prosedur penetapan batas terluar landas kontinen pada UU No. 1/1973 ini diperbaiki dalam undang-undang tahun 2023 dengan mengacu pada Pasal 76 UNCLOS 1982.

UU No. 1/1973 juga memuat sanksi yang terlalu rendah. Misalnya, untuk kesalahan terkait pemanfaatan kekayaan dasar laut dan penelitian ilmiah kelautan, jumlah dendanya maksimal Rp 1.000.000,-. Dewasa ini, jumlah denda ini tentu sangat kurang untuk bisa menimbulkan efek jera pada pelaku. Hal ini menjadi salah satu poin penting yang dimutakhirkan pada undangan-undang landas kontinen tahun 2023 dengan menetapkan denda miliaran rupiah. Undang-undang tahun 2023 ini juga mengandung unsur perlindungan landas kontinen yang tegas dari pihak asing dengan memasukkan secara eksplisit larangan dan ketentuan bagi perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, dan/atau warga negara asing.

Pembaruan juga mencakup keterlibatan berbagai pihak dalam melakukan penyidikan tindak pidana di landas kontinen. Penyidik yang terlibat adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Pegawai Negeri Sipil lingkungan hidup, Pegawai Negeri Sipil energi dan sumber daya mineral, dan/atau Pegawai Negeri Sipil perikanan.  Hal ini dimaksudkan untuk memastikan semakin banyak pihak yang terlibat sehingga hasilnya bisa lebih komprehensif. Di sisi lain, semakin banyak pihak yang terlibat, semakin menantang koordinasinya.

Negara kepulauan terbesar di dunia yang turut memelopori lahirnya UNCLOS, sudah selayaknya memiliki aturan nasional yang mengadopsi UNCLOS 1982 dengan baik. Lahirnya undang-undang tentang landas kontinen tahun 2023 adalah salah satu jawaban. Undang-undang ini mengatur perihal penguasaan landas kontinen yang luas, mengatur pengelolaannya dengan mengutamakan kemanfaatan dan kelestarian, serta memastikan pelanggaran diganjar hukuman yang setimpal.

Lahirnya undang-undang tentang landas kontinen tahun 2023 adalah berita baik tetapi ini bukanlah akhir dan segalanya. Membuat aturan turunan yang jelas dan sistematis adalah pekerjaan rumah berikutnya. Yang utama, tentu saja adalah penegakan aturan dalam undang-undang ini secara tegas dan adil. Tanpa itu, aturan hanya akan menjadi kumpulan kalimat yang tidak bermakna dan, terutama, tidak berdampak.


[1] Dosen dan Peneliti Aspek Geospasial Hukum Laut di Teknik Geodesi, serta Ketua Prodi S2 Teknik Geomatika UGM.

Lita Masuk UGM, Mungkin Karena Jatah

Apakah saya bangga ketika Lita bisa diterima di UGM? Tentu saja. Yang ingin saya ceritakan adalah perkara lain. Perkara yang mungkin lebih mendasar dari sekedar bangga atau tidak, gembira atau tidak. Ini adalah perihal proses, perihal perjuangan.

Lita memutuskan untuk tidak menjadi seperti ibunya, tidak juga seperti ayahnya dalam hal pemilihan bidang studi. Lita tidak tertarik menjadi sarjana teknik, tidak juga berminat menjadi dokter. Dalam kelakar saya kepada teman-teman, kami adalah orangtua yang gagal menjadi idola bagi anak sendiri.

Kami menghormati keputusan Lita. Tentu saja, tugas kami adalah memberinya kesempatan menyimak informasi sebanyak-banyaknya. Saya beberapa kali mengajaknya jalan-jalan ke berbagai kampus di UGM. Menunjukkan gedung berbagai fakultas dan menceritakan orang-orang berpengaruh yang ‘lahir’ dari berbagai fakultas itu. Saya juga mengajaknya bertemu beberapa orang yang mungkin bisa menginspirasinya. Menurut saya, ini adalah cara yang baik untuk memberinya keterpaparan positif.

Apa yang kami lakukan dan menurut kami baik itu ternyata tidak selalu diterima sebagai hal yang baik oleh Lita. Usaha kami memotivasi ternyata kerap hadir sebagai intimidasi. Beberapa hari lalu, Lita menceritakan suatu rahasia, bahwa dia ternyata pernah ke kamar mandi sendirian ketika kami bertiga sedang makan di sebuah café. Pasalnya, selama makan kami sibuk bercerita tentang masa depan, tentang kuliah, tentang kesempatan dan tentang persaingan hidup. Ketika kami rasa itu adalah cerita motivasi, Lita ternyata menerimanya sebagai intimidasi. Mungkin ada juga keluarga yang mengalami ini dan mungkin tidak pernah terungkap. Terus terang, saya sedih mendengarnya tetapi syukurlah semua itu berlalu dan Lita bertahan dengan baik. Maafkan kami ya, Nak. Terima kasih sudah bertahan dengan cara yang pastinya tidak mudah.

Di kelas satu SMA, Lita sudah mulai menunjukkan minat ke Psikologi UGM, terutama program internasional (IUP). Tanggal 16 Juni 2021, saya mengajaknya campus tour. Ada sebuah foto di depan Gedung Psikologi yang saya bagikan di Istastory denyan caption “Lita minat masuk sini”. Tentu saja Lita juga berfoto di depan banyak Gedung lain dengan caption berbeda. Umumnya saya bercerita tentang alumni-alumni berpengaruh dari kampus itu. Lita tidak pernah menunjukkan minat ke tempat lain. Sejak hari itu, fokusnya hanya ke Psikologi. Tidak ada yang lain.

Hidup berjalan normal. Seperti banyak keluarga lain, kami hidup dan berjalan dengan wajar. Ada drama, ada masalah, dan ada perselisihan, di tengah hari-hari biasa yang diisi dengan kesenangan keluarga. Lita menunjukkan ups and down dalam cita-citanya. Pernah juga sekali waktu pengen sekolah ke luar negeri, lalu redup lagi. Ketika mulai kelas tiga, nampaknya dia sudah mantap dan mulai les di sana sini.

Ada tiga atau empat les di luar sekolah yang diikutinya. Dua di antaranya adalah di Inten dan di ESP, tempat les yang dijadikan rujukan oleh banyak peminat UGM. Lesnya tidak murah menurut kami tetapi niat dan semangat besar di balik itu yang menjadikan kami harus berusaha melunasinya. Usaha dan dukungan terbaik berupa doa tentu saja harus diiringi dengan banyak hal yang bersifat materi. Tidak ada yang gratis di dunia ini.

Ketika harus les, Lita biasa pulang malam. Kadang bahkan sampai jam 9 malam. Lita mulai naik motor sejak kelas dua SMA dan ke mana-mana sendiri. Dia ke sekolah sendiri. Les sering sendiri. Ke dokter sendiri. Ke rumah sakit juga sendiri. Tidak jarang Lita mengalami masalah di jalan dan coba diselesaikannya sendiri. Cerita khas seperti kekurangan uang untuk beli bensin, dan kartu parkir yang raib sehingga harus bernegosiasi dengan tukang parkir adalah sebagian saja dari cerita klasik itu. Nurun siapa ini? Yang pasti bukan dari Ibunya 🙂

Di sepanjang perjuangan itu, kami punya program belajar TOEFL keluarga. Setiap minggu kami mengerjakan soal TOEFL bersama. Lita selalu paling tinggi nilainya, meskipun termasuk yang paling tidak bisa menjelaskan ketika ditanya soal grammar. Ketika tes sesungguhnya, nilainya 637. Menurut saya, itu sangat amat baik. Modal Bahasa Inggris untuk menuju IUP Psikologi UGM kami rasa cukup. Semoga.

Setiap kali Tryout di tempat les, nilainya selalu baik. Nilainya selalu di atas syarat minimal masuk IUP UGM, maka kami sedikit lega. Lita secara konsisten menunjukkan itu, meskipun itu harus dijalani dengan sangat sibuk. Kadang Lita mengeluh di tengah jalan. Ibunya adalah orang terbaik yang menjaga semangatnya. Saya tahu, perjuangan hidup Lita mungkin lebih sulit dari saya dulu. Hidup memang tidak melulu soal fasilitas duniawi. Hidup di berbagai zaman memang berteman dengan berbagai kesulitan yang kerap tidak mudah dilewati. Tak elok membandingkan.

Selama perjuangan masuk UGM, ada satu hal yang menghantui. Tidak sedikit orang beranggapan bahwa masuk UGM itu mudah bagi anak dosen karena ayahnya bisa dapat jatah. Saya tidak akan berdebat soal ini tetapi saya memilih untuk menggunakan jalur semestinya. Saya tidak banyak membantah kata-kata atau kelakar orang. Kami jalan saja dengan santai. Sebagai dosen, saya sudah merasa mendapatkan banyak sekali fasilitas dan privilese. Saya dengan santai dan mudah bisa mendapatkan informasi teknis dan penting. Saya bisa tanya siapa saja di UGM ini. Bagi saya, itu saja sudah merupakan kemewahan yang patut disyukuri.

Lita mengikuti tes ACEPT (Basaha Inggris) dan Gadjah Mada Scholastic Test (GMST) di UGM tanggal 2 Maret 2023. Saya mengantarnya di pagi hari dan ikut degdegan. Ini penentuan. Di siang hari ketika selesai, Lita menyampaikan “wasnt that good”. Hati saya berantakan tetapi tetap mengatakan “isoke”. Demikian rasanya mendampingi perjuangan anak sendiri. Saya merenungi dan kini merasakan sendiri kegalauan para orang tua. Kegalauan yang tidak boleh dipamerkannya di sembarang waktu. Kegalauan yang harus segera diubah dengan senyum tenang dan sikap optimis, meski kerap dipaksakan.

Tanggal 3 Maret, Lita dinyatakan lolos ACEPT dan GMST. Kami lega luar biasa dan itu artinya Lita maju ke babak berikutnya berupa tes menulis essay dan wawancara. Untuk ini, saya juga membantu Lita berlatih. Pernah kami habiskan waktu hingga larut malam di sebuah café untuk berlatih wawancara. Hal semacam ini adalah hobi dan passion saya. Meski demikian, ketika berhadapan dengan anak sendiri, segalanya serba lain. Jadi berbeda. Lebih tegang, lebih rumit. Entahlah.

Dalam perjalanan ke tempat tes di tanggal 4 Maret 2023, Lita bertanya beberapa hal terkait cara bercerita yang singkat tetapi membuat pewawancara tertarik. Hal ini tidak mudah dilakukan, terutama ketika pertanyaannya sangat standar seperti “tell me about yourself”. Saya beri beberapa pilihan fakta yang bisa dia gunakan. Ada dua hal penting yang saya sarankan untuk dikatakan yaitu tentang dia yang menulis novel berbahasa Inggris di usia sebelum 13 tahun dan perjalanannya naik pesawat sendiri sebelum usia 7 tahun. Dia excited!

Tanggal 9 Maret 2023 adalah hari penting itu. Lita dinyatakan diterima di IUP Psikologi UGM. Kami bersyukur sudah tentu. Saya pun mengirimkan pesan kepada beberapa orang untuk menyampaikan kabar bahagia dan berterima kasih atas doa dan dukungan mereka. Ada seseorang dengan otoritas di UGM yang mengirimkan pesan seperti ini “Selamat Pak, menika murni karena usaha Lita sendiri”. Pesan lain juga datang dari seseorang yang terlibat dalam penerimaan mahasiswa baru “[…] Saya sendiri terus terang tidak tahu Lita yang mana (namanya siapa dan anaknya yang mana) Bapak, saya hanya tahu di akhir saat proses penstatusan, ranking Lita sangat baik di semua aspek. Well deserved. […]”

Lita berhasil masuk UGM memang karena jatah. Jatah yang diberikan Hyang Widhi karena tidak ada hal yang bisa terjadi tanpa jatah yang disiapkan-Nya. Jatah yang dijemputnya dengan perjuangan dan kerja keras serta doa dari banyak orang di sekitarnya. Selamat ya Nak. Matur suksma semuanya.

Sebuah Ide tentang Beasiswa bagi mereka yang tidak mau pulang

First thing first. Penerima LPDP yang tidak mau pulang dan terbukti melanggar kontrak, harus diberi sanki yang sesuai hukum. Proses secara hukum dan putuskan dengan adil, tidak ada yang dirugikan atau tertindas secara tidak adil. Pastikan ganjarannya. Selesaikan perkaranya!

Mari kita bicara soal beasiswa jenis lain, khusus bagi mereka yang tidak [harus] pulang ke tanah air. Pertama, niatkan sebuah tujuan besar, bahwa Indonesia perlu menempatkan orang-orang terbaiknya di berbagai belahan dunia, selain di Indonesia tentunya. Mereka adalah duta, sebagai perwakilan, sebagai kebanggaan.

Bayangkan, ada orang-orang Indonesia yang berkarya di puncak-puncak peradaban dunia. Kampus-kampus terkemuka, institusi think tank yang disegani, perusahan berpengaruh dunia, pusat pemerintahan, punya perusahaan di pusat ekonomi internasional, NGO, you name it! Orang-orang ini bekerja dengan gembira dan bangga akan Indonesia karena dia didukung bangsanya, tidak saja dengan doa dan puja puji tetapi lebih dari itu.

Sebelum itu terjadi, tugas pemerintah adalah menyiapkan dana beasiswa yang layak. Beasiswa ini untuk mengirimkan orang-orang terbaik Indonesia ke pusat-pusat pendikan masyur dunia. Seleksinya ketat, terarah dan penuh strategi. Visinya jangka panjang melampaui rejim kekuasaan, pendekatannya komprehensif, serta eksekusinya rinci dan saksama. Hindari salah pilih.

Kontrak dan janji dibuat di awal bahwa mereka akan menyelesaikan pendidikan dan TIDAK akan pulang dalam jangka waktu tertentu. Mereka WAJIB mendapatkan peran di institusi-institusi mentereng yang sudah ditetapkan kelasnya. Mereka perlu didukung oleh negara ketika memulai karier. Beri mereka target yang ambisius namun masuk akal. Bahwa mereka adalah kepanjangan tangan, telinga dan mata bagi Indonesia. Mereka duta bangsa!

Jika ada yang menggap ini terlalu berat dan membebani, tidak perlu mendaftar beasiswa ini. Mereka bisa mendaftar beasiswa lain dengan syarat dan konsekuensi berbeda. Beasiswa ini khusus bagi mereka yang berani melakukan hal-hal besar di tempat asing dan berkolaborasi dengan orang-orang yang baru dikenal.

Berikan kemudahan bagi orang-orang demikian. Buat mereka bangga karena merasa diberi kepercayaan. Jadikan mereka tak mau berpaling dari Indonesia karena perhatian yang cukup, dukungan yang memadai dan perlakuan yang mendamaikan. Mereka pun tak akan menghadirkan keresahan karena mereka adalah orang-orang dengan karakter terpilih dari proses yang transparan dan objektif.

Kelak ketika mereka telah menuai kuasa dan mendulang peran-peran besar, mereka siap siaga untuk diberi peran-peran strategis di tanah air. Mereka adalah orang-orang hebat yang sadar kelemahan negerinya dan siap dipanggil untuk memperbaiki keadaan. Mereka penuh dedikasi karena telah menikmati kebaikan dan ketulusan bangsanya. Maka ketika bangsa menunggu, mereka akan lari mendekat tanpa ada ragu.

BONUS PRAGRAF!

Terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada 35 ribu lebih penerima Beasiswa LPDP yang telah belajar dan bekerja dengan sangat baik. Saya tahu tantangan dan kesulitan dalam belajar. Terima kasih telah bertahan dan tidak menyerah. Bagi yang belajar di mancanegara, terima kasih telah menjadi wajah menawan Indonesia di mata dunia. Saya bangga!

SEKOLAH KE LUAR LALU ENGGAN PULANG

Tahun 1996 saya meninggalkan Bali, merantau ke Jogja untuk sekolah di UGM. Saya sekolah dengan keringat orang tua yang tidak berpendidikan. Hingga kini saya tidak pulang ke Bali dan malah menetap di Jogja. Bapak ibu saya bahagia karena mereka memang tidak mensyaratkan saya untuk kembali ke Bali.

Seorang pemuda dari Tabanan memilih kuliah di Universitas Udayana di Denpasar. Cita-citanya menjadi dokter dan terkabul dalam waktu enam tahun. Dia memilih merantau ke Papua untuk mengabdikan ilmunya bagi masyarakat yang terkebelakang. Pemda Tabanan yang membiayai pendidikannya begitu bangga karena pemudanya mengabdi melampaui dermaga.

Seorang pemuda dari Sulawesi berhasil kuliah di Belanda dengan beasiswa dari Indonesia. Dia berjanji akan pulang dan mengabdi karena keberhasilannya didukung oleh keringat jutaan rakyat Indonesia. Selepas sekolah dia kembali ke Sulawesi untuk membalas budi. Apa daya, negeri tidak peduli, tidak didapatnya peran yang lama dinanti. Dia ternyata lupa mengasah diri untuk menciptakan sendiri pekerjaan yang mendamaikan hati.

Seorang perempuan dari Malang bergeges ke Jepang untuk merengkuh ilmu tentang kilang. Dilahapnya segala hal baru dan ditimbanya pengalaman sambil berlari menderu. Paripurna belajar, dihadapinya tawaran dari Negeri Sakura untuk mengajar. Dilema antara harus terbang atau tawaran yang dibuang sayang, dia memilih untuk tidak pulang. Tak ada uang yang hilang karena dia memang tak harus pulang. Kini dia menjadi jembatan bagi anak Nusantara untuk berguru ke Negeri Sakura.

Seorang penerima beasiswa negeri untuk sekolah di luar negeri memilih untuk tidak kembali. Dia bisa bilang, “mengabdi pada negeri bisa dari mana saja”. Tidak salah tapi dia mengingkari janji pada negeri. Dosanya mungkin bukan pada negeri tapi pada administrasi yang dengan sadar di diberinya janji. Lukanya mungkin bukan pada pertiwi tapi pada teman yang pernah gagal di lintasan perjuangan yang sama.

Agar tak ada dosa, negeri kita perlu menyediakan beasiswa bagi para cendikia untuk berguru di mancanegara dan tak diwajibkan pulang ke Nusantara. Kita dukung mereka yang cemerlang untuk menjadi makin gemilang. Selepas itu, berikan kepercayaan pada mereka untuk melanglang buana ke berbagai belahan dunia. Kibarkan merah putih di tengah lelah dan letih di puncak-puncak tertinggi peradaban dunia agar citra bangsa tak lagi tertindih.

Kelak di kemudian hari, bangsa kita membesar, pengaruh kita meluas. Perdebatan tak lagi hina soal pulang, tak pulang yang dinilai dari tumpukan administrasi. Perdebatannya akan meninggi pada peran-peran besar bagi peradaban. Kelak, ketika Nusantara turut menata dunia meski tanpa Sumpah Palapa.