Ekspor Pasir, Reklamasi dan Ancaman Batas Maritim


Kompas, 6 Juni 2023

Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang menimbulkan kontoversi. Pokok persoalannya adalah adanya pasal yang mengizinkan ekspor pasir laut ke luar negeri. Ekspor pasir ini pernah dilarang selama 20 tahun dan kini tiba-tiba dibuka lagi. Banyak pihak yang mempertanyakan.

PP 26/2023 tentu saja bukan hanya tentang ekspor pasir laut. Seperti namanya, peraturan in adalah tentang pengelolaan sedimentasi di laut dan pasir adalah salah satunya. Intinya, laut kita mengalami pendangkalan karena pengendapan berbagai bahan yang jika dibiarkan akan dapat menghambat lalu lintas di laut. Ini yang ingin dikelola melalui PP 26/2023 ini.

Secara teknis, pendangkalan laut akibat pengendapan memang perlu dipantau secara berkala. Perlu dilakukan survey pemetaan batimetri untuk mengetahui kedalaman laut pada waktu tertentu. Jika survey pemetaan ini dilakukan pada dua waktu berbeda, maka akan didapat hasil kedalaman yang berbeda. Perbedaan kedalaman itu menunjukkan proses pendangkalan.  Ini melibatkan keahlian pemetaan seperti geodesi, hidrografi dan oseanografi.

PP 26/2023 dengan rinci menjelaskan perlunya perencanaan yang baik terkait pengelolaan sedimentasi di laut ini. Ditegaskan juga di pasal 5 bahwa perencanaan ini perlu melibatkan ahli dan pihak lain yang kompeten. Selanjutnya pasal 6, 7, dan 8, mengatur cara membersihkan sedimen di laut dengan alat dan prosedur yang mengutamakan keselamatan dan keamaan serta keterjagaan lingkungan. Pada pasal-pasal berikutnya, diatur secara rinci tentang keterlibatan berbagai pihak, kebutuhan izin dan ketentuan yang harus diikuti untuk menjamin proses pengelolaan hasil sedimen laut ini berjalan dengan baik dan tidak merugikan siapapun.

Pada bagian pemanfaatan hasil sedimen di luat, PP 26/2023 menegaskan bahwa ada empat peruntukan yang dimungkinkan. Sedimen ini bisa digunakan untuk a) reklamasi dalam negeri, b) untuk pembangunan infrastruktur pemerintah, c) pembangunan prasarana oleh pelaku usaha; dan/atau d) ekspor. Pada poin terakhir, ditegaskan bahwa pasir bisa diekspor “sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Bagian inilah yang mengundang berbagai reaksi.

Jika kita membaca dengan teliti PP 26/2023 yang terdiri dari sembilan bab, 32 pasal dan setebal 30 halaman itu, kita akan tahu bahwa ekspor pasir adalah bagian kecil dari keseluruhan aturan. Mengapa menjadi kontroversi? Pasir yang kita ekspor itu bisa dibeli oleh Sigapura untuk reklamasi. Bayangkan, kita menjual pasir ke sebuah negara untuk memperluas daratannya. Apa yang terjadi dengan perbatasan kita jika daratan Singapura makin luas dan mendesak Indonesia?

Pertama, jika memang telah membeli dengan proses yang legal, Singapura bisa memanfaatkan pasir untuk reklamasi. Reklamasi adalah sebuah keputusan internal untuk kepentingan nasional Singapura yang Indonesia tidak bisa intervensi. Singapura adalah negara merdeka.

Meski demikian, muncul kekhawatiran klaim maritim Singapura. Sesuai ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, setiap negara pantai berhak atas laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang diukur dari garis pangkal (garis pantai). Ada pandangan, bertambahnya luas Singapura itu akan mengeser garis pantainya ke selatan dan artinya bisa menggeser klaim zona maritim ke selatan ke arah Indonesia. Jika ini terjadi, maka dikhawatirkan Indonesia akan dirugikan karena lautnya jadi berkurang.

Perlu dipahami, Indonesia dan Singapura sudah menetapkan batas maritim tahun 1973, 2009, dan 2014. Berita baiknya, batas maritim yang sudah ditetapkan itu tidak akan berubah karena adanya perubahan garis pantai salah satu pihak. Hal ini sesuai dengan Pasal 62 ayat 2.A.a Konvensi Wina 1969 yang menyebutkan bahwa perjanjian antar negara secara umum memang bisa berubah, kecuali untuk perjanjian soal perbatasan. Analoginya, seperti kondisi dua rumah yang saling bertetangga. Renovasi rumah tetangga kita, baik itu membesar maupun mengecil, tidak akan menggeser pagar pekarangan yang sudah ditetapkan.

Selain isu di atas, ada hal lain terkait ekspor pasir dan batas maritim yang perlu diperhatikan. Pada tahun 2003, Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI mengeluarkan Keputusan Menteri nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Pada aturan itu dikatakan bahwa penghentian itu akan ditinjau kembali, salah satunya, jika penetapan batas antara Indonesia dan Singapura sudah tuntas (pasal 2 ayat 2).

Penetapan batas maritim dengan Sigapura memang sudah ditetapkan namun di ujung barat dan timur segmen batas perlu ditetapkan titik temu tiga (three junction point) yang melibatkan Indonesia, Singapura dan Malaysia. Dilihat dari sini, bisa dikatakan bahwa batas maritim Indonesia dan Singapura belum sepenuhnya tuntas. Bisa dipahami bahwa pembukaan izin ekspor pasir tahun 2023 dianggap tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Pergagangan nomor 117/MPP/Kep/2/2003.

Banyak hal yang perlu didiskusikan. Kita perlu secara cermat memahami isi PP 26/2023 secara komprehensif dan tidak fokus hanya pada isu ekspor pasir. Tidak perlu ada kekhawatiran soal batas maritim dan kedaulatan terkait ekspor pasir ini namun isu lingkungan harus diperhatikan. Selain itu, aspek hukum perlu pembahasan yang teliti. Semua pihak perlu merespon dengan cermat.

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

Bagaimana menurut Anda? What do you think?