Memprotes Peta Baru Tiongkok


Kompas, 7 September 2023

I Made Andi Arsana[1]

Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, dengan tegas menyatakan protes terhadap peta baru yang dikeluarkan oleh Tiongkok. Pasalnya, peta yang secara resmi disebut “China Standard Map Edition 2023” itu memasukkan kawasan laut yang secara sah merupakan bagian dari Indonesia menjadi bagian dari Tiongkok.

Tidak hanya Indonesia, India juga melakukan protes keras. Alasannya mirip, peta baru Tiongkok tersebut memasukkan wilayah Arunachal Pradesh dan Aksai Chin ke dalam peta tersebut. Dua Kawasan ini memang menjadi sumber sengketa sejak lama. Kedua negara pernah melakukan kontak senjata di tahun 2020 lalu.

Filipina tidak ketinggalan. Peta baru Tiongkok diprotes karena memasukkan sebagian besar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina ke dalam wilayah Tiongkok. Protes juga disampaikan oleh Taiwan karena peta baru itu dengan tegas memasukkan Taiwan sebagai bagian dari Tiongkok. Malaysia, dan Vietnam pun melakukan hal yang sama. Alasannya tidak berbeda. Peta baru Tiongkok memasukkan Kawasan perairan kedua negara itu menjadi bagian dari Tiongkok.

Peta baru Tiongkok ini sesungguhnya bukan hal baru. Tidak ada yang mengejutkan. Peta ini adalah penegasan ulang akan klaim Tiongkok sejak lama. Klaim Tiongkok di Laut Cina Selatan (LCS) adalah salah satu contohnya. Sejak lama, Tiongkok mengklaim hampir seluruh kawasan tersebut dengan sembilan garis putus-putus yang dikenal dengan nine-dash line. Di peta baru 2023 ini ada penegasan satu segmen garis tambahan sehingga menjadi ten-dash line yang sebenarnya juga sudah pernah ditampilkan sebelumnya. Segmen ke-10 ini yang menegaskan bahwa Taiwan adalah bagian dari Tiongkok. Ini adalah bagian dari sejarah panjang Tiongkok.

Jika tidak ada hal baru dari klaim Tiongkok, mengapa isu ini menjadi perbincangan hangat belakangan ini? Hal ini berawal dari acara peluncuran Peta Standar Tiongkok Edisi 2023 oleh Kementerian Sumberdaya Alam pada saat peringatan Hari Publisitas Survey dan Pemetaan dan Minggu Publisitas Peduli Pemetaan Nasional tanggal 28 Agustus 2023 di Deqing, Zhejiang. Acara ini menarik perhatian nasional Tiongkok dan disiarkan secara internasional sehingga menyita perhatian berbagai negara, terutama yang terdampak oleh peta baru tersebut.

Peta Tiongkok 2023 tersebut menyajikan kembali klaim Tiongkok yang eksesif sehingga memasukkan wilayah berbagai negara menjadi bagiannya. Maka dari itu, negara-negara yang terdampak tersebut seakan ‘dipaksa’ untuk mengajukan protes lagi secara resmi. Sekali lagi, yang diajukan Tiongkok dan yang diprotes negara tetangga bukanlah hal baru. Ini adalah soal mencatat aksi secara resmi. Tiongkok ingin sekali lagi mencatat aksi penegasan klaim dan negara tetangga juga wajib mencatatkan protesnya. Jika mereka tidak memprotes, maka akan jadi catatan buruk, seakan mereka mengamini klaim Tiongkok.

Bagi Tiongkok, tindakan ini bisa jadi merupakan bagian dari strategi untuk memanfaatkan momentum. Dengan mengeluarkan peta baru saat ini, banyak negara di dunia akan membicarakannya. Isunya jadi hangat. Ini momentum tepat karena Tiongkok akan hadir di ASEAN Summit di Jakarta (5-7 September 2023) dan Pertemuan G-20 di India (9-10 September 2023). Nampaknya Tiongkok ingin agar isu ini menjadi salah satu topik yang dibahas di forum internasional tersebut. Selama ini, forum-forum ini cenderung meghindari pembicaraan terkait sengketa wilayah.

Bagaimana sikap Indonesia sebaiknya? Penolakan tegas yang disampaikan Menlu Retno Marsudi melalu media adalah sikap yang tepat. Perlu diingat, posisi Indonesia di LCS selalu konsisten dari dulu berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Bahwa ruang laut yang diklaim Indonesia saat ini adalah sepenuhnya berdasarkan UNCLOS. Indonesia dan Tiongkok sama-sama telah mengakui UNCLOS sehingga tidak ada alasan untuk tidak menaatinya.

Sesuai UNCLOS, Indonesia tidak berurusan dengan Tiongkok di LCS. Hak ruang laut Indonesia hanya tumpang tindih dengan Malaysia dan Vietnam. Hanya dengan keduanya Indonesia perlu menetapkan batas maritim. Hal ini sudah dilakukan, meskipun belum sepenuhnya tuntas. Dengan Vietnam, Indonesia bahkan sudah berhasil mencapai kesepakatan batas ZEE pada bulan Desember 2022 lalu. Melalui proses legal yang panjang, dasar laut Indonesia di LCS sudah sepenuhnya jelas. Sebagian besar ruang air lautnya juga sudah jelas. Semua merupakan hasil kesepakatan dengan negara-negara yang secara legal merupakan tetangga Indonesia yaitu Malaysia dan Vietnam.

Klaim Tiongkok di LCS yang berupa nine-dash line (kini ten-dash line) jelas ‘mencaplok’ ruang laut Indonesia yang sah. Meski demikian, klaim Tiongkok yang tidak berdasarkan UNCLOS tersebut perlu disikapi dengan tenang dan strategis. Indonesia mungkin akan berhati-hati agar sikapnya tidak justru dianggap sebagai pengakuan terhadap klaim Tiongkok yang tidak berdasarkan hukum tersebut. Selain itu, perlu diingat bahwa nine-dash line sudah dinyatakan ilegal oleh Permanent Court of Arbitration tahun 2016. Ini merupakan dukungan hukum bagi sikap Indonesia.

Sebagai Ketua ASEAN, Indonesia harus melakukan langkah terbaik agar ASEAN Summit di Jakarta nanti berjalan kondusif dan tidak terganggu oleh isu sengketa wilayah. Perlu dipastikan, isu peta baru dan kehadiran Tiongkok tidak akan menimbul tekanan berlebihan pada anggota ASEAN yang akhirnya berdampak negatif bagi terjadinya dialog yang terbuka. Semoga.


[1] Dosen Aspek Geospasial Hukum Laut di Departemen Teknik Geodesi. Ketua Program Studi Magister Teknik Geomatika, Fakultas Teknik, UGM. Tulisan ini adalah pendapat pribadi

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

Bagaimana menurut Anda? What do you think?