When a Surveyor Met a Diplomat


Bersama Hassan Wirajuda

Jakarta, 21 Mei 2010
Pagi itu, suasana Porta Venezia di Aryaduta Semanggi tidak telalu subuk. Restoran itu adalah bagian dari Hotel/Apartemen Aryaduta sehingga pagi itu diramaikan oleh mereka yang tinggal di sana. Di salah satu pojok, di sebuah meja dengan temaram lampu yang tidak telalu terang, duduk seorang lelaki berusia matang. Tampilannya sederhana saja, namun elegan berwibawa. Yang tidak memperhatikan tentu tidak sadar bahwa lelaki itu adalah salah satu diplomat terbaik Indonesia. Pada masanyalah dua perundingan batas maritim antara Indonesia dengan negara tetangga, Vietnam dan Singapura, berhasil diselesaikan. Lelaki itu adalah Dr. Nur Hassan Wirajuda, mantan menteri luar negeri Indonesia selama dua periode. Di depannya terlihat duduk takzim seorang anak muda. Tentu saja anak muda ini bukan anaknya, bukan juga diplomat kawakan seperti Pak Hassan. Anak muda ini adalah saya, seorang surveyor.

Sydney, 11 Maret 2010
Saya melihat Pak Hassan Wirajuda sedang berbincang-bincang dengan Gubernur Papua sambil menikmati sarapan pagi di lantai 47 hotel Sanglri-la di Sydney. Delegasi Indonesia, rombongan kunjungan presiden, memang sedang menikmati sarapan di sebuah ruang berlatar belakang gedung Opera House dan Sydney Harbour Bridge yang fenomenal itu. Suasana tenang, alam nampak indah bersahabat dari ruang makan ini. Saya yang bertindak sebagai Liason Officer, LO (makna sebenarnya adalah tukang angkat-angkat koper para menteri itu) juga ada di ruangan itu. Karena sedang memegang sebuah kamera DLSR Baru, Nikkon D90, saya juga didaulat menjadi fotografer resmi para LO. Sebenarnya saya adalah orang yang disuruh-suruh teman-teman mengabadikan pose mereka jika sedang ingin narsis berfoto bersama mentri. Tapi tidak apa-apa, saya rela, meskipun akibatnya saya sendiri jarang difoto.

“Mohon ijin ambil gambar Pak” saya mendekati Pak Hassan yang asik bersenda gurau dengan Gubernur Papua.
“Oh silakan Mas, wah ini to fotografernya” Bapak gubernur berkelakar. Wajar beliau menganggap saya fotografer karena saya mengenakan batik, berkalung tanda panitia dan berkamera canggih. Di luar dugaan, Pak Gubernur senang difoto dan Pak Hassan pun nampak menikmati. Terjadilah interaksi singkat.

“Pak Hassan pasti lupa pada saya. Saya dulu yang juga jadi LO ketika Bapak berkunjung ke Sydney tahun 2004.”
”Oh ya to?! Wah maaf sudah lama, saya lupa. Ini masih sekolah atau kerja di sini Mas?”
”Sedang sekolah lagi Pak”
”Ambil apa?” Sayapun mulai beraksi menceritakan apa yang saya pelajari. Saya tahu betul, saat jadi menteri, Pak Hassan sangat paham soal Batas Maritim. Saya bercerita sedikit tentang Ambalat, dan tentu saja beliau jauh lebih paham duduk perkaranya. Pak Hassan memiringkan kepalanya mencermati nama yang tergantung di dada saya.

”Oh, ya saya baca tulisan Anda di Kompas” katanya mengejutkan saya. Maka demikianlah, segala sesuatu menjadi lebih lancar, termasuk ketika saya memohon kesediaan beliau berdiskusi dengan saya ketika saya ke Jakarta kelak. Satu lagi bukti ”The Power of Writing”

Bali, 14 Mei 2010
Saya baru saja presentasi di sebuah workshop tentang Coral Triangle Initiative di Bali, ada sebuah email dari Pak Hassan, beliau bersedia menemui saya tgl 20 Mei 2010 sore hari. Layaknya email dari seorang yang sibuk, tulisan beliau singkat dan padat. Sayang pada email itu tidak ada kepastian waktu dan tempat. Ini sama saja dengan ’bingung’.

Kementrian Luar Negeri, 20 Mei 2010
Sekitar jam 11 pagi saya sudah ada di Kemlu, bersiap-siap untuk bertemu dengan Pak Hassan. Meskipun tempatnya belum pasti, saya asumsikan beliau masih memiliki ruang di Kemlu, karena sekarang berstatus sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Hasil komunikasi dengan sekretaris Dirjen HPI (Sekretarisnya Pak Havas), saya diminta menghubungi sekretaris mentri. Dalam hati saya membayangkan, kalau saya menghubungi sekretaris Menlu, jangan-jangan Pak Marty yang akan menemui saya nanti. Tentu saja tidak. Sekretaris Menlu segera mengarahkan saya ke ajudan Pak Hassan dalam kapasitas sebagai anggota Wantimpress. Komunikasipun terjadi lewat telepon dan saya baru tahu kalau Pak Hassan ada acara cukup mendadak terkait pelantikan Menko Ekonomi yang baru. Pak SBY memang ganti mentri tiba-tiba, jadi agak mengacaukan agenda saya 🙂

”Bapak bersedia bertemu di Aryaduta Kuningan, Restoran Porta Venezia, jam 9 pagi. Tempatnya di lantai dua ya Mas” demikian petunjuk dari ajudan pribadi Pak Hassan yang akhirnya membuat saya bisa bertemu langsung untuk kedua kalinya dengan Pak Hassan Wirajuda.

Hotel Aryaduta, 21 Mei 2010, jam 9 pagi.
Banyak sekali yang kami bicarakan karena Pak Hassan orang yang hangat dan antusias. Beliau menjawab panjang lebar pertanyaan saya, melebihi dari yang sempat saya harapkan. Dalam konteks kedaulatan, beliau bisa bicara dengan fasih soal Pulau Mianggas yang dimenangkan Belanda atas Amerika tahun 1928 sehingga bisa menjadi bagian NKRI sekarang ini. Dari situ berlanjut ke isu Irian Barat yang sedikit tidak juga berpengaruh terhadap Deklarasi Djuanda, lalu ke Sipadan dan Ligitan yang dipahami dengan kurang tepat oleh banyak sekali orang Indonesia. Dalam konteks diplomasi dan sejarah interaksi bangsa-bangsa, Pak Hassan lugas berbicara tentang konferensi Asia Afrika di Bandung, juga serangkaian perundingan yang menjadi fondasi Indonesia. Selain itu, diceritakan juga posisi dan sejarah Universal Declaration of Human Right oleh PBB serta sikap Indonesia terhadap itu. Beliau dengan fasih menggali dan mengingatkan posisi kedaulatan dan pandangan politik Indonesia dengan mengulas proklamasi dan pembukaan UUD 45. Sebagai seorang lawyer, Pak Hassan memiliki pengetahuan yang luas dan juga dalam. Tidak heran jika beliau menyelesaikan 2 doktor dan 1 PhD dalam waktu 5 tahun di institusi terkemuka di Inggris dan Amerika (e.g. Oxford, Harvard, Virginia).

Ketika saya bertanya bagaima beliau melihat peran orang-orang teknis seperti surveyor dalam penyelesaian batas maritim, beliau serius menjawab. Kita jelas memerlukan expertise orang teknis, tetapi perlu diingat bahwa batas wilayah bukanlah semata-mata soal garis yang teliti. Ada banyak dimensi lain yang diperlukan. Oleh karena itulah, Pak Hassan selalu menyarankan sama teman-teman di Bako, agar juga memahami diminsi hukum dan bila perlu politis dari proses penyelesaian batas maritim ini. ”Tapi saya mengerti, tidak mudah menjadi ahli dua hal di saat yang sama.” kata Pak Hassan menegaskan. Menurutnya seorang surveyor atau ahli teknis akan mampu menghasilkan sesuatu setelah pakar hukum melakukan analisis legal. Hasil analisis legal ini, yang melibatkan penelusuran hukum internasional dan terutama yurisprudensi, yang kemudian diterjemahkan oleh pakar teknis menjadi posisi titik dan garis. Demikian kira-kira penjelasan Pak Hassan jika dibahasakan ulang.

Sambil menikmati sarapan dan segelas jus semangka saya taksim mendengar sambil sekali-sekali berkomentar atau bertanya lanjut. Sekali waktu saya ingatkan soal tahun dan detil teknis jika Pak Hassan kebetulan lupa. Bisa dimaklumi, urusan seorang mentri bukan hanya sekedar batas maritim. Pemahaman dan ingatan beliau yang masih sangat segar membuat saya takjub.

Ketika secara setengah berkelakar saya singgung masalah siatuasi Kemlu yang kini berbeda, beliau tersenyum positif. Memang kenyataannya kini Menlu bukan seorang lawyer. Selain itu, salah satu andalan Kemlu, Pak Arif Havas Oegroseno, akan segera jadi dubes di Belgia. Pak Hassan tidak mau berkomentar terlalu banyak tetapi menyikapi dan menanggapi dengan positif. ”Kan ada penasihat, saya tetap ada di dalam tim meskipun tidak aktif. Pak Hasjim juga ada di sana. Selain itu, Pak Marty pasti sudah mengetahui situasi ini dan tentu akan menerapkan strategi terbaik untuk ke depan.”

Pak Hassan tanpa ragu-ragu memang mengakui kemampuan Pak Havas dalam bernegosiasi. ”Dia memang termasuk orang yang tough dan disegani. Memiliki tim yang tangguh memang suatu keharusan. Namun begitu, jika tim lawan kita tidak baik, kadang juga menyulitkan dalam negosiasi. Tidak selalu jika tim lawan itu tidak baik maka kita diuntungkan. Kadang ada yang hanya sekedar ngotot tapi tidak cerdas dalam berargumen. Kita juga jadi kewalahan menghadapi yang demikian.”

Waktu berjalan cepat, saya menikmati sekali pembicaraan itu. Sudah dua jam kami berbicara dan banyak sekali hal yang sudah dibahas. Sayapun berinisiatif untuk menyudahi dengan antisipasi Pak Hassan akan melakukan banyak tugas lain hari itu. Saya berterima kasih dengan tulus dan takzim.

”OK, good luck ya Mas. Kalau sudah selesai, kontak saya ya.”

Banyak orang yang telah bertemu orang besar dan mungkin mereka tidak menceritakannya. Namun bagi saya yang adalah anak seorang penambang padas, pertemuan dengan seorang Nur Hassan Wirajuda layak sekali dicatat. Meski bukan untuk siapa-siapa, setidaknya untuk diri sendiri, ini akan menjadi sejarah.

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

4 thoughts on “When a Surveyor Met a Diplomat”

  1. Sangat mengagumkan, Bli. Pembicaraan dengan orang hebat memang patut direkam. Apalagi kemudian dibagikan ke umum. Terimakasih sudah berbagi, Bli. Salam. 🙂

  2. terimakasih untuk berbagi. tidak semua orang bisa berbagi dengan tulus dan hal itu amat bermakna bagi kita. salam kenal

  3. Mas Made,

    saya berharap dengan keahlian anda di bidang anda, kita bisa memberikan justifikasi bahwa pulau pasir adalah wilayah indonesia.

    Saya terus terang agak menyayangkan jika beasiswa anda digunakan oleh Oz untuk menjustifikasi klaim mereka atas pulau pasir.

    materi thesis dan materi disertasi dapat digunakan sebagai rujukan oleh ICJ. Apa jadinya jika … secara historis pulau pasir adalah berada pada kepemilikan indonesia, namun karena banyaknya jurnal ilmiah, statement orang indonesia sendiri, buku2 dan tulisan2 … semua mengacu pada Oz

    kalau kita sudah kalah di sipadan ligitan, karena pendudukan effektif.

    Haruskah kita kalah dari Oz yang sedihnya dengan menggunakan alasan yang sama ” effective occupation ”

    dalam analogi ini … effective occupation di bidang “materi tertulis” …

    mudah2an ilmu anda berguna untuk menjustifikasi pulau pasir sebagai pulau yang dimiliki indonesia

    1. Terima kasih Bapak Indonesia.

      Mungkin sekalian kita coba klaim Australia karena orang2 Makasar sudah ke sana sebelum James Cook datang ke sana. Gimana Pak, tertarik?

Bagaimana menurut Anda? What do you think?