Tidak harus ucapkan “Selamat Hari Ibu”

Kepada anak-anak yang menemukan kesulitan menyatakan cintamu kepada Ibu dengan kata-kata, jangan berkecil hati. Jangan terintimidasi oleh media sosial yang tiba-tiba gegap gempita dengan ucapan cinta. Masing-masing orang punya cara sendiri. Kamu mungkin bukan salah satu yang lahir dengan kemahiran merangkai kata-kata. Terima saja. Cintamu tak turun kadarnya hanya karena tak dirangkai dalam diksi puisi.

Mungkin kamu hanya bisa menitipkan cinta pada perilaku, pada senyum dan pada kepedulian yang hadir dalam senyap. Mungkin kamu hanya bisa menyatakan cinta dalam doa yang dipanjatkan ketika semua makhluk telah terlelap. Mungkin kamu hanya bisa menangis dari jauh ketika ibumu terluka tanpa bisa menyatakan empati. Terima saja. Cintamu telah disampaikan oleh malam atau angin yang tak penah lalai menjenguk ibumu.

Kepada anak-anak yang lahir di keluarga yang tidak punya tradisi bercerita dan bersenda gurau, aku tahu, Hari Ibu ini mungkin terlewat begitu saja, atau mugkin juga membuatmu tersiksa. Memang tidak mudah untuk tiba-tiba menjadi orang yang ekspresif dalam menyatakan cinta jika fondasinya tidak dibangun sejak belia. Jika itu menyiksamu karena dunia hari ini sepertinya menghakimi kamu yang tidak menyatakan cinta, tersenyum saja. Lewat doa dan kepedulian yang sungguh-sungguh dalam senyap, cintamu telah diterima dengan sempurna, apa adanya.

Bagi para ibu yang tidak mendapat ucapan Selamat Hari Ibu hari ini, Anda tahu, anak-anak mencintai dalam kesepian kata-kata. Cinta tak berkurang karena tiadanya kalimat yang berbunga-bunga. Bagi para ibu yang ucapan Hari Ibunya hanya terdengar lewat doa-doa malamnya karena sang buah hati mendahului menghadap Tuhan, terima kasih telah tegar dan bersabar. Untuk Ibu, cinta mengalir setiap saat lewat jalinan bathin yang tak pernah putus.

Bagi mereka yang tidak mengucapkan “Selamat Hari Ibu” karena tidak sempat, lupa, tidak terbiasa atau karena terhalang pagar kehidupan, hari ini tak akan jadi kelabu. Alam tahu jika kamu mencintai Ibumu dengan sungguh-sungguh. Ibumu pasti merasa jika kamu mencintainya tanpa syarat. Dalam senyap dan gelap, cinta pada ibu akan menyalakan lentera untuk dirinya sendiri.

Selamat Hari Ibu.

Advertisement

GAWAT DARURAT DI MUSIM ONLINE

Ketika sedang jadi moderator sebuah webinar, saya diminta utuk membuatkan presentasi untuk acara di Filipina. Perintah seperti ini kerap muncul di era online karena kita tidak saling melihat dan tidak tahu apa yang sedang dikerjakan orang lain. Maka perintah yang bertumpuk kadang datang dengan mudah. Hal ini jadi lebih rumit, terutama, karena tugas yang diperintahkan itu kadang bukanlah tugas kita. Sayangnya, karena situasi, kadang kita tidak bisa menolak. Itu yang terjadi pada saya.

Saya lihat permintaan datang pukul 10.30 dan presentasinya katanya pukul 11.00. saya sedang jadi moderator. Sebenarnya ini tidak masuk akal, mengingat presentasi yang dimaksud adalah untuk country report. Sesuatu yang penting dan ada di level internasional. Permintaan ini dari sebuah kementerian dan konon akan dipaparkan oleh seseorang yang sudah ditugaskan.

Saya dengan mudah bisa bilang “tidak bisa” tapi saya pikir lagi. Tiba-tiba saja seperti ada Bendera Merah Putih berkelebat-kelabat di belakang saya dengan latar lagu-lagu perjuangan semacam Indonesia Raya berkumandang. Ada lambang Garuda Pancasila yang tiba-tiba berbayang. Ini lebay, tapi begitulah rasanya. Saya merasa ini urusan negara yang kalau saya katakan “tidak” bisa berakibat pada citra bangsa. Okay, ini lebay!

Saya mengiyakan dan pukul 10.54 sudah saya selesaikan PPT itu dan kirimkan. Tentu tidak sempurna. Setidaknya ada dan bisa dijadikan bahan paparan. Saya pikir begitu. Yang menarik, pukul 11 lewat sedikit ada pesan WA lagi dari orang yang sama. Dia meminta saya untuk memaparkan presentasi itu karena orang yang ditugaskan sebelumnya mendadak tidak bisa. Semua serba mendadak.

Apa yang bisa saya lakukan? Ada banyak yang bisa dilakukan tapi saya memilih bersedia. Masalahnya, saya masih jadi moderator dan harus tuntaskan tugas. Saya segera online di dua perangkat dan memantau kedua acara. Ketika sudah agak senggang di webinar, saya menyimak rapat di Filipina. Ternyata delegasi Filipina sedang presentasi dan Indonesia mendapat giliran terakhir setelah Thailand dan Vietnam. Saya pikir, ini berita baik karena artinya saya bisa melanjutkan tugas sebagai moderator di webinar sebelah.

Saya pun kembali fokus ke webinar dan mengantarkan diskusi hingga akhir. Saya memastikan jalannya diskusi terarah dan tidak molor. Ini penting karena saya tidak ingin terlambat masuk rapat di Filipina dan tidak ingin terlambat mewakili Indonesia. Maka sekitar pukul 11.50 saya tutup diskusi webinar dan dilanjutkan dengan foto bersama. Ini yang bikin gelisah karena acara foto bersama di Zoom biasanya agak runyam. Benar saja, sedikit lebih lama dari yang saya antisipasi.

Begitu kelar foto bersama, saya langsung mau melesat ke ruang sebelah. Tapi tunggu dulu, saya perlu mengganti virtual background saya agar sesuai dengan acaranya. Selain itu, harus menggambarkan bahwa saya mewakili Indonesia, bukan institusi saya. Saya buat sebuah gambar dengan cepat mengunakan PPT. Saya pun masuk ke ruang pertemuan dan mendapati suasana sepi. Saya berharap Vietnam masih presentasi dan ternyata sudah selesai. Saya ragu harus ngapain. Rupanya semua orang nunggu saya dan tadi sudah sempat dipanggil.

Mr. Andi, are you ready?” tiba-tiba saya mendengar nama saya dipanggil dan segeralah saya presentasi. Dengan degdegan dan persiapan mengenaskan, saya selesaikan presentasi sesuai waktu yang ditetapkan. Saya tidak tahu hasilnya bagus atau tidak, yang penting saya telah tunaikan kewajiban.

Pelan-pelan lambaian Bendera Merah Putih melambat di belakang kepala saya. Dari yang semula berkibar hebat, kini melambat menjadi tenang bergerak ritmis bersama angin yang sepoi-sepoi tenang. Pukul 12.10, satu pesan masuk dari peseta Indonesia “Pesentasi yang luar biasa! Terima kasih.” Sungguh hari yang berkesan dan menyehatkan jantung.

One Fine Day: Sebuah Tragedi Komedi Seorang Dosen di Masa Pandemi

Jogja, 3 Desember 2020

Hari ini saya mendapat tugas menjadi moderator untuk sebuah acara Internasional. Ada empat pembicara yang keren, dari Nottingham University, National University of Singapore, Universitas Gadjah Mada, dan rolls Royce. Yang terakhir adalah dari perusahaan untuk melengkapi perspektif. Acara ini bertajuk “Hacking the Global Pandemic” yang intinya adalah bagaimana memanfaatkan momentum Covid-19 untuk berinovasi.

Acara ini sudah disiapkan jauh-jauh hari dan saya sendiri turut menyiapkan dari awal. Maka, dari segi tema dan pengelolaan acara, saya cukup menguasai. Seperti biasa, tugas saya yang lain adalah menyiapkan pidato untuk rektor dan membuat draft presentasi untuk pembicara dari UGM. Semua itu sudah disiapkan sebeluknya sehingga di hari-H seharusnya tidak ada masalah.

Menurut rencana, acara berlangsung hanya dua jam yaitu dari jam 3 hingga 5 sore. Memahami jadwal tersebut, saya menyanggupi sebuah acara lain yang mewajibkan saya harus terbang dari Jogja pukul 18.20. Saya harus ada di Medan esok hari dan akan transit di Jakarta malam ini. Besok pagi, saya akan terbang dari Jakarta ke Kualanamu, Medan. Saya bayangkan, segera setelah saya selesai jadi moderator online, saya bisa cabut ke bandara. Semua akan aman, saya yakin.

Masalah lain muncul, tepat di pagi hari di hari-H. Saya baru sadar bahwa keberangkatan pesawat dari Jogja kini dari bandara baru di Kulon Progo (YIA), bukan dari Adi Sucipto. Itupun saya sadari setelah diingatkan oleh Asti, isteri saya. Maka pagi itu saya langsung syok dan panik. Panik karena keteledoran sendiri. Ini sudah biasa.

Tugas lain muncul di tengah kepanikan. Akan ada kunjungan yang agak mendadak dari Jakarta untuk menginspeksi Kantor Imigrasi di UGM. UGM memang baru saja punya Kantor Imigrasi sendiri, hasil kerja sama dengan Kemenkumham. Saya harus ada di kantor untuk menyambut tamu itu. Maka jam 10 lebih sekian, saya sudah di jalan menuju kantor sambil mengelola kepanikan dalam hati dan pikiran.

Saya telepon salah seorang staf di kantor. Sebenarnya ini tidak boleh ditiru. Saya menelpon sambil nyetir karena tidak punya pilihan lain. Hal pertama yang saya pikir adalah membeli tiket baru dari Jogja ke Jakarta. Jika ada tiket dari Adi Sucipto ke Halim, tentu bisa jadi solusi. Biarlah tiket saya yang sudah terbeli akan hangus. Ini konsekuensi dari keteledoran saya.

Memang ada tiket Citilink dari Adi Sucipto ke Halim tapi ternyata berangkatnya jam tiga sore. Tidak mungkin saya pilih itu karena jam segitu saya harus jadi moderator. Saya coret opsi itu dan berpikir lebih keras. Siapa yang bisa membantu? Bagaimana caranya?

Saya ingat ucapan Asti tadi. Dia menyarankan saya untuk bergerak ke bandara seawal mungkin dan mencoba cari tempat untuk online ketika tugas jadi moderator. Saya pikir, benar juga idenya. Maka tanpa pikir panjang, saya telepon seorang teman yang juga punya jasa transportasi, Pandu. Intinya saya minta Pandu mengantar saya ke Bandara YIA di Kulun Progo tapi di tengah jalan agar dicarikan tempat mampir untuk bisa online. Pandu menyanggupi.

Banyak hal berkecamuk di kepala saya. Di situ juga ide langsung bermunculan. Saya telepon Asti tapi koneksi tidak bagus. Akhirnya saya gunakan voice message di Whatsapp. Intinya saya sampaikan bahwa saya akan berangkat ke bandara jam 12 nanti dan tidak akan pulang sebelum itu. Pandu akan menjemput saya di kampus dan langsung ke bandara. Maka saya minta Asti menyiapkan pakaian untuk saya di Medan dan peralatan pribadi lainnya. Asti sudah terbiasa dengan semua itu.

Yang juga saya minta adalah agar Asti menyiapkan peralatan studio berupa green screen dan stand-nya serta lighting. Saya membayangkan, kalau nanti mau online di hotel atau restoran, saya mau pakai alat yang proper. Saya akan tampil di depan akademisi tingkat dunia, tentu harus prima, lengkap dengan virtual background yang sudah disiapkan panitia. Pokoknya, intinya, all out! Meskipun lagi sulit dan panik, saya berusaha bersiap maksimal. Asti pun menyanggupi tanpa banyak tanya. Dia sudah hafal kelakuan saya.

Setibanya di kampus, saya dapat kabar bahwa pihak Imigrasi tidak jadi datang. Di satu sisi ini membuat gemas karena rencana kedatangan tadi membuat kepanikan saya meningkat tapi di sisi lain, saya lega karena artinya tidak perlu ribet. Sudahlah. Apa pun yang terjadi adalah kebaikan. Saya tersenyum saja, mensyukuri setiap tahap dan kejutan yang terjadi.

Saya memesan makanan lewat GoFood karena saya rasa masih cukup waktu sebelum Pandu datang menjemput saya. Tahu gimbal datang dan sayapun menyantapnya dengan lahap. Saya berusaha tenang meskipun belum pasti apa yang akan terjadi selanjutnya. Beberapa menit setelah makan, Pandu mengontak dan ternyata sudah tiba di kampus. Kami siap berangkat.

Kami meninggalkan kampus dengan satu mobil setelah memastikan semua barang lengkap. Saya cek tas pakaian yang disiapkan Asti, peralatan studio dan perlengkapan pribadi lainnya. Pandu tadi menjemput semua itu di rumah sebelum menjemput saya di kampus. Kerja sama yang baik dan nyaris sempurna. Semua beres, kami pun melaju ke Kulon Progo.

Di tengah jalan, saya masih sibuk melatih bahan untuk jadi moderator beberapa jam lagi. Sementara, saya meminta Pandu untuk mencari tempat di sekitar bandara untuk saya bisa online. Saya juga menanyakan ke beberapa orang termasuk grup angkatan dan senior di kampus yang berasal dari Kulon Progo. Semua semangat membantu tetapi tidak satu pun yang definitif.

Akhirnya Pandu menemukan Dapur Semar, sebuah restoran yang berada kurang lebih 20-30 menit dari bandara. Saya dengar dia sibuk menelepon Dapur Semar dan bernegosiasi. Sepertinya mereka menduga kami akan membawa rombongan besar ketika bertanya “berapa orang?”. Ternyata kami hanya bertiga: saya, Pandu dan Endar, seorang driver yang sudah seperti teman sendiri. Ternyata mereka punya ruangan untuk 15 orang dan membolehkan kami menggunakannya dengan sewa tambahan. Berapa ongkos sewanya? 50 ribu rupiah saja. Jogja banget!

Dalam perjalanan dengan titik terang itu, Direktur saya meminta agar kami lakukan gladi final sebelum acara. Beliau meminta lebih awal dan kemungkinannya adalah pukul 13.30 karena jam 14.00 zoom sudah dibuka untuk umum. Maka saya pun meminta Endar untuk melaju lebih kencang. Sementara saya masih komat-kamit di belakang, meyiapkan diri sebelum tampil jadi moderator. Saya pun pasrah saja pada Pandu dan Endar. Di titik itu, kepasrahan dan kecuekan itu membantu.

Akhirnya kami tiba di Dapur Semar dan langsung ditunjukkan ruangan yang cukup besar dan nyaman. Kami segera setting green screen dan lighting. Dalam waktu singkat semua siap dan saya pun sudah bisa online melakukan gladi bersih sebersih-bersihnya. Saya pastikan itu dan dalam pengawasan direktur. Semua nampak okay, termasuk panitia dari IPB. Saya merasa lega, demikian pula Pandu dan Endar. Mulai bisa lepas tawanya.

Peserta mulai berdatangan, tamu VIP mulai masuk. Saya kemudian menjamu beliau-beliau, termasuk tamu dari Nottingam dan Singapura. Kami bercakap-cakap untuk menghangatkan suasana dan membangun chemistry agar proses diskusi nanti bisa lancar. Semua berjalan lancar meskipun koneksi saya mulai menampakkan tingkah polah yang tidak bersahabat. Wifi di Dapur Semar tidak sestabil yang saya harapkan. Apa daya, harus diterima sebagai kenyataan. Saya berspekulasi mengganti WIFI dengan tethering dari HP. Ternyata lebih lancar.

Acara dimulai dengan Mas Adit sebagai MC setelah semua pembicara hadir. Manajeman waktu lumayan bagus. Hingga akhirnya acara inti harus dimulai. Saya pun beraksi. Ada empat pembicara dan saya harus disiplin soal waktu. Pertama karena saya ingin acara nya sesuai rencana dan kedua, ini yang paling penting, saya tidak ingin ketinggalan pesawat. Akhirnya dengan usaha keras dan dukungan semua pihak, sesi utama terlewati dengan baik, saya pun menutup dengan gembira dan adrenalin di permukaan.

Begitu saya tutup sesinya, saya matikan kamera dan mic sehingga Pandu dan Endar bisa segera berkemas mencopoti peralawan studio, terutama green screen dan lighting. Sayapun berkemas dan berlari ke kasir untuk membayar. Semuanya, termasuk makanan untuk semua orang, menghabiskan dua ratus ribu lebih sedikit. Harga yang bersahabat untuk kehebohan yang kami timbulkan. Selepas membayar kamipun melaju ke bandara.

Saya izinkan Endar untuk ngebut sehingga kurang dari 20 menit kami sudah tiba di bandara YIA. Saya pun segera melaju masuk. Meskipun mau cepat dan cekatan, saya belum hafal dengan bandara baru ini. Meskipun harus banyak tanya, akhirnya saya ada di dalam bandara yang terasa begitu sepi dan luas.

Satu lagi masalah, saya tidak membaca cetakan hasil tes swab saya karena saya pikir hanya menunjukkan hasil digital lewat HP. Ternyata hasil ini perlu dicap dan artinya saya harus menunjukkan cetakannya. Di situ saya kesal dan marah. Saya pikir ini tidak efisien dan menghina teknologi digital. Namun saya putuskan untuk tidak marah tetap mengikuti semua prosedurnya. Saya diminta untuk mencetak itu di hotel terdekat yaitu Cordia yang ada di bawah bandara. Saya pun bergegas ke sana dan segera mendapatkan apa yang diperlukan. Meski begitu, waktu yang dibutuhkan cukup lama karena saya berjalan kaki dan naik turun escalator.

Dalam waktu yang mepet itu, saya sudah tiba kembali di counter check in setelah mengecapkan hasil tes swab. Semua berjalan lancar dan saya siap berangkat. Tidak menunggu lagi, saya segera menuju pesawat karena waktu boarding sudah tiba. Saya bergegas masuk pesawat.

Sesaat sebelum masuk pesawat, saya baru ingat lagi bahwa pukul 19.45 nanti saya harus menguji skripsi mahsiswa S1 di Teknik Geodesi UGM. Saya sudah membaca sebagian skripsinya tetapi belum lengkap memberi komentar. File-nya saya kerjakan di Cloud Google Drive. Maka saya harus unduh dulu agar bisa saya lanjutkan koreksinya di pesawat nanti. Maka di depan Lorong garbarata pesawat, saya mengunduh file skripsi dengan koneksi tethering ke HP. Saya pun bersimpuh di pojokan demi file itu dan kelarlah sudah.

Selepas itu saya lari masuk pesawat dan segera menemukan tempat duduk yang tepat. Pesawat cukup rame untuk ukuran pandemic, tapi jaga jarak berjalan baik. Saya sempatkan ngobrol sebentar dengan penumpang di samping saya untuk menghangatkan suasana. Selepas itu saya sudah tenggelam dalam koreksi skripsi meskipun saya ngantuk luar biasa. Akhirnya selesai juga poin-poin pentingnya.

Pesawat tiba di bandara Soekarno Hatta lebih cepat dari jadwal seakan alam semesta bersekutu melancarkan rencana saya. Maka saya segera melesat keluar dari pesawat dan menju Digital Capsule Hotel. Bagi yang belum tahu, di Bandara Soetta ada tempat menginap berupa capsule yang bisa diisi satu orang saja. Harga per malamnya pun 300K lebih. Lumayan lah untuk istirahat. Saya segera memesan dan cepat-cepat masuk ke ‘gua’ modern itu.

Saya terlambat sedikit, presentasi skripsi sudah mulai ketika saya masuk ke zoom meeting. Meski demikian, itu tidak mengganggu karena saya telah membaca dan memahami skripsi mahasiswa dengan baik. Saya pun telah menyiapkan komentar dan masukan secara teliti. Semua akan baik-baik saja, saya yakin.

Selepas presentasi mahasiswa saya diminta memberi komentar duluan dan sayapun laksanakan dengan baik. Tentu saja saya puji karya dan pemaparan skripsi yang memang bagus itu. Saya pun kasih beberapa masukan tanpa banyak menghadirkan kesulitan yang tidak perlu. Orang yang sudah berusaha dengan baik dan hasilnya bagus, layak didukung dan diapresiasi.

Sekitar jam 9 lebih, ujian selesai dan saya bernafas lega. Namun itu sejenak saja. Ketika saya merebahkan diri dan melihat langit-langit capsule yang futuristik, tiba-tiba ada yang berbisik “jangan santai dulu, banyak paparan untuk besok pagi di Medan belum siap. Kerja! Kerja! Kerja!” What a day!

Medan, 4 Desember 2020

Kadaster Tiga Dimensi dari Berbagai Dimensi

Tanggal 26 November saya menjadi moderator acara INA-Cadastre Digital Expo 2020. Sesi pertama berupa webinar dengan sekumpulan pembicara keren. Di sesi yang saya mederatori, ada Pak Menteri ATR/BPN, Dr. Sofyan Djalil, Prof. Hasanuddin Z. Abidin, Prof. Alias A. Rahman dari UTM Malaysia dan Pak Loedi Ratrianto, seorang praktisi kadaster di Indonesia. Sebuah panel dengan paket komplit. Ada akademisi, ada pembuat kebijakan, ada juga swastanya. Saya merasa beruntung mendapat kesempatan itu.

Adalah PT. Amerta Geospasial Indonesia (AMGEOID) yang menggagas acara itu. Mereka punya tujuan mulia untuk membuat isu kadaster di Indonesia menjadi membumi dan akrab dalam imajinasi masyarakat. Bekerja sama dengan Supermap, Geotronix dan beberapa perusahaan lainnya, acara ini berlangsung dengan kumpulan pembicara yang sangat keren. Di sesi siang, ada nama-nama handal seperti Dr. Trias Aditya KM dari Geodesi UGM, Dr. Asep Yusup Saptari dari Geodesi ITB, Bli Tomy Suhari dari Geodesi ITN Malang, dan Tri Indah Utami dari Supermap.

Yang menarik, Pak Menteri hadir di webinar tepat waktu tetapi beliau masih di jalan. Pak Sofyan membuka acara dari mobil beliau saat dalam perjalanan ke kantor. Beliau megatakan, inilah hebatnya teknologi yang memungkinkan kita melakukan banyak hal dari mana saja. Pak Menteri masih mengenakan masker ketika membuka acara karena beliau ada di dalam mobil bersama sopir. Begitu tiba di kantor, beliau langsung duduk di meja yang sudah disiapkan layaknya studio dan melanjutkan sambutannya.

Selepas sambutan, saya mendapat tugas untuk memandu diskusi dan Pak Menteri adalah pembicara pertama. Karena ini acara internasional, saya memandu dalam Bahasa Inggris dan beliaupun menyajikan materi dalam Bahasa Inggris. Pak Menteri lulusan Amerika untuk S2 dan S3nya, Bahasa Inggris beliau tidak diragukan. Meskipun beliau dengan tegas mengatakan bukan ahli teknis kadaster, pemaparan beliau mampu memberi payung pemahaan sehingga peserta akan melihat sisi Kadaster 3D dari segi kebijakan.

Selepas Pak Menteri, ada Pak Loedi yang berbicara sebagai praktisi. Beliau adalah Ketua Masyarakat Ahli Survey Kadaster Indonesia (MASKI) yang telah malang melintang di dunia survey beberapa puluh tahun. Pak Loedi menyajikan berbagai hal teknis terkait kadaster. Beliau juga menyinggung soal Pendidikan yang harus senantiasa berbenah untuk menghasilkan surveyor kadaster yang handal.

Satu yang menarik, beliau menekankan pentingnya untuk menyeimbangkan dan melengkapi skil surveyor, tidak saja dengan aspek teknis, tapi juga dengan aspek legal, administratif dan bahkan politis. Kadaster adalah kombinasi banyak dimensi dan seorang surveyor harus memahami semua itu.

Prof Hasanuddin Z. Abidin berbicara pada kesempatan ketiga. Orang Geodesi di Indonesia umumnya mengenal beliau sebagai pakar GPS dan tentu saja sebagai mantan Kepala Badan Informasi Geospasial. Pak Hasan adalah pribadi yang lengkap. Mumpuni sebagai akademisi, mapan di birokrasi, dan disegani di dunia profesi. Orang yang mengenal beliau dengan baik juga akan merasakan beliau adalah soerang yang rendah hati.

Pertemuan pertama saya di tahun 2003 dengan beliau adalah sebuah bukti betapa beliau adalah senior yang peduli dan positif. Saya, yang waktu itu baru lulus S1 dan berniat sekolah, diberi dorongan positif. Pak Hasan mungkin tidak ingat kejadian itu tapi bagi saya, itu tidak terlupakan. Cara beliau menceritakan Chris Rizos, misalnya, membuat saya yakin bahwa beliau adalah orang yang terbuka pemikirannya dan positif dalam melihat berbagai hal. Berkesempatan menjadi moderator beliau kemarin adalah sebuah kehormatan.

Pak Hasan memaparkan dengan rinci soal kadaster. Tidak saja darat tapi juga laut. Mengikuti pemaparan beliau seperti kulaih satu semester lebih karena sistematika dan kerincian bahannya begitu baik. Pak Hasan adalah seorang guru sejati. Yang juga menarik adalah beliau tidak lupa untuk menyapa atau setidaknya menyebut nama orang-orang tertentu ketika menceritakan satu materi. Ketika bicara soal batas laut sebagai bagian dari kadaster laut, misalnya, beliau menyebut nama saya.

Yang juga menarik, beliau mengaitkan paparannya dengan Sustainable Development Goals (SDGs), sesuatu yang tidak begitu sering disentuh oleh seorang surveyor dalam pembicaraannya. SDGs adalah satu dimensi lain yang juga penting untuk dipahami agar seorang surveyor mendapat konteks yang jelas, bagaimana peran survey pemetaan untuk perihal yang lebih besar. Kata seorang teman yang menyimak pemaparan beliau “ndengerin Prof Hasan, kok kayak nggak percaya, emang kita sekolah di bidang yang hebat ternyata”.

Pembicara keempat di sesi saya adalah Prof. Alias Abdul Rahman dari UTM, Malaysia. Beliau adalah pakar yang konsisten menekuni Geoinformasi 3D. Saya membuka perkenalan beliau dengan menceritakan pengalaman saya bertemu beliau untuk pertama kali di Kuala Lumpur tahun 2006 silam. Itu adalah konferensi 3D Geoinfo yang pertama dan saya menjadi bagian darinya. Paper saya bahkan menjadi salah satu bagian dari buku Lecture Notes on Cartography yang merupakan hasil dari konferensi itu. Kenangan demikian bisa mendekatkan pembicara dan moderatornya.

Prof. Alias memaparkan begitu detil dan teknis tentang soal 3D geoinfo. Sebagai seorang pakar yang memang menekuni bidang itu, beliau fasih menyajikan hal-hal yang sangat teknis sifatnya. Beliau bicara soal prinsipnya, soal algoritma, soal pemanfaatan perangkat, hingga aplikasi. Beberapa contoh yang telah dikerjakan di Malaysia juga beliau paparkan. Ini melengkapi pemahaman peserta karena teorinya diikatkan dengan praktik, gagasan disandingkan dengan kenyataan penerapan.

Menjadi bagian dari Ina-Cadastre 3D Digital Expo 2020 adalah sebuah kebanggan. Saya kagum dengan kerja anak-anak muda di AMGEOID yang berhasil mendatangkan pembicara level dunia dan memiliki otoritas di bidang masing-masing. Hadirnya Pak Menteri adalah penegas keterlibatan dan dukungan pemerintah. Kehadiran Prof Hasan dan Prof Alias menjadi legitimiasi ilmiah acara itu. Tentu saja kehadiran Pak Loedi menjadi pelengkap yang sangat baik bahwa acara ini tidak hanya soal gagasan-gagasan tinggi di awan tapi juga tentang kenyataan yang terjadi di lapangan.

Implementasi Kadaster 3D mungkin memang masih jauh dari tuntas tetapi acara semacam ini menjadi penanda bahwa kita bergerak maju. Meski mungkin lambat, tapi jalurnya jelas dan arahnya tidak mudur. Kerja keras dari anak-anak muda di AMGEOID patut diapresiasi karena itu yang membuat kita jadi sadar, peduli dan semangat untuk tetap bergerak maju, menuntaskan urusan kadaster tiga dimensi dari berbagai dimensi.

Supaya Kelas Online Tidak Seperti Kuburan

Ini sering terjadi. Kelas online sangat sepi layaknya kuburan. Pertama karena mahasiswa umumnya tidak menyalakan kamera, apapun alasannya, dan kedua karena interaksi sangat sulit dilakukan. Bahkan ketika dosen bertanya “apa kabar?” pun kadang tidak dijawab. Setidaknya sebagian besar tidak merasa wajib menjawab. Masing-masing merasa sebagai partisipan yang ‘tidak penting’ karena tidak kelihatan. Masing-masing merasa tersembunyi dan kehadiran atau ketidakhadirannya tidak menghadirkan perbedaan apapun.

Ketika dosen meminta pendapat di tengah perkuliahan, mahasiswa sering kali sepi dan damai. Tak ada suara. Hal yang sama juga terjadi ketika dosen bertanya sesuatu atau ketika dosen meminta mahasiswa untuk bertanya. Sama saja. Sepi seperti kuburan.

Apa yang bisa dilakukan? Situasi ini kadang membuat para dosen patah arang. Menyiapkan kuliah online itu melelahkan. Kita tahu. Hati tambah kecewa ketika ternyata mendapati kelas layaknya kuburan. Apakah harus menyerah? Tentu tidak!

Tadi coba saya terapkan hal baru ketika mengajar di Sekolah Vokasi UGM. Saya mengajar metode penelitian dan membahas struktur proposal. Sudah ada template sehingga saya hanya menayangkan berkas doc yang sudah siap. Memang mudah karena tidak perlu menyusun bahan baru tapi di sisi lain, ini rawan membosankan karena tampilan layar yang monoton.

Salah satu cara adalah dengan membangun interaksi. Tapi sulit. Wong ditanya kabar saja kadang mahasiswa diem kok, apalagi diajak diskusi. Akhirnya saya ‘akali’ dengan interaksi anonim. Saya buatkan sebuah Google Form untuk interaksi. Sebelum itu, saya tandai dulu di file template itu, bagian-bagian yang menarik untuk didiskusikan.

Kami mulai dengan membuat simulasi sebuah judul skripsi. Ketika sampai pada bagian awal pembahasan latar belakang, saya bertanya, apa yang perlu disajikan di latar belakang sesuai dengan judul yang sudah disepakati. Saya meminta mereka menulis jawabannya di Google Form. Ternyata lumayan. Ada belasan jawaban yang kemudian kami bahas. Ini berlangsung di beberapa bagian, misalnya ketika membahas penelitian terdahulu, tujuan penelitian, manfaat, alat dan bahan dan seterusnya. Menggunakan link Google Form yang sama. Tiap topik diskusi, ada lebih dari 10 jawaban dan kemudian saya sudah cukup sibuk membahas pendapat mereka.

Agar seru, saya tampilkan jawaban mereka di layar ketika membahas. Setiap orang tahu pendapat mereka sendiri tapi tidak ada orang lain yang tahu pendapat temannya. Ini menimbulkan sensasi tersendiri. Mereka tidak ragu berpendapat. Meskipun tanpa suara dari mahasiswa, saya merasakan kelas saya ‘ramai’ dengan diskusi. Total ada 87 pendapat mahasiswa selama sejam kelas berlangsung. Jadi, meskipun sepi tanpa suara mahasiswa, kelas saya tetap tidak terasa seperti kuburan.

Oy ya, seperti biasa, sebelum kelas mulai, saya putarkan lagu. Kali ini Bimbang dari Melly Guslow. Setelah kelas berlangsung, saya tutup dengan Tukar Jiwa dari Tulus. Oh ya, saya tidak mengatakan kelas saya ini berhasil. Saya hanya merasa lebih senang dan lebih bersemangat. Semoga mahasiswa juga demikian.

Kamala Harris, Hindu dan Bhagavad Gita


Beredar sebuah tulisan di berbagai media sosial tentang Kamala Harris yang beragama Hindu dan dilantik menggunakan Kitab Bhagavad Gita (BG). Tidak sulit memastikan bahwa berita itu tidak benar. Kamala bukan seorang Hindu dan dia tidak pernah dilantik menggunakan BG. Jika mau meluangkan sedikit waktu, tidak sulit menemukan identitas seorang Kamala Harris yang baru saja terpilih menjadi Wakil Presiden Amerika Serikat. Selain itu, presiden dan wapres Amerika Serikat belum dilantik hingga Januari 2021 nanti.

Benar, Kamala memang dekat dengan Hindu karena ibunya, mendiang Shyamala Gopalan Harris, adalah seorang Hindu. Meski demikian, ayah Kamala, yang berasal dari Jamaica, adalah seorang Baptist (Nasrani) . Kamala sendiri sejak kecil menganut Baptist dan telah menjalankan kehidupan gereja sejak usia dini. Hingga kini, Kamala bahkan masih aktif memberikan ceramah di Gereja. Kamala, seperti pengakuannya, begitu menjunjung tinggi pluralitas. Ini merupakan konsekuensi dari interaksinya dengan Ibunya yang Hindu, dia dan adiknya yang Baptist dan suaminya yang Yahudi. Pada keragaman keyakinan itu pula dia menemukan kekuatan dan makna keyakinan agama bagi perjuangan politik.

Kamala Harris berbicara di Gereja

Mengapa beredar kabar bahwa Kamala adalah seorang Hindu dan dilantik dengan BG? Adalah peredaran sebuah foto yang menujukkan seorang politisi perempuan yang dilantik dengan BG yang menjadi salah satu pemicunya. Foto itu beredar bersamaan dengan sebuah tulisan yang berjudul “Belajar dari Kemala Harris, Diangkat Sumpah dengan Bhagawad Gita”. Entah ini kekeliruan biasa atau disengaja, mendampingkan foto tersebut dengan tulisan dengan judul demikian, dengan cukup mudah menimbulkan kesalahpahaman.

Tulsi Gabbard

Di banyak grup Whatsapp yang beranggotakan orang Hindu, hal ini menjadi pebincangan seru. Menariknya, tidak sedikit yang langsung percaya dan menyatakan kebanggaanya. Bangga karena ada orang Hindu yang menjadi wapres Amerika Serikat. Hal ini bisa dipahami namun juga menjukkukkan betapa sentimen primordialisme memang bisa dengan mudah mengikis kemampuan untuk berpikir kritis. Ini perkara serius, jika memang benar demikian.

Yang ada di dalam foto yang beredar itu adalah politisi perempuan lain bernama Tulsi Gabbard. Dia adalah orang Hindu pertama yang menjadi senator Amerika. Dalam hal ini, wajar jika dia dilantik dengan BG. Tidak ada yang aneh. Kesalahan terjadi ketika gambar ini digunakan untuk mendampingi tulisan lain tentang Kamala Harris. Selain keduanya memang tidak berhubungan, tulisan tersebut juga mengandung kesalahaan. Pertama, Kamala dikatakan sebagai pemeluk Hindu padahal bukan dan kedua, ayah dari Kamala disebut bernama Thomas Harris padahal seharusnya Donald Harris. Mungkin banyak lagi yang lain.

Sesungguhnya, ada banyak berita dan fakta mengenai Kamala Harris. Ini sangat mudah dicek jika mau karena berita resmi beredar di mana-mana. Hal berikutnya yang menarik adalah mengapa berita semacam ini mudah dan cepat beredar di kalangan orang Hindu? Pada sebuah grup WA Hindu yang isinya adalah alumni berbagai universitas besar di Indonesia dengan profesi sebagai dosen atau professional lainnya, berita soal Kamala yang Hindu ini juga beredar cepat. Menariknya, oleh banyak orang, berita itu disebarkan tanpa keraguan, seakan memang pasti benar dan tidak ada usaha untuk mengklarifikasi. Kalaupun ada, sangat klise, dengan tambahan “apa ini benar ya?” tapi di saat yang sama, beritanya sudah disebarkan begitu luas.

Kita mungkin tak banyak sangkut pautnya dengan Joe Biden atau Kamala Harris tapi cara kita memperlakukan berita menunjukkan jati diri kita. Mungkin kita tak perlu khawatir akan menjadi antek Amerika. Kita perlu khawatir kalau kita diam-diam telah terjajah oleh ketidakmampuan kita sendiri untuk berpikir kritis atau kemalasan kita sendiri untuk meneliti kebenaran sebuah berita. Yang lebih serius, jangan-jangan kita telah dipasung oleh semangat ‘identitas sempit’ yang membuat kita abai akan akal sehat kita sendiri. Semoga tidak separah itu.

PS. Tulisan ini mungkin mengandung kesalahan. Sebaiknya tidak dipercaya begitu saja dan mohon mengacu kepada sumber resmi. Jika ada kekeliruan, silakan dikoreksi.

Ada Pengetahuan sebelum Toleransi

Di rumah saya ada tempat wudhu, ada juga ruang yang bisa dipakai untuk sholat. Di gazebo (balai bengong) yang biasa kami gunakan untuk sembahyang, teman-teman muslim juga biasa sholat ketika mereka main ke rumah dan waktu sholat tiba.

Apa yang saya lakukan biasa saja. Saya menyediakan tempat wudhu karena saya tahu, sebelum sholat seorang muslim perlu wudhu. Ini soal pengetahuan. Ini bukan soal agama, dari perspektif saya. Maka saya tidak pernah khawatir atau takut apalagi was-was. Kenapa harus was-was dengan pengetahuan? Pengetahuan yang membuat kita memahami situasi.

Ada pengetahuan sebelum toleransi. Tanpa itu, kita tidak bisa bertoleransi. Menghormati orang yang berpuasa adalah bentuk toleransi. Itu betul. Tapi bagaimana kita bisa menghormati puasa teman kita yang Hindu, jika kita bahkan nggak tahu bahwa orang Hindu berpuasa saat Nyepi? Bagaimana kita bertoleransi pada teman-teman kita yang Budha jika kita bahkan nggak cakap membedakan Pura, Wihara atau Klenteng?

Ada pengetahun sebelum toleransi. Tanpa itu, kita dibelenggu ketakutan dan prasangka. Maka berbahagialah mereka yang membebaskan pikirannya merdeka utuk mempelajari banyak hal di luar dirinya. Dan bersedihlah mereka yang telah memenjara pemikirannya sendiri dari berbagai kemungkinan kebenaran.

Kita mungkin bukan Gadjah Mada yang mempersatukan Nusantara dengan segala kehebatannya. Setidaknya kita tahu bahwa Gadjah Mada merelakan dirinya menikmati pahitnya buah palapa sampai cita-citanya tercapai. Bahwa ada perjuangan dan ketidaknyamanan untuk menuju persatuan yang diidamkan. Ada proses pembelajaran yang mungkin pahit akarnya sebelum dengan yakin kita bisa bertoleransi di tengah perbedaan untuk mewujudkan buah persatuan Indonesia yang manis untuk semua. Di Nusantara, perbedaan itu keniscayaan. Maka ketika tahun 1928 pemuda besumpah, yang mereka teriakkan adalah persatuan, bukan persamaan. Kita memang punya satu nusa, satu bangsa tapi kita tidak mengatakan kita hanya punya satu Bahasa. Kita menjunjung bahasa perSATUan, bukan bahasa perSAMAan. Selamat Hari Sumpah Pemuda!

Dukungan

Kalimat klise itu berbunyi “di balik lelaki sukses, ada perempuan yang hebat”. Kisah ini adalah versi keluarga kami. Keluarga yang normal. Keluarga yang sering bertengkar karena kunci hilang, remote tv lenyap atau sachet shampoo yang tergeletak di lantai kamar mandi. Keluarga yang bertengkar karena tak sepakat di mana harus parkir mobil saat ke mall. Namun kami punya cerita yang lain.

Ketika saya mendapat IP 1,2 di semester 5, Asti, tidak sama sekali menunjukkan kekecewaan. Tidak pernah mencibir, apalagi menghina. Di dirinya seakan hanya ada satu hal: kepercayaan. Bagi saya, ini dukungan.

Ketika saya galau memutuskan apakah akan menjalani mimpi untuk hidup jadi dosen atau tetap di Astra, Asti memberi saya ruang yang lebar untuk memilih. Kepercayaan dan keyakinan serta minimnya tuntutan darinya membuat saya dengan ringan memilih jadi dosen. Bagi saya, ini dukungan.

Ketika keluarga kecil kami ada di persimpangan jalan, apakah Asti akan ikut saya ke Australia atau meneruskan profesinya sebagai dokter, Asti mengambil keputusan bijaksana. Diserahkannya hidupnya untuk membuat saya yakin bahwa keputusan sekolah dan mengajak keluarga adalah yang terbaik. Dorongan ini yang meniadakan keraguan. Bagi saya, ini dukungan.

Maka ketika Asti memutuskan untuk pulang duluan ke Indonesia saat saya masih sekolah, saya membebaskannya. Saatnya dukungan itu saya berikan. Ketika Asti berjuang mengusahakan beasiswa, saya mendampinginya. Ketika sebagai dokter Asti memutuskan untuk berjarak dengan dunia klinis, saya menghormati keputusannya. Saatnya saya mendukung.

Hingga suatu ketika Asti merasakan kelelahan dan ketidaknyamanan bekerja di di balik meja di ruang kaca, saya memakluminya. Asti yang berhenti total bekerja di sektor formal mungkin adalah keputusan yang tidak lazim. Tidak demikian, bagi saya. Saya telah melihatnya berjuang, berkorban dan menjadi fondasi bagi perjalanan saya. Maka tak ada yang aneh apalagi sia-sia.

Asti adalah fondasi yang menjadi dasar penting bagi bangunan hidup saya. Untuk itu dia rela tertimbun tanah hingga tidak terlihat. Sirna dari pandangan mata orang-orang dan terhindar dari sorot lampu yang yang hingar bingar.

Di dalam kesunyian itu dia menjadi tiang penyangga keluarga sambil menikmati kerinduannya akan seni. Kini, dalam pilihan sunyinya, pola-pola keindahan lahir dari tangannya yang menyusun daun, ranting dan bunga di atas kain atau kulit.

Di dunia ecoprint, dia menenggelamkan dirinya dalam senda gurau alam yang tak pernah lelah menghadirkan kecemerlangan. Seperti juga Asti yang tak pernah lelah mendukung saya ketika hidup menuntut saya memainkan peran-peran tak lazim yang tak terduga.

Betul, di balik seorang lelaki yang nampak berkelebat-kelebat memainkan peran beraneka rupa, ada seorang perempuan yang bekerja dalam senyap. Perempuan itu menjaga jiwa sang lelaki yg sejatinya rapuh. Semoga dalam sunyi Asti tak merasa kesepian karena dia ditemani warna-warni alam yang kerap menjadi pelipur laranya.

Obrolan Geodet #4: Geodet di Gojek

Namanya Novie Chiuman. Namanya kadang diplesetkan oleh teman-teman akrab atau dosennya di Teknik Geodesi UGM. Tentu saja untuk kehangatan interaksi, bukaan hinaan apalagi celaan. Kini dia kerja di Gojek Indonesia, berurusan dengan peta.

Novie istimewa, mungkin sudah dari sananya. Dia dikenal pintar, tekun, rajin dan selalu antusias. Maka tak heran, nilainya nyaris sempurna. Konon hanya ada dua nilai B di transkripnya, di antara lautan A yang memukau. Begitu tahu seorang Novie punya nilai B, kami, para dosen, was was. Dalam kelakar kami bertanya “siapa yang berani memberinya nilai B?” Diam-diam, ada yang bergumam “Syukurlah bukan saya.”.Meski begitu, Novie menolak dituduh pintar apalagi cerdas. “I am a hard-working person” katanya. Dia mengajak kita untuk melihat ‘usaha’, bukan ‘modal’. Saya pun setuju. Setidaknya ada dua pengalaman yang membuat saya yakin, Novie adalah seorang pekerja keras.

Suatu ketika dia jadi asisten saya untuk mata kuliah Matematika Geodesi. Bersama Ridho dia main ke rumah untuk diskusi suatu perihal yang dia belum pahami. Berjam-jam kami diskusi karena saya pun tak paham. Jujur saja. Namun Novie tidak menyerah, berjam-jam dia berkutat. Satu ucapan saya, yang melihat masalah itu dari sudut pandang lain, akhirnya membuatnya berteriak girang. Itulah Eureka Moment bagi Novie.

Di kesempatan lain, saat Kemah Kerja, saya melihat Novie bertransformasi dasyat secara fisik. Kulitnya yang tadi putih seperti terbakar seluruhnya dan menjadi legam. Ini pertanda dia bekerja sangat keras di lapangan dan mengabaikan penampilan fisiknya. Novie benar, dia bersandar pada kerja keras, bukan [saja] pada kecerdasannya. Pembimbing skripsinya, Om Dedi Atunggal, pasti setuju hal ini.

Kini, bekerja di perusahaan besar dan belum umum bagi orang geodesi, Novie kian percaya dengan soft skills. Sering kita abai akan hal ini, katanya. Menariknya, ketika saya tanya apakah semua itu diperolehnya di organisasi, Novie menjawab lain. Dia ternyata tidak aktif di organisasi selama sekolahnya.

Yang lebih menarik adalah pandangannya soal pemerolehan soft skills. Novie memandang organisasi adalah tempat yang bagus tapi tidak selalu cocok untuk semua orang. Mahasiswa harus memilih dan sadar dengan kesesuaian dirinya. Artinya, jika organisasi adalah yang tepat, lakukan dengan baik. Jika tidak, pilih yang lain. Ada banyak hal di luar itu, kata Novie.

Betul. Kadang kita terseret arus dan pandangan mainstream. Tak jarang kita berbobdong-bondong ikut sesuatu tanpa paham dan tanpa punya tujuan yang jelas. Novie tidak demikian. Dia tahu apa yang dia mau dan menjalankannya dengan tanggung jawab. Terima kasih Novie. Tetap bersinar.

Link video: bit.ly/noviegojek

Obrolan Geodet #3 Dari Golf ke Geohub.

Di kursi yang Nampak vintage di sebuah pendopo, saya melihat seorang lelaki dengan senyum khas. Muslim Syamsuis Darwis adalah orang yang sama dengan yang saya kenal sejak 1998 silam. Kini, dia menjadi orang nomor satu dan sekaligus pendiri sebuah perusahaan berbasis geospasial dengan kantor yang keren: Geohub. Sore itu kami janjian untuk bertemu, sekedar bercerita.

Obrolan diisi dengan cerita lampau ketika saya mengenalnya pertama kali. Waktu itu saya mahasiswa tingkat tiga dan membantu kampus untuk menyelenggarakan suatu acara konferensi. Kami perlu relawan mahasiswa untuk membantu suatu mata acara. Tentu mencari mahasiswa di kampus biasanya tidak sulit tetapi waktu itu beda. Pasalnya, relawan yang diharapkan adalah yang bisa main golf. Sebelum berusaha pun saya sudah putus asa. Mana lah mungkin mencari mahasiswa Geodesi UGM yang biasa main golf di tahun 1990an.

Adalah Muslim, seorang anak baru angkatan 1998 yang ternyata memenuhi syarat itu. Sejak itu, saya melihatnya istimewa. Bukan karena akademis atau lainnya tetapi karena dia bisa bermain golf. Kami pun berkelakar mengenang kisah itu. Muslim lalu bercerita bahwa ketika kecil hingga remaja dia tinggal di lingkungan perumahan dengan fasilitas yang baik karena disediakan perusahaan tempat ayahnya bekerja. Yang menarik, ayahnya ‘memaksa’ dia untuk memanfaatkan fasilitas itu dengan baik, termasuk untuk bermain golf. Tanpa disadarinya, itu yang menjadi salah satu pintu pembuka bagi banyak kesempatan di masa depan.

Setelah lulus dan bekerja di Jakarta, Muslim sempat ‘nekat’ bersekolah S2 di Stuttgart Jerman dengan tabungan sendiri dan ‘mengais’ peluang beasiswa dari berbagai pihak. Dia juga berhasil merayu dosennya untuk memberinya pekerjaan sebagai asisten yang kemudian bisa membantunya menyambung hidup di negeri orang. Muslim memilih Jerman karena reputasi keilmuan dan harga pendidikan yang terjangkau. Di Jerman juga akhirnya dia mulai berkarya di perusahaan terkemuka seperti Rapid Eye, sebuah perusahaan satelit penginderaan jauh yang ketika itu baru mulai beroperasi. Tak berhenti di situ, dia sempat pindah ke perusahan lain yang memasarkan drone.

Yang menarik, Muslim menyukai tantangan untuk masuk ke perusahaan yang belum begitu ‘well-established’. Dengan begitu dia memiliki kesempatan belajar banyak hal dari awal hingga akhir. Konon ini juga yang kemudian menjadi bekal baginya untuk mendirikan perusahaannya sendiri yang kini dikenal dengan nama beken Geohub. Berkantor di kawasan yang tenang di Jogja utara, Geohub adalah sebuah kantor dengan konsep santai modern dengan gaya vintage. Saya juga diajak naik ke rooftop untuk merasakan sensasi di ketinggian sambil menikmati suasana sore.

Bergaul dengan berbagai pihak membuat mata kita terbuka dengan berbagai peluang. Itu prinsip yang dipercaya seorang Muslim dalam menjalankan hidup dan usahanya. Tak heran, Sekarang dia mengelola banyak proyek yang tidak melulu hanya terkait bidang geodesi. Dia juga merangkul 30 lebih orang dari berbagai disiplin ilmu untuk menyelesaikan tugas-tugas profesionalnya. Dia percaya, selain membuka kesempatan, pergaulan dengan orang lain juga mendatangkan solusi bagi persoalan yang dihadapinya.

Melihat seorang Muslim adalah melihat seorang pembelajar. Tidak saja secara formal melalui kuliah, Muslim terbuka belajar dari orang lain. Konon dia tetap belajar dari ayahnya tentang cara presentasi meskipun dia sudah melakukan itu di mana-mana di berbagai benua. Dalam pertemuan singkat itupun kami sempat diskusi tentang beberapa bahan paparan saya tentang berbagai hal. Muslim takzim menyimak, semata-mata karena dia memang mau belajar.

Sore itu, sambil bekelakar di kursi klasik di pendopo Geohub yang asyik, saya melihat seperangkat peralatan golf. Itu melambungkan ingatan saya pada 22 tahun silam. Seorang Muslim telah bertransformasi jauh dan tinggi. Dari golf hingga Geohub. Namun hal itu tak membuatnya tinggi hati. Dia tetap seperti bola golf yang kerap memang melayang tinggi tapi tak lama kemudian kembali membumi, bersahabat dengan hijau rumput dan keramahan akarnya.

%d bloggers like this: