Farid Yuniar: Pemeta Batas yang Menembus Batas

[sebuah obituari dari I Made Andi Arsana]

Seorang surveyor pemeta Nusantara telah gugur. Farid Yuniar wafat setelah menjalankan tugasnya untuk melukis wajah bumi di permukaan peta yang rata. Selamat jalan Farid. Seorang sahabat. Seorang murid. Seorang guru. Seorang teladan bagi mereka yang berjuang mengalahkan diri sendiri untuk tetap bergerak dan melaju.

Di tahun 2005, ketika Sengketa Ambalat meledak dan membawa Indonesia dan Malaysia ke titik terendah dalam relasi, saya mengenal Farid sebagai mahasiswa baru di Teknik Geodesi UGM. Seminar nasional tentang Ambalat di UC UGM mempertemukan kami. Kala itu, saya adalah pembelajar awal di bidang batas maritim dan mendapat tugas sebagai moderator. Sebagai mahasiswa baru, Farid adalah peserta yang penuh perhatian.

Continue reading “Farid Yuniar: Pemeta Batas yang Menembus Batas”

Ambalat, Cinta dan Ambalita

Ambalita adalah nama anak saya. Lita panggilannya. Di peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, dia mengikuti upacara bendera di Negeri Belanda. Memperingati kemerdekaan di tanah penjajah tentu bukan peristiwa biasa. Lita sedang mengikuti aktivitas pertukaran mahasiswa selama satu semester di Erasmus University. Saya selalu mengatakan, Lita satu almamater dengan Bung Hatta, proklamator kita.

Kata Ambalita diinspirasi oleh istilah Ambalat. Bagi yang mengikuti hiruk pikuk relasi Indonesia dengan Malaysia, istilah ini tentu tak asing di telinga. Ambalat adalah blok dasar laut di Laut Sulawesi yang di tahun 2005 menjadi alasan bagi dua bangsa, Indonesia dan Malaysia untuk berseteru. Banyak yang mengatakan, itu adalah salah satu titik terendah dalam relasi kakak beradik Nusantara. Dua bangsa serumpun ini memang tak selalu rukun.

Continue reading “Ambalat, Cinta dan Ambalita”

Memoderatori Bene Dion

Saya langsung menyanggupi ketika Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) meminta saya menjadi moderator sebuah acara yang menghadirkan Bene Dion Rajagukguk. Telah lama saya mengenal beliau. Banyak orang mungkin mengenalnya sebagai pemain sekaligus produser film Agak Laen atau sutradara Ngeri-Negri Sedap. Sebagian lain mungkin mengingatnya sebagai standup comedian. Kami mengenalnya sebagai alumni Teknik Industri UGM Angkatan 2009.

Adalah kesempatan langka untuk bisa menjadi moderator seorang sutradara dan aktor film berbakat seperti Bene, makanya saya iyakan di kesempatan pertama. Selanjutnya, tantangan mulai hadir. Bene dikenal cukup introvert dan lumayan kaku bahasa tubuhnya. Meski begitu, dia orang yang cerdas dan pintar. Dia lulusan terbaik ketika wisuda di UGM. Siapa yang ragukan intelektualitasnya. Tapi, mengajaknya berbicara secara cair di sebuah forum zoom, adalah cerita lain.

Saya bisa merasakan ketegangan panitia. Saya sendiri tegang. Saya harus berusaha maksimal. Maka saya mulai susun strategi. Saya mulai lihat-lihat kembali wawancara Bene dengan banyak orang. Saya baca kembali tentang dia. Saya juga kontak teman dan dosennya di Teknik Industri UGM. Ini penting untuk mengetahui siapa Bene di masa lalu. Ini akan bermanfaat untuk mencairkan suasana. Saya yakin demikian.

Saya kirimkan pesan WA ke Bene. Kami mamang beberapa kali berkomunikasi soal film dan karya dia. Saya tulis “Mas Bene, semoga sehat selalu. Saya dapat tugas memoderatori Mas Bene di acara Kagama .. So excited…” Dia membalas “Halo Pak. Waduh deg-degan nih Pak. Semoga nanti bisa saling bantu biar seru 🙏🏻”. Saya suka jawaban Bene ini. Ini adalah jawaban optimis namun rendah hati. Selain itu, ini jawaban yang mengandung semangat kolaborasi untuk hasil yang baik untuk semua. Saya menjadi optimis.

Saya berjanji membuatkan kisi-kisi pertanyaan dan Bene menyetujuinya. Ini penting agar moderator dan nara sumber bisa lebih nyambung ketika berbicara di panggung. Sayangnya saya tidak segera sempat melakukan itu. Di hari H acara, ketika saya menghadap Bu Rektor untuk satu urusan, saya baru teringat lagi janji kepada Bene. Tanpa mengganggu diskusi dengan Rektor dan tim, saya merampungkan sekian pertanyaan untuk Bene. Pukul 10.41 saya kirimkan daftar pertanyaan untuk acara pukul 15.00. Saya yakin, Bene masih punya banyak waktu. Lagi pula, itu bukan pertanyaan UAS di Teknik Industri UGM. Pasti tidak akan merepotkannya.

Waktunya tiba. Saya mulai dengan intermeso bahwa saya sudah lama tidak degdegan ketika memoderatori orang. Ini adalah kali pertama setelah sekian lama. Itu yang memang saya rasakan. Saya merasa delivery kali ini harus bagus. Ini acara yang beda. Dan ini bersama Bene Dion. Saya juga spill bahwa Bene Dion adalah lulusan terbaik saat wisuda. Saya bisa mulai merasakan antusiasme peserta. Mereka baik hati untuk memberi reaksi virtual berupa jempol atau hati yang berhamburan di udara maya. Ini menjadi energi yang baik. Sementara itu, saya lihat Bene tersenyum lebar dan menjadi rileks dalam merespons. Pujian dalam bentuk kelakar positif adalah modal terbaik dalam berbicara dengan orang lain.

Dan sisanya adalah sejarah. Saya merasa berbicara dengan seorang teman akrab yang baik hati. Pintar tentu saja. Saya tak sungkan bertanya hal yang sedikit pribadi, seperti tentang keluarganya yang bersahaja. Tentang masa kecilnya. Tentang pandangan serta filsafat hidupnya. Bene dengan lapang dada dan gembira menceritakan kisahnya sambil mengaitkannya dengan karya-karyanya dan studinya di Teknik Industri UGM..

Di kesempatan terakhir, saya menanyakan hal yang sedikit nakal “apa pendapat Bene Dion tentang film Merah Putih: One for All?” dan disambut riuh reaksi virtual peserta. Yang on cam tampak tersentak dan tertawa. Mereka kaget tidak menduga pertanyaan itu akan muncul. Saya pun tidak menyertakan pertanyaan itu dalam daftar yang saya kirim ke Bene. Dia tampak kaget karena tidak menyangka. Meski kaget, Bene hadir dengan jawaban yang mengagumkan. Jauh melampaui ekspektasi saya. “Memang beda, kualitas jawaban seorang lulusan terbaik Teknik Industri UGM” kata saya mengakhiri. Bene Dion memukau sore itu.

Pesona Kelas Perdana

Saya sudah mengajar lebih dari 20 tahun. Mungkin orang mengira saya akan melakukannya dengan mudah. Saya pun menyangka demikian. Ternyata saya salah. Mengajar tidak pernah mudah. Faktanya, bahkan semakin sulit.

Materi yang saya ajar relatif sama karena mata kuliahnya sama selama bertahun-tahun. Fakta ini kadang menjebak dosen pada anggapan bahwa dia telah ‘menguasai’ semua hal. Di bidang teknik yang perkembangan konsepnya tidak begitu cepat, anggapan ‘sudah bisa’ dan ‘sudah biasa’ ini mudah muncul. Ternyata tidak semudah itu Ferguzo.

Continue reading “Pesona Kelas Perdana”

Menyambut Mas Anies Baswedan di Teknik UGM

“Terima kasih atas kegigihannya mengusahakan” ucap Mas Anies ketika kami berangkulan sesaat ketika beliau baru saja tiba di Fakultas Teknik UGM. “Saya yang berterima kasih, Mas” kata saya menjawab. Saya yang memang mengawali komunikasi dengan Mas Anies terkait kedatangan beliau ke Fakultas Teknik UGM kali ini.

Selalu tidak mudah mendatangkan seorang Anies Baswedan. Tentu saja. Di tengah proses, sempat terjadi keraguan apakah beliau bisa hadir atau tidak karena perihal kesehatan Mbak Fery, istri beliau. Untunglah, setelah melewati berbagai ketidakpastian, Mas Anies menyatakan kesediaannya untuk hadir. Keputusan itu terjadi sepuluh hari sebelum hari H. Kami semua lega. Tak heran kalau Mas Anies menyebut keberhasilan rencana itu sebagai hasil dari kegigihan.

Continue reading “Menyambut Mas Anies Baswedan di Teknik UGM”

Pesan Whatsapp Presiden

Saya memberanikan diri untuk mengirimkan pesan Whatsapp kepada bapak presiden. Saya sampaikan ucapan selamat datang di UGM. Pada pesan itu saya tulis bahwa saya siap-siap belajar dari beliau. Tidak lama kemudian, beliau membalas dan mengatakan bahwa sepertinya saya tidak akan belajar banyak hal dari beliau. Jawaban yang begitu rendah hati.

Saya bertemu beliau untuk pertama kalinya tahun 2004 ketika saya kuliah di UNSW, Sydney, Australia. Saat itu beliau diundang dalam sebuah acara diskusi. Tentu saja beliau belum menjadi presiden ketika itu. Saya sudah terkesima dengan kemampuannya dalam bercerita. Lelaki ini dikarunia kemampuan bernarasi yang mengagumkan.

Continue reading “Pesan Whatsapp Presiden”

Meneruskan Kebaikan

Kemarin saya menghubungi seorang alumni Teknik Geodesi UGM. Made Sapta, Namanya. Dia adalah murid saya di tahun 2012 hingga 2016. Sapta Istimewa. Dia memberi banyak bantuan kepada saya selama kuliah. Sepertinya dia juga menikmati dan banyak belajar dari interaksi kami.

Kemarin saya mengenalkan seorang mahasiswa kepada Sapta. Mahasiswa yang perlu diberi kesempatan. Tak berpikir panjang, Sapta bilang “Oke siap,  siap membantu apa yg bisa saya bantu”. Dia lanjutkan “[j]adi teringat dulu saya dikenalkan ke mas Denni waktu masih kuliah, sekarang berganti peran, semoga bisa membantu 😁” Jawaban ini menghangatkan.

Continue reading “Meneruskan Kebaikan”

Animasi untuk Empat Pulau Aceh

Tanggal 11 Juni 2025 pagi, seorang kawan mengirim berita tentang empat pulau yang disengketakan Aceh dan Sumatra Utara. Itulah kali pertama saya mengikuti kisah sengketa itu dengan serius. Sebagai orang yang belajar hukum laut dan batas maritim, kisah itu menarik untuk mengasah dan menguji ketajaman pisau analisis saya.

Dari sebuah berita, saya akhirnya berselancar di internet dan melahap banyak berita lainnya. Saya paham, ada empat pulau yang sedang menjadi topik pembicaraan. Kini menjadi heboh karena konon pulau itu dialihkan kepemilikannya dari Aceh ke Sumatra Utara. Isunya menghadirkan daya ledak luar biasa.

Continue reading “Animasi untuk Empat Pulau Aceh”

Dilan Janiyar: Bukan tentang Kontroversi Tetapi soal Geodesi

Dilan Janiyar sedang viral. Dilan kini makin tenar. Sayangnya, kisah yang membuatnya tenar mungkin bukan kisah yang bersinar. Hatinya diiris sembilu yang pasti membuat hidupnya pilu. Saya berdoa dengan tulus untuk perjalanannya melewati kekalutan dengan mulus.


Dilan adalah mahasiswa saya ketika dia menjalani pendidikan di Teknik Geodesi UGM. Dilan masuk tahun 2018 dan menamatkan kuliahnya tahun 2023. Sebuah perjalanan panjang yang melelahkan. Dilan wisuda di tengah kehamilannya. Meski penuh drama, Dilan memastikan dirinya menjadi alumni Universitas Gadjah Mada. Alumni dengan ijazah.

Continue reading “Dilan Janiyar: Bukan tentang Kontroversi Tetapi soal Geodesi”

Jumbo

Saya sudah menonton film animasi Jumbo karya Ryan Adriandhy. Saya nonton bersama keluarga: Asti, Lita, dan Wulan. Pendapat saya: luar biasa! Menonton Jumbo membuat saya mengingat diri sebagai anak sekaligus sebagai ayah. Mengutip apa yang disampaikan Pandji Pragiwaksono, Jumbo dengan sempurna telah memeluk jiwa kanak-kanak, sekaligus menguatkan naluri orang tua dalam diri penontonnya.

Setiap orang biasanya ingin dikejutkan sekaligus dibenarkan ketika menonton film. Dikejutkan, artinya, kita ingin sesuatu yang baru atau sulit ditebak. Disisi lain, kita ingin juga diberi ruang kesempatan untuk benar dalam menduga dan menebak. Untuk hal kedua ini, kita ingin sesuatu yang cukup familier dalam jangkauan imajinasi. Jumbo dengan sangat apik menyajikan keduanya.

Continue reading “Jumbo”