Tempo hari kami ngobrol bertiga. Saya, Asti dan Lita. Sejujurnya, obrolan panjang bertiga begini agak jarang terjadi belakangan ini. Saya mulai sering ke luar kota, Lita sibuk sekali dengan sekolahnya. Tahun depan, dia akan mulai kuliah sehingga hidupnya sekarang dipenuhi les ini dan itu. Lita sering pulang malam.
Kami bicara banyak hal. Yang paling saya ingat adalah beberapa kejadian yang menimpa Lita belakangan ini. Mulai dari insiden di parkiran motor karena karcis hilang, hingga kekurangan uang saat mau beli bensin. Di antaranya tentu saja ada ketinggalan ini itu, kehilangan ini itu dan insiden ini itu. Diam-diam, saya seperti melihat diri sindiri pada Lita.
Semua itu berawal dari keputusan kami untuk membiarkan Lita melakukan banyak hal sendiri. Berangkat sekolah sendiri, les sendiri, ke rumah sakit sendiri, rawat gigi sendiri, dan banyak hal sendiri. Lita jarang sekali diantar dan itu kadang menjadi pertanyaan sahabat dan kerabat. Selain karena soal situasi dan kesempatan, ada unsur kesengajaan dalam hal ini. Melatih kemandirian memang bisa direncanakan tetapi keadaan dan keterdesakan yang sesungguhnya paling efektif. Dengan ‘terpaksa’ melakukan banyak hal sendiri, saya berharap Lita belajar secara alami dan lebih cepat.
Bagi bapak dan ibu saya, melatih anaknya untuk mandiri bukanlah bagian dari rencana. Semua berjalan alami karena beliau memang tidak bisa mengintervensi banyak hal dalam perjalanan hidup profesioal saya. Seseorang yang lulus SD atau bahkan tidak lulus SD tidak merasa punya banyak kuasa dalam menyelesaikan masalah-masalah administratif dan intelektual yang dialami anaknya. Inilah yang membuat saya ‘terpaksa’ melakukan semua hal sendirian, terkait pendidikan, sejak SMP hingga S3. Orangtua dengan rela dan sadar tidak berperan.
Pada keluarga yang memiliki sumberdaya, waktu dan pemahaman, melatih kemandirian ini tidak bisa sealami bapak dan ibu saya. Godaan untuk membantu penyesaian masalah anak begitu besar pada seorang bapak yang memang memiliki kemampuan, jaringan dan kekuasaan. Hal ini juga terjadi pada orang-orang dengan profesi dosen seperti saya. Belakangan ini, ada beberapa mahasiswa yang membawa-bawa orangtua ketika bermasalah. Saya beberapa kali dikontak oleh orang tua mahasiswa. Urusannya beragam. Entah ini inisiatif orangtua ataupun permintaan dari anaknya.
Saya ingat masa lalu. Ingat diri saya sendiri. Orangtua saya tidak mungkin melakukan hal yang sama. Bapak saya tidak mungkin menelpon seorang dosen UGM perihal anaknya. Ibu saya tidak mungkin mengemail seorang dosen untuk mengurus nilai saya yang kebetulan T. Oragtua saya tidak mungkin menghadap seorang kaprodi atau kadep atau dekan, apalagi rektor dalam rangka ‘memperjuangkan’ anaknya. Saya lahir di keluarga yang berbeda. Saya tidak memiliki privilege itu.
Setiap kali dihubungi oleh orangtua untuk urusan anaknya, ada kegamangan di pikiran saya. Di satu sisi saya merasa wajib melayani dengan baik karena itu bagian dari komitmen pekerjaan. Di sisi lain ada kekhawatiran tentang kemandirian mahasiswa. Rasanya agak aneh dan mengkhawatirkan melihat anak usia 20 tahun lebih harus dibantu ayah ibunya untuk sekedar bertanya atau mengklarifikasi perihal nilai sebuah mata kuliah. Tidak nyaman rasanya ketika melihat seorang calon sarjana Indonesia perlu melibatkan mamahnya untuk mengurus sebuah dokumen sederhana. Pendidikan nampaknya tidak berhasil melahirkan insan yang mandiri.
Semakin lama semakin banyak orang tua yang dengan sukarela terlibat dalam urusan-urusan yang menurut saya harusnya terselesaikan oleh anaknya sendiri. Saya kira, paguyuban emak-emak itu hanya heboh soal pembelajaran anaknya di grup-grup WA orang tua murid SD. Ternyata kepedualian ‘tingkat tinggi’ ini juga dialami oleh para orangtua mahasiswa. Menariknya, kepedulian itu menjelma menjadi keresahan dan godaan untuk mengintervensi.
Memang godaan terbesar adalah kuasa. Para orangtua yang memiliki kapasitas dan atau kuasa ini sepertinya mudah tergoda untuk menggunakan kuasanya. Orangtua yang kebetulan dosen dan paham per-dosen-an, mudah tergoda untuk bertanya atau mengintervensi urusan pembelajaran dan pendidikan anaknya. Orangtua yang paham urusan diplomasi dan hubungan internasional mudah tergoda untuk mengintervensi proses aplikasi pertukaran internasional yang sedang dijalani anaknya. Niatnya tentu sangat baik.
Salahkah jika seorang bapak atau ibu menggunakan kuasanya untuk membantu anaknya? Jika pertanyaannya sesederhana itu, tentu tidak salah. Pertanyaannya bisa dibuat lebih serius seperti “apakah intervensi itu berdampak positif bagi kehidupan sang anak di jangka panjang?” Sebagai orang yang kerap bertugas di layanan publik, saya punya pertanyaan lain. Bagaimana dengan mereka yang tidak punya bapak atau ibu yang memiliki kuasa? Akankah mereka kian tenggelam karena bahkan tak sempat menikmati buah dari berbagai kesempatan? Jika yang punya kuasa sedemikian keras memperjuangkan anak dan keturunannya agar mendapatkan keuntungan, bukankah itu jadi bentuk ketidakadilan bagi mereka yang tidak dikelilingi kuasa?
Itu deretan pertanyaan idealis. Karakter saya yang sesungguhnya akan diuji ketika semuanya itu melibatkan Lita. Abraham Lincoln berkata, untuk untuk menguji karakter seseorang, berilah dia kekuasaan. Kekuasan, katanya, sesungguhnya tidak mengubah karakter seseorang. Kekuasaan justeru menujukkan karakter asli seseorang. Semoga privilege yang saya miliki tidak membuat saya menggunakan kuasa yang justru menjauhkan anak dari kemandirian.