Kamu pasti sedih karena tidak lulus SNMPTN dan SBMPTN. Silakan bersedih. Sewajarnya memang begitu. Kamu pasti merasa kecewa dan, terutama, telah merasa mengecewakan diri sendiri. Jika aku jadi kamu, aku akan mengalami hal yang sama. Sedih dan kecewa!
Maafkan kami, para orang tua. Kami kerap mengatakan “kami tidak akan memaksamu dalam menentukan masa depanmu” tetapi tidak bisa menyembunyikan niat sebenarnya bahwa kami menginginkan kamu menjadi apa yang kami mau. Maafkan kami, para digital imigran ini, yang tak bisa ‘move on’ dari pemahaman bahwa hidup adalah sebuah ritual konvensional dan kesuksesan itu diukur dengan parameter-parameter usang yang terlanjur kami percaya. Maka diam-diam, kami juga kecewa karena kamu gagal masuk kampus idaman.
Maafkan kami, para guru dan dosen. Kerap kami terlalu bangga dengan pencapaian sendiri sehingga hanya percaya jalan-jalan biasa menuju keberhasilan. Kami kerap menutup mata dengan gesitnya perubahan dunia yang bahkan tak mampu kami kejar. Itulah sebabnya, sebagian dari kami yakin, bahwa hanya dengan meraih gelar di kampus idaman saja, maka jalan menuju keberhasilan itu bisa dilewati. Kami bahkan tidak sadar bahwa sebagian posisi yang ada di Google, IBM, EY dan perusahaan raksasa lainnya bahkan kini tidak lagi mensyaratkan selembar ijazah.
Mari kukisahkan sepotong perkara lama. Aku punya kawan lulusan sebuah universitas kecil swasta di Kupang. Aku menyaksikan dia menggenggam serangkai bunga saat wisuda di University of New South Wales di Australia. Dia S2 di sana dengan beasiswa, berderet dan berdiri sama tinggi dengan lulusan universitas mentereng negeri ini. Saat tulisan ini kamu baca, dia sudah menyelesaikan S3-nya di Inggris dengan beasiswa. Cerita ini tidak inspiratif jika kamu tidak mau menjadikannya inspirasi.
Kawan baikku yang lain lulus D3 di sebuah akademi di Jogja. Nama kampusnya tak terdengar dan bahkan kini sudah tiada. Dia masuk ke akademi itu karena gagal masuk UGM. Di hari H pengumuman penerimaan mahasiswa, dia mendapati dirinya tidak lulus sementara sahabat baiknya yang tadinya senasib sepenanggungan, berhasil masuk UGM. Kamu mungkin bisa membayangkan atau bahkan merasakan kegundahan hatinya. Jangan sedih untuk dia. Kini dia menjadi dosen dan mengajar S2 di sebuah perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Pada namanya ada gelar S2 dan S3 yang semuanya diperoleh dari luar negeri dengan beasiswa yang memukau. Saat kamu baca tulisan ini, dia mungkin sedang memberi nasihat akademik pada mahasiswa S3 di kampus ternama negeri ini.
Beberapa hari lalu, aku menjadi juri sebuah lomba nasional. Ada seorang anak muda yang menjadi finalis dan tampil begitu keren. Dia adalah mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi swasta yang selama ini tidak begitu diperhitungkan. Kinerjanya memukau karena berbeda dan inovasinya tidak lazim. Aku bertanya pada diri sendiri “ke mana mahasiswaku sendiri yang kampusnya katanya nomor satu di Indonesia?” Mahasiswaku sendiri tidak ada di medan tempur bergengsi itu. Cerita ini tidak akan menginspirasimu kecuali jika kamu mengizinkannya.
Tahun 2018, Diah, ponakan yang aku sayangi tidak berhasil masuk UGM, tempatku bekerja. Percayalah, tidak mudah menghadapi kenyataan itu. Orang-orang di sekitarku mungkin berharap aku bisa berbuat lebih tetapi faktanya aku tidak bisa apa-apa. Untunglah perilaku dan semangat juang Diah menghiburku. Kini nilainya nyaris sempurna di Universitas Sanata Darma Jogja. Kerap aku dengarkan dia presentasi di kamarnya atau berdiskusi dengan temannya dalam sebuah forum. Aku amati kelincahannya di organisasi dan perhelatan kampus lainnya. Aku simak Bahasa Inggrisnya yang jauh lebih baik dari kebanyakan mahasiswa yang kukenal di kampus terkemuka sekalipun. Aku tidak ragu dengan jalan hidupnya.
Tulisan ini tidak untuk menghiburmu tapi untuk mengingatkanmu bahwa semua orang pernah gagal. Aku tidak berhasil masuk Nottingham di UK karena Chevening menolakku di tahap akhir. Aku tidak jadi masuk Karlsruhe di Jerman karena DAAD bahkan tidak menggubris lamaranku. Aku tidak jadi menikmati suasana kelas di TU Delft di Belanda karena STUNED tak sudi memberiku beasiswa. Aku tidak jadi belajar di Negeri Paman Sam karena Fulbright tidak melihatku fully bright. Di tahun 2017, ketika aku sudah presentasi di lima benua, sebuah konferensi di Sulawesi menolak paperku karena dianggap tidak layak untuk disajikan. Kecewa? Pasti! Namun hidup harus terus berjalan.
Tahun ini, dua ponakan lain ditolak UGM di SNMPTN dan SBMPTN. Mereka masih berjuang untuk ujian mandiri dan tulisan ini adalah doa untuk mereka. Doa juga buat kalian yang masih ingin berjuang. Semoga kalian semua tak berhenti. Tak ada satupun yang bisa menjanjikan kecemerlangan di masa depan tapi setidaknya kalian bergerak menujunya, selambat apapun dan lewat jalur apapun.
Tulisan ini juga aku persembahkan bagi para orang tua. Sebagai tanda terima kasihku pada Bapak dan Meme’ yang tak pernah menunjukkan kekecewaannya saat aku terpuruk dan gagal. Yang hanya punya satu kata: “dukung”, ketika melihat anaknya mendapat IP 1,2 dan hanya punya kata “percaya” ketika anaknya memutuskan untuk bekerja di tempat yang gajinya 1/7 dari gaji sebelumnya. Semoga pikiran baik datang dari segala penjuru.
Jogja, 16 Juni 2021
I Made Andi Arsana