One Fine Day: Sebuah Tragedi Komedi Seorang Dosen di Masa Pandemi


Jogja, 3 Desember 2020

Hari ini saya mendapat tugas menjadi moderator untuk sebuah acara Internasional. Ada empat pembicara yang keren, dari Nottingham University, National University of Singapore, Universitas Gadjah Mada, dan rolls Royce. Yang terakhir adalah dari perusahaan untuk melengkapi perspektif. Acara ini bertajuk “Hacking the Global Pandemic” yang intinya adalah bagaimana memanfaatkan momentum Covid-19 untuk berinovasi.

Acara ini sudah disiapkan jauh-jauh hari dan saya sendiri turut menyiapkan dari awal. Maka, dari segi tema dan pengelolaan acara, saya cukup menguasai. Seperti biasa, tugas saya yang lain adalah menyiapkan pidato untuk rektor dan membuat draft presentasi untuk pembicara dari UGM. Semua itu sudah disiapkan sebeluknya sehingga di hari-H seharusnya tidak ada masalah.

Menurut rencana, acara berlangsung hanya dua jam yaitu dari jam 3 hingga 5 sore. Memahami jadwal tersebut, saya menyanggupi sebuah acara lain yang mewajibkan saya harus terbang dari Jogja pukul 18.20. Saya harus ada di Medan esok hari dan akan transit di Jakarta malam ini. Besok pagi, saya akan terbang dari Jakarta ke Kualanamu, Medan. Saya bayangkan, segera setelah saya selesai jadi moderator online, saya bisa cabut ke bandara. Semua akan aman, saya yakin.

Masalah lain muncul, tepat di pagi hari di hari-H. Saya baru sadar bahwa keberangkatan pesawat dari Jogja kini dari bandara baru di Kulon Progo (YIA), bukan dari Adi Sucipto. Itupun saya sadari setelah diingatkan oleh Asti, isteri saya. Maka pagi itu saya langsung syok dan panik. Panik karena keteledoran sendiri. Ini sudah biasa.

Tugas lain muncul di tengah kepanikan. Akan ada kunjungan yang agak mendadak dari Jakarta untuk menginspeksi Kantor Imigrasi di UGM. UGM memang baru saja punya Kantor Imigrasi sendiri, hasil kerja sama dengan Kemenkumham. Saya harus ada di kantor untuk menyambut tamu itu. Maka jam 10 lebih sekian, saya sudah di jalan menuju kantor sambil mengelola kepanikan dalam hati dan pikiran.

Saya telepon salah seorang staf di kantor. Sebenarnya ini tidak boleh ditiru. Saya menelpon sambil nyetir karena tidak punya pilihan lain. Hal pertama yang saya pikir adalah membeli tiket baru dari Jogja ke Jakarta. Jika ada tiket dari Adi Sucipto ke Halim, tentu bisa jadi solusi. Biarlah tiket saya yang sudah terbeli akan hangus. Ini konsekuensi dari keteledoran saya.

Memang ada tiket Citilink dari Adi Sucipto ke Halim tapi ternyata berangkatnya jam tiga sore. Tidak mungkin saya pilih itu karena jam segitu saya harus jadi moderator. Saya coret opsi itu dan berpikir lebih keras. Siapa yang bisa membantu? Bagaimana caranya?

Saya ingat ucapan Asti tadi. Dia menyarankan saya untuk bergerak ke bandara seawal mungkin dan mencoba cari tempat untuk online ketika tugas jadi moderator. Saya pikir, benar juga idenya. Maka tanpa pikir panjang, saya telepon seorang teman yang juga punya jasa transportasi, Pandu. Intinya saya minta Pandu mengantar saya ke Bandara YIA di Kulun Progo tapi di tengah jalan agar dicarikan tempat mampir untuk bisa online. Pandu menyanggupi.

Banyak hal berkecamuk di kepala saya. Di situ juga ide langsung bermunculan. Saya telepon Asti tapi koneksi tidak bagus. Akhirnya saya gunakan voice message di Whatsapp. Intinya saya sampaikan bahwa saya akan berangkat ke bandara jam 12 nanti dan tidak akan pulang sebelum itu. Pandu akan menjemput saya di kampus dan langsung ke bandara. Maka saya minta Asti menyiapkan pakaian untuk saya di Medan dan peralatan pribadi lainnya. Asti sudah terbiasa dengan semua itu.

Yang juga saya minta adalah agar Asti menyiapkan peralatan studio berupa green screen dan stand-nya serta lighting. Saya membayangkan, kalau nanti mau online di hotel atau restoran, saya mau pakai alat yang proper. Saya akan tampil di depan akademisi tingkat dunia, tentu harus prima, lengkap dengan virtual background yang sudah disiapkan panitia. Pokoknya, intinya, all out! Meskipun lagi sulit dan panik, saya berusaha bersiap maksimal. Asti pun menyanggupi tanpa banyak tanya. Dia sudah hafal kelakuan saya.

Setibanya di kampus, saya dapat kabar bahwa pihak Imigrasi tidak jadi datang. Di satu sisi ini membuat gemas karena rencana kedatangan tadi membuat kepanikan saya meningkat tapi di sisi lain, saya lega karena artinya tidak perlu ribet. Sudahlah. Apa pun yang terjadi adalah kebaikan. Saya tersenyum saja, mensyukuri setiap tahap dan kejutan yang terjadi.

Saya memesan makanan lewat GoFood karena saya rasa masih cukup waktu sebelum Pandu datang menjemput saya. Tahu gimbal datang dan sayapun menyantapnya dengan lahap. Saya berusaha tenang meskipun belum pasti apa yang akan terjadi selanjutnya. Beberapa menit setelah makan, Pandu mengontak dan ternyata sudah tiba di kampus. Kami siap berangkat.

Kami meninggalkan kampus dengan satu mobil setelah memastikan semua barang lengkap. Saya cek tas pakaian yang disiapkan Asti, peralatan studio dan perlengkapan pribadi lainnya. Pandu tadi menjemput semua itu di rumah sebelum menjemput saya di kampus. Kerja sama yang baik dan nyaris sempurna. Semua beres, kami pun melaju ke Kulon Progo.

Di tengah jalan, saya masih sibuk melatih bahan untuk jadi moderator beberapa jam lagi. Sementara, saya meminta Pandu untuk mencari tempat di sekitar bandara untuk saya bisa online. Saya juga menanyakan ke beberapa orang termasuk grup angkatan dan senior di kampus yang berasal dari Kulon Progo. Semua semangat membantu tetapi tidak satu pun yang definitif.

Akhirnya Pandu menemukan Dapur Semar, sebuah restoran yang berada kurang lebih 20-30 menit dari bandara. Saya dengar dia sibuk menelepon Dapur Semar dan bernegosiasi. Sepertinya mereka menduga kami akan membawa rombongan besar ketika bertanya “berapa orang?”. Ternyata kami hanya bertiga: saya, Pandu dan Endar, seorang driver yang sudah seperti teman sendiri. Ternyata mereka punya ruangan untuk 15 orang dan membolehkan kami menggunakannya dengan sewa tambahan. Berapa ongkos sewanya? 50 ribu rupiah saja. Jogja banget!

Dalam perjalanan dengan titik terang itu, Direktur saya meminta agar kami lakukan gladi final sebelum acara. Beliau meminta lebih awal dan kemungkinannya adalah pukul 13.30 karena jam 14.00 zoom sudah dibuka untuk umum. Maka saya pun meminta Endar untuk melaju lebih kencang. Sementara saya masih komat-kamit di belakang, meyiapkan diri sebelum tampil jadi moderator. Saya pun pasrah saja pada Pandu dan Endar. Di titik itu, kepasrahan dan kecuekan itu membantu.

Akhirnya kami tiba di Dapur Semar dan langsung ditunjukkan ruangan yang cukup besar dan nyaman. Kami segera setting green screen dan lighting. Dalam waktu singkat semua siap dan saya pun sudah bisa online melakukan gladi bersih sebersih-bersihnya. Saya pastikan itu dan dalam pengawasan direktur. Semua nampak okay, termasuk panitia dari IPB. Saya merasa lega, demikian pula Pandu dan Endar. Mulai bisa lepas tawanya.

Peserta mulai berdatangan, tamu VIP mulai masuk. Saya kemudian menjamu beliau-beliau, termasuk tamu dari Nottingam dan Singapura. Kami bercakap-cakap untuk menghangatkan suasana dan membangun chemistry agar proses diskusi nanti bisa lancar. Semua berjalan lancar meskipun koneksi saya mulai menampakkan tingkah polah yang tidak bersahabat. Wifi di Dapur Semar tidak sestabil yang saya harapkan. Apa daya, harus diterima sebagai kenyataan. Saya berspekulasi mengganti WIFI dengan tethering dari HP. Ternyata lebih lancar.

Acara dimulai dengan Mas Adit sebagai MC setelah semua pembicara hadir. Manajeman waktu lumayan bagus. Hingga akhirnya acara inti harus dimulai. Saya pun beraksi. Ada empat pembicara dan saya harus disiplin soal waktu. Pertama karena saya ingin acara nya sesuai rencana dan kedua, ini yang paling penting, saya tidak ingin ketinggalan pesawat. Akhirnya dengan usaha keras dan dukungan semua pihak, sesi utama terlewati dengan baik, saya pun menutup dengan gembira dan adrenalin di permukaan.

Begitu saya tutup sesinya, saya matikan kamera dan mic sehingga Pandu dan Endar bisa segera berkemas mencopoti peralawan studio, terutama green screen dan lighting. Sayapun berkemas dan berlari ke kasir untuk membayar. Semuanya, termasuk makanan untuk semua orang, menghabiskan dua ratus ribu lebih sedikit. Harga yang bersahabat untuk kehebohan yang kami timbulkan. Selepas membayar kamipun melaju ke bandara.

Saya izinkan Endar untuk ngebut sehingga kurang dari 20 menit kami sudah tiba di bandara YIA. Saya pun segera melaju masuk. Meskipun mau cepat dan cekatan, saya belum hafal dengan bandara baru ini. Meskipun harus banyak tanya, akhirnya saya ada di dalam bandara yang terasa begitu sepi dan luas.

Satu lagi masalah, saya tidak membaca cetakan hasil tes swab saya karena saya pikir hanya menunjukkan hasil digital lewat HP. Ternyata hasil ini perlu dicap dan artinya saya harus menunjukkan cetakannya. Di situ saya kesal dan marah. Saya pikir ini tidak efisien dan menghina teknologi digital. Namun saya putuskan untuk tidak marah tetap mengikuti semua prosedurnya. Saya diminta untuk mencetak itu di hotel terdekat yaitu Cordia yang ada di bawah bandara. Saya pun bergegas ke sana dan segera mendapatkan apa yang diperlukan. Meski begitu, waktu yang dibutuhkan cukup lama karena saya berjalan kaki dan naik turun escalator.

Dalam waktu yang mepet itu, saya sudah tiba kembali di counter check in setelah mengecapkan hasil tes swab. Semua berjalan lancar dan saya siap berangkat. Tidak menunggu lagi, saya segera menuju pesawat karena waktu boarding sudah tiba. Saya bergegas masuk pesawat.

Sesaat sebelum masuk pesawat, saya baru ingat lagi bahwa pukul 19.45 nanti saya harus menguji skripsi mahsiswa S1 di Teknik Geodesi UGM. Saya sudah membaca sebagian skripsinya tetapi belum lengkap memberi komentar. File-nya saya kerjakan di Cloud Google Drive. Maka saya harus unduh dulu agar bisa saya lanjutkan koreksinya di pesawat nanti. Maka di depan Lorong garbarata pesawat, saya mengunduh file skripsi dengan koneksi tethering ke HP. Saya pun bersimpuh di pojokan demi file itu dan kelarlah sudah.

Selepas itu saya lari masuk pesawat dan segera menemukan tempat duduk yang tepat. Pesawat cukup rame untuk ukuran pandemic, tapi jaga jarak berjalan baik. Saya sempatkan ngobrol sebentar dengan penumpang di samping saya untuk menghangatkan suasana. Selepas itu saya sudah tenggelam dalam koreksi skripsi meskipun saya ngantuk luar biasa. Akhirnya selesai juga poin-poin pentingnya.

Pesawat tiba di bandara Soekarno Hatta lebih cepat dari jadwal seakan alam semesta bersekutu melancarkan rencana saya. Maka saya segera melesat keluar dari pesawat dan menju Digital Capsule Hotel. Bagi yang belum tahu, di Bandara Soetta ada tempat menginap berupa capsule yang bisa diisi satu orang saja. Harga per malamnya pun 300K lebih. Lumayan lah untuk istirahat. Saya segera memesan dan cepat-cepat masuk ke ‘gua’ modern itu.

Saya terlambat sedikit, presentasi skripsi sudah mulai ketika saya masuk ke zoom meeting. Meski demikian, itu tidak mengganggu karena saya telah membaca dan memahami skripsi mahasiswa dengan baik. Saya pun telah menyiapkan komentar dan masukan secara teliti. Semua akan baik-baik saja, saya yakin.

Selepas presentasi mahasiswa saya diminta memberi komentar duluan dan sayapun laksanakan dengan baik. Tentu saja saya puji karya dan pemaparan skripsi yang memang bagus itu. Saya pun kasih beberapa masukan tanpa banyak menghadirkan kesulitan yang tidak perlu. Orang yang sudah berusaha dengan baik dan hasilnya bagus, layak didukung dan diapresiasi.

Sekitar jam 9 lebih, ujian selesai dan saya bernafas lega. Namun itu sejenak saja. Ketika saya merebahkan diri dan melihat langit-langit capsule yang futuristik, tiba-tiba ada yang berbisik “jangan santai dulu, banyak paparan untuk besok pagi di Medan belum siap. Kerja! Kerja! Kerja!” What a day!

Medan, 4 Desember 2020

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

2 thoughts on “One Fine Day: Sebuah Tragedi Komedi Seorang Dosen di Masa Pandemi”

  1. Pak made, bapak dapat mengatasi kepanikan yang mengusai pikiran anda. Hal ini tentu tidak mudah apabila saya ada diposisi bapak. Selain menarik ceritanya juga dipaparkan runtut dan enak dibaca. Terima kasih

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: