A Different Kind of Habibie


Nama lengkapnya Hutomo Wasisto. Dia lulusan Teknik Elektro UGM yang kemudian sekolah S2 di Taiwan lalu S3 di Jerman. Kini Ito, demikian panggilannya, menjadi profesor di sebuah institusi Pendidikan di Jerman. Tanggal 29/12/19 lalu saya beruntung mendengar kisahnya. Tidak harus pergi jauh, Ito berkenan mampir ke rumah kami di Jogja. Sungguh istimewa. Hal ini mungkin terjadi karena kerja keras dan cerdas Mini Akademi.

Lahir dan besar di tengah keluarga dokter, Ito kecil menjadikan dokter sebagai satu-satunya cita-cita. Dia yang mengenyam Pendidikan SD dan SMP di Purbalingga kemudian masuk SMA 3 Jogja. Selama di SMA 3, Ito memutuskan untuk menempuh jalur akselerasi sehingga dia menyelesaikan pendidikan SMA hanya dalam dua tahun. Segera saja dia mendaftar Fakultas Kedokteran UGM dengan kepercayaan diri yang tinggi. Ternyata gagal. Menurutnya, itulah kegagalan terbesar yang dialaminya dalam hidup.

Ito ‘terpaksa’ masuk Teknik Elektro yang tadinya bahkan tidak dipikirkannya. Lucunya, Ito memilih Teknik Elektro saat ujian masuk UGM sebagai pilihan alternatif hanya karena tingkat kesulitannya sangat tinggi. Itu saja. Anak ini memang suka tantangan yang ekstrim meskipun kemudian kaget sendiri ketika diterima. Pasalnya, Ito tidak pernah menyiapkan dirinya untuk memasuki dunia selain Kedokteran. Ibunya tidak segera memberi restu dan masih berharap Ito masuk Fakultas Kedokteran. Sayangnya, percobaan tes berikutnya pun tidak sesuai harapan.

Ito ‘terdampar’ di Teknik Elektro UGM dan mulai menjalaninya. Meskipun gamang di awalnya, Ito berusaha dengan keras. Dia adalah bukti hidup dari sebuah ajaran “If you cannot do what you love, at least you can love what you do”. Ito memang awalnya ‘membenci’ banyak pelajaran di Teknik Elektro namun dia juga realistis. Dia tidak bisa lari. Sebenci-bencinya dia dengan kuliahnya, dia tetap harus menyelesaikannya agar bisa move on. Dalam ‘kebenciannya’ itu dia menjadi lulusan terbaik dengan IP di atas 3,8. Ajaib!

Yang menarik, Ito bukanlah tipikal orang sukses yang sering kita simak belakangan ini. Ito bukan dari keluarga miskin yang hidupnya menderita lalu bekerja keras dan Tuhan menolongnnya lalu jadi orang sukses. Kita sudah terlalu sering mendengar cerita demikian. Yang lebih parah, cerita demikian membuat kita kadang tidak memberi ruang ‘kesuksesan’ pada mereka yang lahir di keluarga kaya dan terdidik. Jika anak tukang becak bisa jadi dokter maka kita kagumi tapi anak dokter yang jadi dokter lupa kita puji. Kadang malah kita cibir. Hati-hati, cerita motivasi konvensional dalam dosis berlebihan bisa membuat kita jadi orang jahat tanpa sengaja.

Ketika bercerita, Ito tidak menghadirkan kesan bahwa hidupnya menderita atau kesusahan. Namun dari ceritanya, nampak tegas bahwa inti dari semua itu adalah bekerja sangat keras tanpa pernah menyerah. Ito juga punya tantangan yang serius ketika memilih jalan ‘sunyi’ yang berbeda dengan kebanyakan orang di keluarga besarnya yang hampir semuanya dokter. Dia harus membuktikan bahwa pilihannya juga bisa mengantarkannya pada kebaikan. Saya yakin itu tidak mudah.

Konon Ito sudah bercita-cita ke Jerman sejak lama. Habibie adalah inspirasi baginya. Ketika S1, dia sudah ‘gembar-gembor’ akan ke Jerman tetapi ternyata nasib membawanya ke Taiwan. Lagi-lagi Ito menempuh jalan berbeda dari cita-citanya. Itupun dia jalani, meskipun dia harus belajar hal baru yang tadinya tidak begitu disukainya. ‘kebencian’ itu juga yang mengantarkannya menjadi salah satu lulusan terbaik dan mendapat penghargaan Semiconductor Award di Taiwan. Ajaib? Menurut Ito, ini bukan keajaiban tetapi hasil kerja keras. Baginya tidak ada orang yang salah jurusan. Yang ada adalah orang yang malas. Banyak dari kita mungkin tidak sependapat tetapi Ito mengatakannya dengan keyakinan dan bukti yang tidak terbantah.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya takdir membawanya ke Jerman untuk S3. Di sana dia sekolah dengan status bekerja, bukan penerima beasiswa seperti yang umumnya kita kenal. Menjadi satu-satunya orang Asia Tenggara di grup risetnya di Jerman ketika itu menghadirkan tantangan tersendiri. Ito merasakan bagaimana dia diragukan atau bahkan dianggap remeh di awalnya. Dia merasakan bahwa kemampuan Bahasa Jermannya yang belum baik menjadi penghalang dalam interaksi karena orang Jerman enggan berbahasa Inggris. “Kalau kamu mau pakai Bahasa Inggris, kamu silakan hidup di Inggris atau Amerika atau negara lain. Bukan di Jerman”, demikian konon seorang koleganya berkata setengah mencibir.

Tak ada jalan lain kecuali berusaha keras. Maka Ito kemudian bekerja jauh lebih keras dari rekan lainnya. Sepertinya Ito menjalankan prinsip “I have to work twice as hard to be half as good”. Dia perlu bekerja dua kali lipat lebih keras untuk mencapai setengah kemampuan koleganya. Jika kemudian Ito mendapatkan gelar the Best PHD di akhir masa studinya, mungkin karena dia bekerja 10 kali lebih keras. Konon Ito dikenal sebagai orang yang tidak mengenal musim karena sepanjang tahun di bekerja dan bekerja. Kini dia dan kita semua melihat hasilnya. Karena keistimewaannya, Ito mendapat izin tinggal istimewa di Jerman seperi yang didapatkan Habibie di masa lalu.

Ito adalah kebanggan Indonesia. Kini dia memimpin sebuah grup penelitian di Jerman di bidang nano technology dan sudah membimbing banyak anak muda dunia, terutama Indonesia untuk menjadi ilmuwan. Cita-citanya ketika muda yang ingin mendidik anak muda Indonesia di luar Indonesia, pelan-pelan menampaknya wujudnya. Ito juga aktif berkolaborasi dengan peneliti Indonesia dan dia memberi banyak bantuan. Ito ingin menyiapkan SDM dan infrastruktur, meskipun pelan, sehingga kelak Indonesia bisa berjaya di bidang yang ditekuninya sekarang. Meski selalu membantah, Ito adalah a different kind of Habibie.

Ketika ditanya apakah tertarik untuk pulang ke tanah air, jawabannya bijaksana. Ini soal peran, katanya. Ito ingin berada di tempat yang memberinya kesempatan berperan lebih banyak bagi Indonesia dan dunia. Jika Indonesia kelak memberikan peluang itu, tentu dengan senang hati dia kembali. Saya sendiri setuju dengan ini. Peran seseorang bagi suatu negara atau peradaban tidak lagi harus didikte oleh lokasi geografis orang itu. Kita hidup di masa ketika keterhubugan berbagai pihak di dunia adalah hal yang niscaya maka lokasi geografis tidak lagi mendikte peran seseorang. Tinggal di Jerman dan berperan bagi Indonesia dan dunia, mengapa tidak?

Kita memang tidak bisa memilih bagaimana, di mana dan dari siapa kita lahir tetapi kita memang bisa bekerja keras agar bisa memilih jalan hidup berikutnya. Inspirasi juga tidak selalu berarti ‘happy ending’ seperti di kisah-kisah klasik kehidupan. Keberhasilan bukan berarti semuanya berjalan dan berakhir baik-baik saja lalu bahagia selamanya. Ito pastilah juga menghadapi situasi rumit ketika isterinya yang dokter harus memilih untuk tidak bekerja profesional. Di satu sisi, itu adalah sistem pendukung yang menjadikannya seperti hari ini. Di sisi lain, saya bisa membayangkan tekanan kiri-kanan yang dialaminya. Pada akhirnya, Ito tetaplah seorang manusia yang harus berjuang melewati berbagai rintangan yang selalu akan ada. Ito adalah orang biasa yang luar biasa.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: