Lita, anak saya, masih menangis bahkan ketika filmnya berakhir. Kejadian itu tidak saya sangka. Seingat saya, Lita bukan orang yang terlalu mudah baper dengan satu tontonan film, apalagi film Indonesia. Kejadian itu mengkonfirmasi perasaan dan respon saya sendiri ketika menonton film Imperfect: Karier, Cinta dan Timbangan, besutan Ernest Prakasa. Film ini adalah adaptasi dari buku berjudul Imperfect karya Meira Anastasia yang tak lain adalah isteri Ernest.
Bagi saya, Ernest adalah jaminan mutu film bergenre drama komedi. Film-filmnya beberapa tahun terakhir selalu ditonton oleh lebih dari sejuta orang. Itu menunjukkan kualitasnya yang diterima secara luas oleh masyarakat. Ciri khas Ernest dalam filmnya adalah kemampuannya meramu komedi dan drama dengan sangat manis sambil menitipkan pesan dalam yang ‘relatable’ tanpa terkesan menggurui. Di Imperfect, Ernest dan Meira kembali mengulang sukses itu.
Yang menjadikan Imperfect begitu perfect adalah fakta bahwa film ini begitu mudah ‘nyambung’ dengan kondisi hari ini. Kita hidup di era media sosial dan setiap hari disuguhi (atau mencari dengan sengaja) tontonan tentang kehidupan orang lain. Cilakanya, tontonan itu hampir selalu tentang kesempurnaan lahiryah atau cerita kesuksesan yang tak selalu berhasil kita ubah jadi inspirasi. Lebih sering, justeru, kesempurnaan dan kesuksesan itu menjadi gangguan yang menjadikan kita mudah berasa tidak nyaman dan tidak aman. Insecure, kalau menggunakan istilah anak sekarang.
Anehnya, meskipun menyadari bahwa keterpaparan kita akan kesempurnaan dan kesuksesan orang lain di media sosial bisa membuat kita insecure, toh kita tidak berhenti melakukannya. Kita semua punya naluri kepo yang akut dan serius. Itulah cikal bakal insecurity yang kemudian tumbuh menjadi raksasa yang menguasai hidup kita. Film Imperfect dengan nyaris sempurna menceritakan ini. Setiap orang mengalami insecurity dalam satu atau dua hal. Maka itu yang mungkin membuat banyak penonton baper dan menangis manyaksikan film itu. Tak terkecuali Lita.
Pengalaman Ernest menggarap beberapa film dalam beberapa tahun terakhir nampak berakumulasi dengan sangat baik di Imperfect. Ernest seakan datang dengan kumpulan keterampilan dan pengalaman yang dituangkan dalam satu adonan Imperfect yang menawan. Menonton Imperfect seperti menonton standup comedy cerdas yang dibawakan oleh banyak orang dalam bentuk dialog. Sangat jelas terasa, komedinya dipikirkan dengan serius, dikemas dengan apik dan disajikan dengan prima. Muhadkli Acho yang menjadi konsultan komedi di film ini harus mendapat apresiasi yang tinggi.
Kehadiran standup comedian di banyak film belakangan ini bukanlah hal baru. Yang agak berbeda di Imperfect adalah hadirnya banyak komedian perempuan. Entah kenapa saya teringat kata-kata pembukaan Seth Mayers di Oscar 2016 ketika dia bilang “Ladies and the remaining gentlemen”. Apakah memang peran perempuan kian meningkat dan laki-laki yang mendapat peran adalah mereka yang ‘tersisa’? Entahlah. Yang pasti, kehadiran empat komika perempuan di film Imperfect berhasil menjadi ‘center of gravity’ kelucuan cerdas yang tersaji.
Dialog tentang zodiac dan shio, menurut saya begitu segar dan lucu. Kerumitan terkait shio, tikus tanah dan perjodohan disajikan dengan begitu apik. Laugh per minute (LPM)-nya tinggi, termasuk call back yang hadir begitu menawan. Nampak betul dialog ini dipersiapkan dengan gaya penulisan standup comedy yang rapi, detil dan dengan LPM yang begitu rapat.
Tidak sering saya menyaksikan penonton bioskop seperti penonton Imperfect yang tertawa terpingkal-pingkal dengan derai yang hampir seragam sebagaimana layaknya pertunjukan standup comedy live. Kami bertiga sekeluarga duduk di deratan paling depan karena teaternya memang penuh dan kami memesan tiket agak terlambat. Penuhnya ruangan teater di hari pertama dan pecahnya tawa penonton mengirimkan sinyal positif bahwa Imperfect bisa menjadi tontonan yang dicintai oleh penikmat film di Indonesia. Kita lihat saja sampai akhir tahun 2019 ini.
Imperfect secara cerdas memainkan perasan penonton dengan sajian fluktuasi emosi yang dinamis. Kelucuan yang cerdas dan mengejutkan tersaji apik menghadirkan keceriaan. Kesedihan mendalam juga terasa begitu dekat karena hadir dari perasaan terabaikan, tersisih, dan terkalahkan. Ini menjadi menarik karena sesungguhnya hal itu dirasakan jutaan orang di dunia. Saya yakin, banyak penonton juga merasa tersindir dengan telak oleh potongan-potongan adegan dan dialog yang tersaji.
Kealamian acting adalah salah satu kekuatan Imperfect. Favorit saya adalah ketika Reza Rahadian, Ibunya dan Ernest Prakasa ada dalam satu adegan. Dialog dan aksi mereka begitu alami, seakan-akan itu tanpa script dan merupakan spontanitas atau improvisasi. Padahal saya yakin, itu semua scripted. Kesempurnaan adegan ini pastilah hadir karena kedisiplinan dalam reading, berlatih lalu kesungguhan saat delivery. Alami betul, cair betul. Melihat adegan itu, saya tidak merasa menonton film tapi menyaksikan kejadian nyata, senyatanya.
Ernest tetap hadir dengan kekuatan andalannya dalam mengolah isu warga keturunan, terutama Cina. Kemampuan dan keberaniannya mengolok-olok situasinya sebagai warga keturunan Cina luar biasa sehingga isu ini hadir begitu alami memberi pelajaran tanpa menjadi sensitif sama sekali. Imperfect bahkan selangkah lebih jauh lagi ketika sedikit bermain risiko ketika berbicara soal Jilbab, Yesus dan Maria. Saya pribadi suka betul dengan topik ini karena disajikan dalam bentuk guyon. Saya adalah orang yang percaya bahwa keyakinan kita akan susuatu dibuktikan, salah satunya, dengan kemampuan kita untuk tersenyum dan tetap tenang ketika ada yang bertanya, ragu-ragu atau bahkan bermain dengan keyakinan itu.
Soal pesan moral, film Ernest tidak perlu diragukan. Tanpa menggurui, Imperfect dengan nyaris sempurna menyajikan pesan-pesan positif kepada penonton. Yang paling saya suka adalah bahwa tidak ada orangl yang betul-betul jahat di film itu. Tidak ada pihak yang secara tegas berlaku sebagai tokoh antagonis dan konsisten menjadi orang jahat. Film ini mengingatkan saya pada hidup yang sebenarnya. Bahwa demikianlah manusia, tidak ada yang konsisten jahat, tidak ada juga yang terus-terusan baik. Semuanya normal dan alami saja apa adanya. Yang pasti, kejahatan atau kebaikan adalah juga soal perspektif. Sangat bisa jadi, semua orang, termasuk yang pada awalnya nampak jahat, merasa berbuat baik karena mereka punya alasannya sendiri. Inilah yang disajikan oleh Imperfect dalam adegan-adegannya.
Saya sudah menduga bahwa film ini akan mengajak penonton untuk menjadi lebih bijak menerima diri sendiri. Meski begitu, penonton tentu penasaran bagaimana caranya menyajikan pesan itu. Ernest pastilah bekerja sangat keras untuk menyajikan pelajaran itu dengan alami. Maka ketika Rara mengatakan “cantik juga belum tentu bahagia”, kalimat ini begitu kuat karena memiliki dasar yang solid dan tidak hanya sekedar ucapan klise yang semua orang sudah sering dengar.
Jika ada satu hal yang menurut saya masih bisa ditingkatkan kualitasnya, itu adalah kealamian penyelesaian konflik klimaks antara Rara, Ibunya dan Lulu, adiknya. Prosesnya sudah sangat bagus, hanya saja saya berharap proses yang lebih panjang dan rumit sampai akhirnya hadir sebuah solusi. Mungkin karena saya sudah tua dan mengalami sendiri konflik keluarga yang tidak mudah diselesaikan. Setidaknya, tidak semudah itu Ferguso.
Kulminasi keseluruhan film memang tegas bahwa ketidaksempurnaan adalah serpihan-serpihan yang pada akhirnya mewujukan kesempurnaan. Kalau saya ditanya, apakah film ini layak ditonton, maka tangisan Lita, anak saya, di akhir film adalah penegasan akan rekomendasi itu. Selamat menjelajah untuk menerima serpihan-serpihan ketidaksempurnaan diri lalu merajutnya menjadi kesempurnaan. Kita ubah insekyur menjadi bersyukur.