Tanggal 5 Desember 2019 lalu saya mendapat kehormatan untuk tampil dai Bali Democracy Forum (BDF). Ini adalah sebuah kejutan yang datang begitu tiba-tiba. Jika tidak boleh mengatakan kebetulan, maka pastilah kesempatan ini datang karena keisengan semesta yang ingin bersenda gurau.
Saya mendengar nama “Bali Democracy Forum” (BDF) ini sudah lama sekali. Ketika Pak Hassan Wirajuda menjadi menlu, BDF ini digagas. Sebuah perhelatan besar tingkat dunia, saya pikir. BDF juga jadi tonggak sejarah penanda kontribusi Indonesia bagi dunia dalam hal demokrasi. Sebagai negara yang demokrasinya baru berusia 3 tahun saat itu, Indonesia telah menggebrak dengan satu forum yang mentereng.
Keberanian Indonesia menyelenggarakan BDF ini mengingatkan saya pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang diselenggarakan Bung Karno ketika Indonesia baru merdeka 10 tahun. Kita adalah bangsa yang tidak saja peduli pada bangsa sendiri tapi juga dunia. Usia boleh muda tetapi kepedulian pada hal lain di luar diri menjadi penanda ‘kedewasaan’ dalam sikap. Demikianlah Indonesia kita.
Tahun 2019 ini, BDF berusia 12 tahun. Acara akbar ini mempertemukan pemimpin dan ahli dunia untuk bicara soal demokrasi. Salah satu sesinya bertajuk Inclusive Economy dan saya menjadi salah satu panelis di acara itu. Kok bisa? Exactly, my question. Kok bisa saya ada di forum itu? Apa kaitannya surveyor dengan ekonomi? Sejak kapan saya pura-pura ahli ekonomi?
Rektor UGM yang sebenarnya diundang ke Bali untuk BDF. Di sana akan ada acara penandatanganan Nota Kesepahaman antara Kementerian Luar Negeri, Non Alignment Movement Center, dan UGM. Pasalnya, UGM dipercaya untuk menjadi salah satu mitra dalam penyelenggaran pendidikan bagi warga negara anggota Gerakan Non Blok. Tentu saja saya mendapat tugas untuk menyiapkan kerja sama itu karena mandat saya di Kantor Internasional UGM. Selain melakukan tanda tangan, Rektor UGM juga dimohon menjadi salah satu panelis di sesi Inclusive Economy ini.
Rektor UGM ada kegiatan yang sudah dijadwalkan sebelumnya sehingga tidak bisa datang ke BDF. Maka beliau mengutus Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni. Sesuai tradisi, jika seorang pejabat tinggi menghadiri satu acara maka harus didampingi oleh orang yang memahami teknis rinci acara dan kerja sama tersebut. Dengan kata lain, kalau ada pejabat tinggi, harus ada seorang abdi yang mendampingi. Sayalah abdi itu. Yang menarik, Bapak Wakil Rektor harus segera kembali ke Jogja siang hari. Sementara itu, sesi Inclusive Economy akan berlangsung siang jam 1.30pm. Maka satu-satunya orang yang bisa dijadikan ‘tumbal’ adalah abdi tersebut. Demikianlah ceritanya mengapa saya ‘terjebak’ menjadi panelis di sesi Inclusive Economy.
Tentu saja saya sudah tahu skenario ini sebelumnya. Tepatnya dua hari sebelumnya. Bagaimana menyiapkan diri selama dua hari saja untuk berbicara hal yang saya tidak kuasai dengan baik? Sebenarnya panik juga tetapi akhirnya saya memilih untuk tenang saja. Saya bukan ahli ekonomi tetapi saya adalah pihak yang terlibat atau setidaknya jadi ‘korban’ ekonomi. Mengapa tidak bicara saja dari sudut pandang yang saya pahami? Selain itu, saya seorang guru yang bertugas mendidik para calon pelaku ekonomi di berbagai sektor, saya tentu bisa bicara dari sudut pandang seorang guru. Maka saya memilih untuk menghadapi dengan berani. Toh bicaranya hanya lima menit di depan. Saya akan tampil alami saja, tanpa pura-pura jadi ahli.
Ada empat pertanyaan yang diberikan oleh panita: 1) pandangan akademisi terkait inclusive economy, 2) tantangan penerapannya, 3) langkah apa yang harus dilakukan pemerintah/swasta, dan 4) apa korelasi inclusive economy dan demokrasi. Empat pertanyaan mematikan jika dipikir serius banget. Namun saya memutuskan untuk tampil alami saja. Semua itu common sense saja. Hasil rapat, membaca, dan terutama bertemu dan berdiskusi dengan banyak orang selama ini sebenarnya telah membekali saya dengan pemahaman umum tentang hal-hal ini. Maka maju tak gentar saja.
Satu hal serius yang saya lakukan adalah meminta pandangan teman saya di KUI UGM, Maisya Farhati, tentang empat pertanyaan tersebut. Maisya berpendidikan formal ekonomi dan sempat mengenyam S2 di Belanda. Dia pasti punya pandangan baik. Dalam beberapa menit dia menyajikan beberapa ide cerdas dan itu menjadi titik awal yang baik bagi saya tampil di Bali. Berbekal itu, saya kemudian menyiapkan presentasi untuk durasi lima menit.
Ketika saat itu tiba di Bali, saya agak tegang. Ada 12 pembicara yang mumpuni. Selain ahli, hampir semuanya praktisi yang pilih tanding. Ada dari Bukalapak, ada juga orang Traveloka. Ada orang PBB, ada juga organisasi internasional lainnya. Di sisi lain Ada BI, ada juga petinggi BRI. Ada rector ada juga direktur. Di sela-sela mereka, terselip seorang surveyor pemetaan yang tergagap-gagap karena merasa salah tempat. Seorang pembelajar dan praktisi posisi yang merasa ‘salah posisi’.
Maka andalan saya tentu saja peta. “I will focus on the challenges on implementing inclusive economy” demikian saya memulai hal serius. Sebelumnya saya bergurau “I am a professor so I cannot say anything without my slides” karena tidak semua pembicara sebelumnya menggunakan slide. Peta yang saya tunjukkan adalah yang biasa saya sajikan di banyak presentasi saya. Peta perbandingan antara Indonesia dengan benua Eropa, Amerika dan Australia. “Indonesia is a large country. We are talking about a country the size of which is as large as the entire Europe. We are a country with the fourth largest population in the world. Imagine the challenge we have in implementing inclusive economy.” Nampaknya hadirin cukup menerima gagasan itu.
Maka di detik-detik berikutnya saya hanya melihat tayangan berkelebat-kelebat berpadu dengan kata-kata yang meluncur dari mulut saya. Mulut seorang surveyor yang mencoba bercerita soal ekonomi. Terkait dengan inklusivitas, saya ceritakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) UGM dan bagaimana awal mula KKN terjadi. Yang ingin saya sampaikan, KKN yang dilakukan dengan perencanaan dan keseriusan adalah bentuk dari usaha mendorong inklusivitas dalam pendidikan dan ekonomi.
“A student by the name of Koesnadi Hardjasoemantri served as a volunteer from UGM to be a teacher in Kupang. It was 1952 when UGM was only 3 years old. Thirty some years later, Koesnadi became a Rector of UGM. One of the most prominent ones. In a rural village in Kupang, Koesnadi met a boy who he thought very smart, considering all the limitation the boy was facing. Koesnadi had an unprecedented idea to bring the boy to UGM to study. The wild idea was embraced by the then rector, Prof. Herman Johannes and the boy studied at the Faculty of Economics. Later we know, the boy was Adrianus Mooy, a Governor of the Indonesian Central Bank. That was a starting point of inclusive economy. Inclusive Economy starts from Inclusive Education.” Demikian saya mengakhiri.
Di depan saya ada seorang lelaki yang sudah cukup matang mengangguk-angguk, tanda beliau tahu benar cerita itu. Maka setelah itu mengalirlah diskusi. Saya yang tadinya merasa di situ sebagai akibat dari satu kecelakaan, akhirnya merasa bersyukur. Bersyukur karena bisa belajar, bersyukur karena bisa berperan. Tidak jarang, peran pertama memang datang dengan cara tiba-tiba. Mungkin bukan suatu kebetulan, karena semesta pasti punya rencana, tetapi sejujurnya, banyak hal baru memang terasa seperti kecelakaan.