Saya diminta jadi moderator Direktur Utama (Dirut) PT. Perusahaan Gas Negara (PGN) tanggal 15 Agustus 2019. Seperti biasa, saya siapkan dengan baik. Saya pelajari CV Pak Gigih prakoso, Dirut PGN, dengan seksama. Saya sudah pastikan kalimat-kainat yang akan saya ucapkan dari awal sampai akhir. Membukanya, guyonnya, tanya jawabnya, penutupnya juga. Apalagi selevel Ditektur Utama BUMN, persiapannya tidak boleh main-main.
H-1, saya sampai rela dari bandara langsung ke lokasi acara untuk briefing dan persiapan. Malam itu saya pulang dari Pulau Sebatik untuk KKN. Saya pastikan semuanya. Materinya, urutan acara, dll. Intinya, persiapan yang all out.
Di hari H, banyak hal yang terjadi. Ada banyak acara sebelum giliran Pak Dirut berbicara. Saya mulai mencatat beberapa poin yang akan bisa dijadikan bahan. Prinsip saya, akan jauh lebih bagus jika moderator bisa mengaitkan materi yang dipandunya dengan apa yang terjadi dalam acara sehingga penonton bisa lebih mudah ‘terlibat’ dan ‘relate’. Dengan tertib saya catat semua tapi tidak akan saya gunakan semua karena saya sudah siapkan materi utama sejak beberapa hari.
Tiba-tiba Pak Dirut naik panggung dan langsung presentasi. Menurut rencana sebelumnya, saya harus memperkenalkan dan memberi ucapan pengantar sebelum beliau presentasi. Namanya juga moderator. Perubahan tiba-tiba itu membuat saya terkejut dan panik karena tidak diberitahu sebelumnya. Saya duga, acara diubah tanpa sepengetahuan saya. Yang lebih parah, rupanya acara tidak jadi menggunakan moderator dan saya tidak diberitahu.
Ada perasaan tidak nyaman dengan situasi itu. Kecewa tentu ada. Saya paham jika acara diubah dan saya tidak dibutuhkan lagi tapi setidaknya harus memberi tahu. Demikian saya berpikir sendiri. Sayapun mengirim pesan kepada tiga orang panitia sekaligus. Dua orang nampak tidak tahu persis apa yang terjadi dan ikut ‘bingung’. Saya makin nggak yakin.
Panitia yang lain meyakinkan, ternyata saya tetap akan maju setelah Pak Dirut selesai presentasi. Energi negatif dalam diri saya mengatakan ‘mungkin sebenarnya saya tidak diharapkan tapi karena tidak enak, mereka menghibur saya dengan tetap memanggil saya naik panggung setelah Pak Dirut bicara’. Energi seperti ini merusak. Saya jadi tidak begitu bersemangat. Sikap dan raut muka saya mungkin turut berubah juga.
Sayangnya saya tidak punya pilihan lain. Sebenarnya ada godaan untuk sekalian menolak jadi moderator tapi rasanya tidak bijaksana. Maka saya mulai kendalikan diri. Saya simak instruksi panitia dengan baik meskipun masih setengah ‘curiga’. Begitu saya baca pentunjuk lewat WA satu per satu dan pelan-pelan, saya merasakan keseriusan. Bahwa acaranya memang disiapkan demikian. Bahwa saya memang tampil setelah presentasi Pak Dirut untuk mewawancarai beliau. Nampaknya panitia memang sudah siap dengan skenario itu. Masalahnya cuma satu dan kecil, saya tidak diberitahu. Mungkin mereka tidak sempat. Lagipula, sebelum acara saya juga menemui tamu jadi tidak sempat berkoordinasi lebih lanjut. Saya mencoba menemukan alasan pembenar sekaligus untuk menghibur diri.
Bagi saya jadi moderator itu sama sulitnya dengan pembicara. Persiapannya harus juga sangat matang. Maka apa yang sudah saya siapkan jadi bubar. Saya bersiap untuk mengantarkan presentasi dari awal tapi ternyata saya akan masuk di akhir hanya untuk wawancara dan memandu tanya jawab. Ini dua hal yang berbeda dan perlu persiapan tersendiri.
Waktu saya tidak banyak karena Pak Dirut nampaknya akan segera selesai. Maka saya perhatikan betul presentasi beliau dan tidak henti-hentinya diskusi dengan panitia lewat WA. Banyak poin yang harus saya sampaikan dalam waktu singkat. Ruang improvisasi sepertinya tidak terlalu lebar. Saya segera meneliti kembali poin-poin yang sudah dicatat sebelumnya dan bertekad menjadikan beberapa hal sebagai bahan. Tentu berbeda dengan rencana semula.
Dalam suasana yang masih agak panik, Pak Dirut selesai presentasi dan dada saya berdebar-debar kencang. Ini hal pertama yang harus saya kelola. Saya melihat petugas membawa dua kursi tinggi ke atas panggung dan MC segera mengambil alih acara. MC meminta Pak Dirut tidak turun dulu karena akan ada talk show. Yang menarik, MC mengatakan “tapi karena topiknya kayanya berat, kita nggak sanggup memandu. Untuk ini kita akan undang seorang moderator yang tepat. Kita sambut Dr. I Made Andi Arsana”. Apa yang dikatakan MC sangat membantu saya untuk segera menguasai panggung. Rupanya sebagian dari peserta sudah mengenal saya, mungkin dari medsos, sehingga tepuk tangan jadi cukup meriah. Ini juga membantu saya untuk mengumpulkan energi positif.
Maka beranjaklah saya ke atas panggung dan mulai menguasai diri seraya duduk di kursi yang ternyata bisa berputar. Tidak begitu nyaman karena agak susah memastikan arah dan orientasi tubuh saya. Kursinya seakan bisa muter tiba-tiba sehingga saya harus berkali-kali memperbaiki posisi. Ini tantangan lain yang harus diatas tapi saya harus tampil baik. Jangan sampai nampak katrok karena tidak terbiasa duduk di kursi yang bisa muter.
Sementara itu, saya harus mulai beraksi. Saya membuka dengan [kurang lebih] “luar biasa, tepuk tangan dong untuk Bapak Direktur Utama PGN”. Prinsipnya, membuka dengan pujian selalu aman dan berhasil. “Tadi saya sempat khawatir ketika Pak Rektor nyanyi, Pak Dirut. Saya pikir Bapak dan saya harus bernyanyi juga” demikian saya buka untuk mencairkan suasana. Pak Rektor UGM memang bernyanyi ketika memberi sambutan tadi. Sebuah pendekatan yang baru dan bagus.
Pertanyaan pertama saya sebenarnya berdasarkan ‘instruksi’ panitia. “Tadi Bapak memaparkan bahwa PGN adalah tempat bekerja yang sangat baik. Di sisi lain, kami juga mengajarkan mahasiswa kami untuk menjadi seorang entrepreneur, yang artinya tidak bekerja pada sebuah perusahaan. Bagaimana mereka bisa tetap bekerja sama dan mendapat manfaat serta berkontribusi bagi PGN Pak?” Pertanyaan ini untuk mengarahkan bahwa PGN bukan hanya tempat bekerja tetapi juga merupakan mitra strategis masa depan. Pak Dirut jadi berkesempatan untuk menjelaskan semua itu dengan lebih leluasa.
Saya menggunakan pendekatan serius dan tidak serius secara bergantian. Setelah beliau menjawab satu pertanyaan serius, saya selingi dengan intermezzo. Saya membahas bahwa beliau adalah alumni UGM untuk S3nya dan saya tegaskan itu dilakukan di dua negara sekaligus yaitu di UGM dan sebuah Universitas di Amerika Serikat. “Tepuk tangan dong, keren banget kan!” kata saya mengajak hadirin untuk terlibat. Saya sambung “tapi tentu saja kehebatan beliau bukan karena S3 saja. Beliau adalah lulusan IPB untuk S1-nya. Tepuk tangan dong buat IPB” dan disambut tepuk tangan meriah oleh hadirin. Sebagian dari mereka mungkin tidak sadar memberikan sambutan begitu hangat kepada institusi lain. Momen itu sudah saya siapkan untuk menyampaikan sesuatu yang penting dan menggelitik. “Nah ini ciri-ciri mahasiswa Jogja, Pak Dirut. Mereka diajarkan bangga pada almamater sendiri tetapi tidak pernah membenci almamater orang lain” dan itu tentu saja disambut tepuk tangan meriah semua orang. Saya lihat Pak Paripurna, Wakil Rektor UGM, turut tertawa dengan guyon menggelitik itu.
Guyon positif itu saya sambung dengan sesuatu yang agak sarkas “ya meskipun gajinya nggak sampai delapan juta, sih Pak”. Maka meledaklah tawa dan gemuruh tepuk tangan serta teriakan gaduh penuh makna. Yang mengikuti media sosial tentu tahu cerita alumni UI yang virasl soal gaji 8 juta. Saya lanjutkan “dari reaksi penonton, kita bisa tahu mana yang gaul mana yang tidak, Pak Dirut. Para mahasiswa heboh tapi bapak ibu dosen di depan tenang. Saya tahu, beliau-beliau nggak ngerti guyon ini. Maklum, mereka tidak pakai medsos, sih” dan tentu saja hadirin tertawa heboh. Sementara beberapa dosen di depan tertawa tidak ikhlas. Guyon seperti ini sebenarnya berisiko tetapi saya ambil risiko itu untuk efek maksimal. Hasilnya baik-baik saja.
“Tapi tidak semua dosen gagap medsos” saya lanjutkan. “Di sini ada Pak Dekan Sekolah Vokasi, Pak Wikan. Beliau aktif di medos. Tepuk tangan dong buat Pak Dekan kekinian.” Penonton tepuk tangan dan nampak jelas dari tepuk tangan mereka, sebagian penonton adalah followers Pak Dekan di medsos. “Pak Wikan adalah dosen UGM dengan followers IG paling banyak” kata saya dan sengaja saya potong beberapa detik sehingga memberi kesempatan penonton untuk tepuk tangan. Kemudian saya lanjutkan “nomor dua” lalu jeda lagi sebelum saya teruskan “ya, kalau yang nomor satu, saya tidak perlu jelaskan dong” sambil memasang senyum yang dibuat sesombong mungkin. Guyon ini bekerja dengan sangat baik, tentu saja karena Pak Wikan adalah sahabat baik saya. Saya merasa benar-benar telah menguasai panggung dan hadirin dengan sangat baik. Maka saya siap melanjutkan tugas sebagai moderator.
Saya melanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan serius seperti tantangan mentransformasi PGN menjadi sebuah tempat kerja yang ramah milenial dan peluang kerja bagi lulusan dari universitas yang reputasinya tidak begitu tinggi. Pak Gigih menjelaskan dengan baik dan nampaknya menikmati percakapan itu. Saya sudah diberi masukan oleh panitia sejak awal bahwa beliau termasuk orang yang serius dan tenang sehingga perlu dipancing agar bisa ‘engage’. Saya pikir beliau lebih enak diajak interaksi dibandingkan bayangan saya.
“Pak Dirut, tadi saya minta warganet untuk mengajukan pertanyaan di IG saya. Sekarang saya bacakan.” Saya berpura-pura melihat HP lalu memilih sebuah pertanyaan. “Berapa nomor HP Mbak Sari yang ada di video PGN tadi?” Saya sengaja bertanya begitu untuk intermezzo. Tadi memang ada video yang menceritakan kehidupan karyawan PGN dan salah satu modelnya adalah seorang perempuan cantik lulusan UGM. Nama perannya Mbak Sari. Yang menarik, setelah video diputar, dia juga muncul di panggung sehingga penonton bisa melihat aslinya. Guyon itu berhasil membuat penonton melek. Saya lanjutkan “mohon maaf ni Pak Dirut, terus terang menurut saya, mbak Sari ini lebih cantik aslinya dibandingkan di video”. Dan meledaklah tawa hadirin. Yang menarik, beliau merespon spontan “wah tadi Pak Parip juga bilang begitu”. Rupanya selera saya dan Pak Paripurna sebelas-dua belas.
Saya paham, guyon seperti ini berisiko. Saya ambil risiko itu dengan pertimbangan-pertimbangan. Saya yakin, guyon saya itu sebenarnya mewakili pikiran sebagian besar penonton. Mengapa Wimar Witoelar bagus? Mengapa Oprah Winfrey bagus? Mengapa Ellen DeGeneres bagus? Mengawa Najwa Shibah bagus? Karena mereka menanyakan sesuatu yang semua orang ingin tanyakan tetapi tidak berani atau malu atau merasa tabu. Moderator yang baik adalah yang berani dan mau menjadi penyambung ‘kegelisahan’ atau perasaan penontonya, meskipun itu untuk hal-hal yang kecil dan tadinya dianggap ‘tidak penting’ atau ‘tidak nyambung’ dengan topik diskusi. Yang pasti, menyampaikan semua itu bisa membantu moderator untuk mendapat kepercayaan penonton. Menurut saya begitu.
Tidak terasa, waktu terus berjalan dan kian sedikit sisanya. Saya sempatkan untuk menerima pertanyaan dari penoton dan juga dari warganet. Saya membacakan dua pertanyaan dari IG question saya dan dijawab dengan baik oleh Pak Gigih. Saya sengaja memasukkan adegan membaca pertanyaan dari IG agar kesan millennial dan modern serta gaul lebih terasa.
Saya tutup denga menyimpulkan bahwa PGN paling tidak punya tiga peran yaitu sebagai integrated company di bidang distribusi gas, sebagai tempat kerja yang sangat keren, dan sebagai mitra strategis di masa depan. “Mohon izin mengutip sebuah ungkapan dari Marcel Proust, Pak Dirut. ‘the real voyage of discovery consists not in seeking new landscape but in having new eyes’, bahwa penemuan sesungguhnya itu bukan soal menemukan hal baru tetapi soal memiliki mata dan sudut pandang baru. Pak Gigih baru saja meminjamkan mata baru bagi kita semua sehingga sekarang kita bisa melihat Indonesia dengan lebih baik dan lebih jernih. Kita beri tepuk tangan dan sampaikan terima kasih kepada Bapak Direktur Utama PGN, Dr. Gigih Prakoso.” Acara berakhir dengan tepuk tangan meriah.
Saat berjalan menuju kursi, saya mendapat sebuah pesan di WA dari panitia “Kerenn Terima kasih bpk”. Bagi saya, itu cukup.
Sangat menarik. Baca dari awal sampai akhir. Deskriptif banget, walaupun gak hadir dsana, tpi bisa merasakan suasananya.