Hidupmu sudah berakhir. Kamu tidak punya masa depan. Kamu tidak pantas hidup. Kamu sangat memalukan. Kamu mengecewakan orang tuamu dan terutama kamu mengecewakan dirimu sendiri. Jadi, tidak ada gunanya kamu membaca tulisan ini. Berhentilah sampai di sini. Tulisan ini tidak berguna utukmu, seperti kamu yang juga tidak berguna sama sekali.
Okay, kamu masih membaca sampai di sini. Mungkin kamu tidak begitu percaya dengan apa yang kamu baca di atas. Mungkin juga kamu merasakan kebenaran dan kamu hanya ingin mengkonfirmasi apa yang kamu rasakan selama ini. Tulisan di atas memang benar. Benar jika kamu mengizinkannya menjadi benar. Sebelum itu, mari kuperdengarkan cerita.
Aku punya seorang kawan baik. Dia lulusan Universitas Widya Mandira, sebuah perguruan tinggi kecil swasta di Kupang. Jika kamu tinggal di luar Kupang, mungkin kamu belum pernah mendengar nama universitas tersebut. Universitasnya tidak terkenal. Mungkin karena belum ada alumninya yang menjadi menteri atau presiden. Tapi mungkin juga karena alumninya tidak pernah menolak gaji 8 juta, atau tidak ada kasus pelecehan seksual, atau tidak ada mahasiswanya yang meninggal saat ospek, atau tidak ada deklarasi gerakan radikal di kampus itu. Entahlah!
Beberapa tahun lalu aku melihat sendiri dia memegang rangkaian bunga karena berhasil menyelesaikan S2 di University of New South Wales di Sydney, salah satu Universitas terbaik di Australia. Dia bersekolah tanpa biaya karena mendapatkan Beasiswa Australia Awards. Saat tulisan ini kamu baca, dia sedang menyelesaikan S3-nya di Inggris.
Aku punya sahabat lain. Dia lulusan D3 di sebuah akademi swasta kecil di Jogja. Saat tulisan ini kamu baca, kampusnya sudah tidak ada karena tidak jelas nasibnya. Dengan statusnya yang jauh dari mentereng, kawanku ini mendapat kesempatan untuk menjadi asisten di UGM. Kok bisa, seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta menjadi asisten dosen di UGM? Bisa, karena dia tidak percaya dengan paragraf pertama tulisan ini.
Saat kamu belum percaya pada tulisan ini, dia sedang mengajar mahasiswa program master di UGM dan pada identitasnya bertuliskan “Ph.D” di belakang namanya. Dia mendapat beasiswa untuk S2 dan S3 dari pemerintah Australia dan hingga kini masih terus menulis dan memaparkan gagasannya di forum-forum mentereng di Asia, Eropa dan Amerika Serikat. Pada saat kamu masih merenung dan belum sepenuhnya percaya, dia sudah mengajak muridnya yang ‘ndeso’ untuk presentasi di Taiwan lalu salah satunya dinobatkan sebagai yang terbaik.
Seorang kawan lain lulusan sebuah PTS di Malang. Aku mengenal dia karena namanya begitu harum sebagai seorang ahli. Dia menyelesaikan pendidikan di Melbourne dengan beasiswa yang disediakan oleh pemerintah Australia. Saat kamu membaca tulisan ini, dia mungkin sedang giat menyosialisasikan sebuah aplikasi yang dia ciptakan untuk menolong umat manusia yang hidup dalam radius bahaya gunung berapi. Pemerintah Australia tetap mendukungnya untuk berkarya meskipun dia telah menyelesaikan pendidikan formalnya di Australia. Dalam hal teknologi tepat guna, lelaki ini telah berbuat banyak. Lebih banyak dari aku, seorang lulusan universitas yang konon nomor satu di Indonesia.
Di Wollongong, ketika sekolah S3 selama beberapa tahun, aku bergaul dengan banyak mahasiswa asal Indonesia, S2 maupun S3. Sebagian dari mereka adalah lulusan universitas kecil dan belum pernah aku dengar namanya di Indonesia. Yang tidak akan pernah aku lupa, banyak sekali dari mereka yang bisa bekerja lebih cekatan dan lebih baik dari aku. Seorang lulusan universitas swasta di Jogja begitu inspiratif kiprahnya dalam organisasi, jauh melebihi kami yang lulusan Universitas ‘besar’ di Indonesia. Tidak sedikit dari alumni Universitas ‘tak terdengar’ itu kemudian berprestasi lebih baik dari yang menyandang status alumni universitas terbaik atau tertua atau terbesar di Indonesia. Aku bertemu seorang alumni universitas di Kalimantan yang menjadi kontributor The Jakarta Post dengan opini-opininya yang cemerlang.
Di situ aku berpikir ulang. Status alumni universitas keren sesungguhnya tidak membawaku ke mana-mana. Yang memberi kesempatan kepada seseorang adalah usaha dan kerja keras serta sikap hidupnya yang baik, bukan selembar ijazahnya. Google dan IBM bahkan pernah menyatakan bahwa mereka tidak perlu ijazahmu. Mereka perlu skillmu. Maka dosen dan universitas tak pernah boleh merasa penting dan sok bisa menentukan masa depanmu. Kamu yang menentukan masa depanmu sendiri.
Ini tahun 2019. Dunia berubah begitu jauh. Lokasi sekolah bukan lagi penentu satu-satunya jadi siapa dan jadi apa kamu di masa depan. Kamu yang kuliah di sebuah universitas kecil tak terdengar di Paser, Kalimantan Timur, membaca tentang sebuah kejadian di Haiti dari sumber yang sama dengan yang dibaca anak-anak Harvard, MIT, Oxford, Cambridge. Bahkan mungkin di menit yang sama, karena andalan kalian sama yaitu media sosial. Memang aku tidak akan mengatakan bahwa kalian pasti sama pintarnya tetapi jika sumber bacaan dan pembelajaran yang tersedia sama, mengapa kalian boleh merasa pantas lebih bodoh dari mereka?
Aku masuk Teknik Geodesi yang sangat sulit dijelaskan kepada orang biasa. Pernahkah kamu membayangkan menjadi aku, ketika setiap orang bertanya hingga dua atau tiga kali saat ingin tahu aku kuliah di jurusan apa? Bisakah kamu membayangkan betapa tidak mudahnya meyakinkan calon mertua, terutama ketika anaknya yang aku pacari kuliah di Fakultas Kedokteran UGM?
Menyandang status sebagai mahasiswa dengan jurusan kuliah yang aneh, nggak keren, nggak terkenal, membuatku belajar banyak. Kita tidak boleh berangkat dari egoisme pribadi bahwa bidang ilmuku ini penting dan bermanfaat. Ternyata kita harus berangkat dari sebuah ‘musuh bersama’, dari sebuah isu umum yang menjadi perhatian umat manusia. Dengan mempelajari isu umum itu kemudian kita tahu secara rinci bagian-bagian yang membentuk bangunan utuhnya. Dari situ kemudian aku menemukan posisi dan peran ilmuku.
Maka kemudian aku tidak mengatakan “aku mengukur panjang dan lebar bidang tanah dengan metode tachymetri dengan memastikan dimensi jarak memenuhi toleransi kerangka kerja”. Karena tahu isu besar dan ‘musuh bersama’, aku mengganti ceritaku menjadi “aku mendukung usaha pemerintah untuk memberi kepastian hukum atas kepemilikan tanah di Indonesia dengan memastikan luas dan posisi bidang tanah. Dengan kepastian ini maka iklim investasi bisa ditingkatkan sehingga ekonomi jadi menggeliat lebih baik”.
Aku belajar bahwa dalam sebuah bangunan, tidak semuanya bisa menjadi atap yang nampak berjasa atau pilar berukir yang berwibawa. Sebagian lain harus mau menjadi batu fondasi tersembunyi di bawah tanah dan tak dipuji perannya. Aku belajar membedakan ‘menjadi berguna’, dengan ‘mengaku berguna’.
Buat kamu yang tidak bisa masuk kampus impian saat ini, mungkin 10-20 tahun lagi temanmu akan menulis tentangmu. Apakah mereka akan membenarkan paragraf pertamaku di tulisan ini atau menulis paragraph berbeda? Karena kamu membaca tulisan ini sampai selesai, aku yakin kamu akan membantu mereka untuk kelak menulis sepotong inspirasi tentangmu untuk anak cucumu.