Kemarin saya menemukan sebuah piagam lama yang umurnya sudah lebih dari dua dekade. Di piagam itu bertuliskan “Juara II” dalam rangka pemilihan siswa teladan di Kota Denpasar. Ingatan saya melambung ke masa lalu dan tiba-tiba potongan-potongan fragmen hidup seperti diputar ulang meskipun acak dan tidak kronologis.
Orang pertama yang saya ingat adalah dia yang memperoleh “Juara I”. Tak lain dan tak bukan, lelaki itu adalah Kadek Dian Sutrisna, siswa SMA 1 Denpasar. Konon, final sejati pemilihan siswa teladan Bali berlangsung di tingkat kabupaten/kota, tepatnya di Kota Denpasar. Mereka yang memenangkan kompetisi ini dipastikan melaju ke Jakarta. Dek Dian, dengan meyakinkan, memastikan tiket untuk ke Jakarta, bahkan sebelum berlaga di tingkat Provinsi Bali. Benar saja, beberapa bulan kemudian, Dek Dian mewakili Bali di Jakarta.
Ada hal-hal di luar perihal kompetisi yang saya ingat dari kejadian 24 tahun silam itu. Tanpa pikir panjang, saya pun memotret piagam itu dan mengirimkannya ke Dek Dian yang kini ada di Belanda. Dek Dian selalu hebat dari dulu sampai sekarang. Pertemuan saya dengan orang-orang yang mengenalnya mengkonfirmasi semua itu. Suatu hari saya bahkan mendapatkan surat dari Kepala LPEM Universitas Indonesia dan ternyata yang menandatangani adalah Kadek Dian yang saya kenal. Ketika foto piagam itu saya kirim ke Kadek, dia sedang ada di Belanda. Tidak untuk kuliah atau yang lain tapi untuk mengajar. Keren sekali!
“Rela menyerah kalah jak [sama] kamu Dek” tulis saya saat mengirim piagam itu. Niat saya hanya iseng saja, mengajaknya bernostalgia sejenak. Beberapa menit kemudian Dek Dian membalas “wah Ndi masih nyimpen piagamnya. Rage [saya] kebetulan gen waktu itu Ndi. Andi lah pemenang sebenarnya. Karena lomba itu kita bisa kenal. Seneng kenal sama Andi. Pas pulang dari lomba kita sempat ngobrol2 ya”. Jawaban Dek Dian tidak saya duga seserius itu. Saya yakin di situ ada basa-basi positif tapi Dek Dian adalah orang baik. Saya menghargai ucapan-ucapannya.
“Haha Dek Dian memang terbaik lah hehe” tulis saya menjawab responnya. Lalu saya lanjutkan “Rage inget Dek nganter kami pulang ke Trisma [SMA 3 Denpasar] naik mobil. Thank you Dek. Kompetisi tidak harus memutus pertemanan. Teladan!”
Mereka yang berasal atau pernah tinggal di Bali akan paham betapa ketatnya persaingan SMA 1 dan SMA 3 Denpasar, terutama di tahun 1990an. Keduanya seperti ‘bermusuhan’ sangat sengit dalam berbagai hal. SMA 3 terkenal dengan ‘kesederhanaannya’ karena naik sepeda, SMA 1 terkenal dengan ‘kemewahannya’ karena banyak siswanya yang bermobil. Menariknya, keduanya bersaing secara akademik maupun non akademik. Keduanya seperti musuh bebuyutan.
Maka ketika Dek Dian menawarkan pada saya dan Nurshanti (pasangan siswa teladan Trisma) untuk diantar pulang ke SMA 3 dengan mobilnya, saya merasa sedikit aneh sekaligus terharu. Maka melajulah kami dari lokasi lomba ke SMA 3 Denpasar dengan mobil Kadek Dian yang disupirinya sendiri. Beberapa menit lalu kami berkompetisi sengit dan saat berikutnya kami berkelakar di mobil. Perlu kebesaran hati untuk menawarkan bantuan kepada orang yang menjadi rival kita. Dan saya sendiri belajar kelapangan hati untuk menerima bantuan dari saingan terberat. Dilihat dari sisi lain, bantuan itu bisa saja ‘menegaskan’ persepsi yang selama ini beredar bahwa SMA 3 memang lebih ‘miskin’ dibandingkan SMA 1. Keputusan yang kami ambil waktu itu adalah pembelajaran yang penting bagi kedua sisi.
Saat ingatan saya melayang ke masa lalu, saya menerima sebuah balasan dari Kadek Dian. “Sama2 Ndi. Karena nganter Andi itu rage jadi ngerti bahwa rage hanya beruntung. Andi cerita kalo kos di Denpasar. Yen [kalau] rage [saya] keto [seperti itu], mungkin rage sing [tida] bisa melajah [belajar]” Jawaban ini membuat saya kagum karena Dek Dian masih mengingat hal-hal kecil dan detil dari percakapan kami. Konon, orang besar itu demikian: memikirkan hal besar, memperhatikan hal kecil. Lanjutan jawabannya membuat saya belajar lebih banyak. “Iya Ndi, pertemanan abadi. Kompetisi hanya bagian kecil dari hidup. Sukses terus dan selalu menginspirasi.”
Saya terdiam lama, mengamati jawaban itu dan membacanya berulang kali. Demikianlah seorang pemenang sejati. Dia tidak merendahkan, tidak mencibir, apalagi menghina. Semua itu membuat saya belajar bahwa kalah dalam kompetisi tak akan membuat seseorang jadi hina. Yang mungkin membuat dia hina adalah sikap dan tindakannya dalam menyambut kekalahan itu. Terima kasih Dek Dian.
Sangat menginspirasi pak. Konon, pemenang adalah pecundang yang mau mencoba sekali lagi.
Yes