Biasanya ibu saya bertanya soal pemilu. Lima tahun lalu beliau bertanya soal quick count, exit poll dan survei. Tidak mudah menjelaskan itu kepada seseorang yang hanya lulus SD di tahun 1960an tapi toh tetap harus saya lakukan. Jika saya, orang sekolahan yang sudah menghabiskan begitu banyak uang rakyat dunia untuk pendidikan, tidak bisa menjelaskan hal ini kepada ibu saya, tentu kepercayaan beliau terhadap pendidikan bisa runtuh.
Saya akan mulai dengan megingatkan ibu saya akan tugasnya di banjar sebagai tukang masak. Ibu saya biasa masak lawar, sayur khas Bali, untuk kerabat di kampung. Masaknya banyak dan tempat/wadahnya juga besar dan luas. Maklum, krama (penduduk) banjar yang makan bersama berjumlah puluhan atau bahkan kadang ratusan.
Saya tanya, bagaimana caranya agar ibu saya yakin lawar yang dibuatnya itu sudah enak. Ibu saya akan menjawab spontan, dengan cara mencicipinya. Saya akan bilang, sebenarnya, untuk yakin 100% bahwa semua lawar itu enak, maka ibu harus memakan semuanya. Tentu saja ibu saya terkejut karena tidak mungkin dimakan semua. Lawarnya sangat banyak. Selain itu, kalau tukang masaknya yang makan semua, krama banjar akan kelaparan. Saya akan bilang, karena kita tidak mungkin mengetahui rasa sayur dengan memakan semuanya maka kita mencicipinya.
Karena wadahnya besar, maka mencicipi lawar tidak bisa di satu pojok wadah saja. Harus diambil di beberapa titip di seluruh wadah untuk memastikan bahwa kita tahu rasa lawar secara keseluruhan. Makin banyak titik yang diambil dan makin rata sebarannya, maka makin yakin kita dengan rasa lawar kita. Makin banyak lawar yang kita ambil di setiap titik maka makin yakin juga kita akan rasa lawar itu. Ibu saya pasti paham banget penjelasan ini karena itulah yang beliau lakukan biasanya.
Ini mirip dengan penghitungan hasil pemilu. Yang terbaik adalah menunggu penghitungan semua suara untuk menentukan siapa presidenya. Masalahnya, kita juga ingin tahu hasilnya lebih cepat. Maka kita cek hasil pemilu itu di beberapa tempat. Misalnya, ada 800ribu lebih TPS di seluruh Indonesia, kita hanya cek di 2000-3000 TPS saja agar cepat. Jadi ada lembaga tertentu yang melakukan ini dengan cara mengirim orang-orangnya ke TPS tertentu untuk mengambil data hasil pencoblosan.
Di setiap TPS, tentu perhitungannya bisa cepat karena suaranya hanya puluhan atau ratusan sehingga segera ketahuan siapa pemenangnya. Karena perhitungannya bisa berlangsung cepat maka istilahnya adalah quick count! Ini Bahasa Inggris, quick artinya cepat dan count artinya menghitung.
TPS yang dipilih seperti halnya titik-titik tempat lawar yang dicicipi. Sebaran TPS juga harus merata, seperti halnya titik-titik mengambil lawar di wadah yang besar, juga harus merata. Tidak boleh hanya di pojok tertentu saja karena kita jadi tidak tahu rasa lawar di pojok lainnya.
Mungkin nggak quick count itu salah? Mungkin saja. Seperti nyicipin lawar, bisa saja kita pikir sudah enak dari proses mencicipi tapi ternyata proses mencicipi tidak merata. Atau ada adonan lawar yang tidak rata di pojok tertentu dan di sana ada gumpalan garam yang tidak teraduk sempurna. Jika bagian itu tidak sempat kita cicipi maka kita tidak akan tahu bahwa ada bagian lawar yang tidak enak. Tapi kalau tukang masaknya seperti ibu saya yang sudah pengalaman dan beliau perlu menjaga reputasinya sebagai tukang masak lawar di kampung, tentu akan sangat hati-hati. Kesalahan-kesalahan fatal biasanya sudah diantisipasi.
Jika pun sudah melakukan dengan sangat baik, apakah mungkin hasil mencicipi lawar ini tidak menggambarkan rasa lawar secara keseluruhan? Memang ada kemungkinan rasa asli lawar secara keseluruhan sedikit berbeda dengan yang dicicipi tapi tidak akan terlalu jauh. Kemungkinan perbedaan ini, dalam quick count, dinamakan margin of error. Mungkin salah tapi tidak akan fatal. Ingat, asalkan prosesnya benar, tidak dibuat-buat, dan tidak ada kebohongan.
Saya membayangkan, jika saja ibu saya tahu kutipan ternama AC Nielson Jr. yang berbunyi “If you don’t believe in random sampling, the next time you have blood test, tell the doctor to take it all”, beliau mungkin akan berkata “Biar yakin lawar ini enak, cicipi. Kalau kamu tidak percaya metode ‘pencicipan’, makanlah semuanya.”
Analogi yang sangat bagus dan sesuai Pak Andi. Mantap jiwa.👍👍👍
Semoga tidak ada lagi perpecahan lagi diantara kedua kubu, asalkan tidak ada kecurangan dalam perhitungan dan input data.