Memerdekakan Diri


Hari itu adalah kelas perdana saya di semester ini. Tidak main-main, saya mengajar Matematika Geodesi. Saya tahu, mata kuliah ini bukanlah mata kuliah yang ditunggu-tunggu oleh mahasiswa. Jika saja mata kuliah ini tidak wajib, mungkin hanya segelintir mahasiswa saja yang ada di kelas saya. Jika saya tanya tanggapan mereka terhadap mata kuliah ni, sebagian besar akan mengatakan “sulit” atau “menyeramkan”.

Merdeka
Perayaan Hari Merdeka di UGM

Saya persiapkan dengan baik. Baik sekali dan serius sekali. Mahasiswa mugkin tidak tahu, ketika merancang slide kuliah, saya merenung lama. Saya simulasikan apa yang akan terjadi, berusaha menebak respon mahasiswa dan melakukan mitigasi jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Saya yakin, pertemuan perdana itu penting. Dengan siapa kita bertemu di saat pertama belajar sesuatu bisa menentukan kecintaan atau kebencian kita pada sesuatu itu. Maka saya tidak main-main. Animasi saya siapkan, beberapa animasi tahun lalu saya sempurnakan. Slide yang menampilkan contoh usang saya ganti dengan yang kekinian dan contoh-contoh yang sudah tidak relevan saya hapus. Ketika saatnya tampil, saya ingin siap dengan totalitas tak tertandingi.

Cita-cita boleh tinggi tetapi ada banyak faktor yang menetukan keberhasilan. Itulah kalimat bijak yang tepat untuk menggambarkan situasi berikutnya. Saya lupa membawa charger laptop dan ternyata laptop itu tidak bisa beroperasi tanpa charger yang selalu dicolok ke listrik. Itu laptop inventaris Teknik Geodesi UGM. Persiapan saya agak buyar. Apa yang saya bayangkan akan lancar dan keren tiba-tiba tertahan kendala teknis. Greget inovasi pembelajaran yang sudah saya siapkan tiba-tiba luntur hampir lenyap.

Berusaha untuk menguasai keadaan, tiba-tiba saya punya ide lain. “Ada yang mau bantu saya mengambil charger di ruang pengajaran?” tanya saya tiba-tiba di tengah suasana kelas yang agak kelisah. Mahasiswa saya, seperti yang saya duga, bergumam dan menimbulkan kegaduhan kecil. Mereka saling lihat satu sama lain dan ada juga yang tersenyum tanggung, tidak yakin apa yang harus dilakukan. “Ada yang bisa bantu”? tanya saya lagi sambil terseyum dan membiarkan mereka mengambil keputusan tanpa intimidasi. Sayangnya, belum ada yang beranjak. “Okay, saya aja yang lari ke atas” kata saya santai dan melesat ke ruang pengajaran di lantai 2 untuk mengambil charger laptop.

Sejurus kemudian saya sudah ada di kelas lagi. Suasana hening, lebih sepi dari sebelumnya. Saya merasakan ada suasana bersalah atau takut atau khawatir pada mereka. Saya melanjutkan seperti biasa seakan tidak ada apapun. Saya tetap tersenyum, tetap berkelakar. Dalam beberapa menit, suasana kelas sudah kembali seperti semula. Saya tahu, mereka merasa bersalah karena tidak memenuhi permintaan saya tapi saya juga tahu, mereka dihinggapi kebingungan untuk memutuskan. Saya merencanakan hal lain ketika sadar bahwa kabel adaptor dari HDMI ke VGA tidak ada.

“Wah, ada kabel yang terlupakan. Ada yang mau bantu ambil di pengajaran?” kali ini saya sengaja lebih santai untuk memberi kesempatan kepada para mahasiswa untuk menolong saya. Mungkin belajar dari kejadian sebelumnya, dalam hitungan detik, ada orang yang berdiri, meskipun masih dengan canda tawa atau suara-suara yang jika didengar bisa jadi mengendorkan niat. Umum terjadi di kerumuman orang Indonesia, biasanya ada suara-suara tak jelas antara menggoda atau mencibir nakal jika ada orang yang tampil berbuat baik. Tidak begitu peduli, si mahasiswa pun lenyap dan melesat ke ruang pengajaran.

“Eh mumpung temenmu nggak ada, kita bicarakan dia yuk” kata saya berkelakar dan mahasiswa menyambut baik. “Saya penasaran. Tadi ketika saya minta tolong pertama kali, kenapa ya nggak ada yang berdiri dan menolong?” Saya tersenyum lebar ketika bertanya itu untuk memastikan bahwa mahasiswa benar-benar menganggap saya penasaran, bukan karena marah apalagi karena tersinggung. Demi menambah suasana dramatatis namun tetap segar, saya tambahkan “kan Agama mengajarkan kita harus menolong orang yang membutuhkan to?” sambil tertawa dan memberi nuansa guyon pada kalimat saya. Mahasiswa tertawa tetapi beberapa detik berlalu, belum ada yang menjawab tegas. Seperti yang saya duga, mereka bergumam lalu saling lihat satu sama lain. Saya paham sekali apa yang terjadi.

“Coba kutebak. Kalian tidak mau maju menolong saya karena alasan penting. Kalian tidak mau dibilang sok pahlawan. Kalian tidak mau kelihatan menonjol karena itu bisa berpotensi dituduh mencari perhatian oleh teman-teman kalian. Kalian juga tidak mau dituduh ‘menjilat dosen’ dengan memberi pertolongan. Kira-kira seperti itu lah. Bener kan?” sebagian besar dari mereka mengangguk dan tersenyum. Sebagian lain meringis seperti merasa ditelanjangi. “Ya bener Pak” kata beberapa orang dari mereka, mengkonfirmasi dugaan saya.

Saya tersenyum. Dugaan saya tidak salah. “Coba kita renung-renungkan”, kata saya dengan wajah hasil kombinasi serius dan guyon, “membantu orang yang sedang memerlukan adalah perilaku baik yang dibenarkan ajaran Agama manapun. Sayang sekali kalau kebenaran itu tunduk pada satu perihal: khawatir dituduh mencari perhatian.” Saya mengatakan itu dengan nada dan wajah playful karena ingin menghadirkan suasana santai meskipun yang saya obrolkan adalah hal yang serius. Saya tetap ingin merasa bahwa saya sedang guyon meskipun tentu saya punya tujuan yang lebih serius dari itu.

Saya gembira melihat wajah para mahasiswa mengangguk dan berbinar-binar. “Bayangin aja, kalau presiden kita takut berbuat baik gara-gara khawatir dituduh mencari perhatian. Bayangkan kalau anggota DPR kita tidak serius berbuat baik gara-gara takut dikira pencitraan. Bayangkan kalau Bupati kalian tidak jadi benerin jalan hanya gara-gara takut dituduh cari muka doang. Rugi besar kita!” Kelas diliputi tawa kecil dan suasana riuh rendah yang akrab.

Saya tidak menyimpulkan apa-apa, tidak menegur serius, apalagi memarahi mereka. Saya hanya bercerita. Tanpa harus dikatakan, saya tahu mereka tersentuh oleh sesuatu. Dan sesuatu itu bukanlah yang keluar dari mulut saya tetapi yang sudah ada di hati mereka sejak lama. Karena itulah mereka mudah setuju. Mereka tidak menyetujui saya tetapi menyetujui hati kecil mereka yang kadang terabaikan.

Mungkin itulah makna kemerdekaan. Kemerdekaan bisa jadi adalah keberanian untuk melakukan hal baik, tanpa didikte oleh kekhawatiran akan pandangan orang lain. Bahwa kemerdekaan akan diperoleh jika dan hanya jika kita berani memerdekakan diri. Kelas perdana Matematika Geodesi hari itu, menjadi salah satu kelas paling menyenangkan yang saya rasakan. Kami bersenang-senang hingga akhir. Mungkin karena kami merasa merdeka!

Ruang Kelas 1.1 Teknik Geodesi UGM

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

2 thoughts on “Memerdekakan Diri”

  1. I love this Pak. Inilah yang saya rasakan setiap kali ingin angkat tangan di kelas dan melontarkan pertanyaan seputar mata kuliah di hadapan dosen dan teman-teman. Takut dikira cari perhatian, tapi setelah saya membaca tulisan ini saya enggak peduli lagi deh sama pikiran teman-teman saya, lah wong tujuan saya baik untuk memuaskan rasa ingin tahu saya. Terima kasih ya Pak Andi.

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: