Saya berkenalan dengan seorang mahasiswa Indonesia yang sedang sekolah di Kumoh National Institute of Technology di Korea Selatan lewat Instagram. Anafi namanya. Saya perhatikan, Anafi cukup rajin berkunjug ke blog ini dan meninggalkan jejak positif. Dari percakapan saya di IG, saya rasa kisahnya menarik untuk dibaca pejuang beasiswa lainnya. Itulah yang memotivasi saya untuk meminta agar Anafi bercerita di blog ini. Berikut adalah tulisannya yang saya rasa bisa mewakiki banyak pejuang beasiswa di Indonesia. Selamat menyimak 🙂
Pagi itu seperti biasa setelah subuh, saya duduk di depan notebook tua yang dibelikan ibu sewaktu semester dua. Mulailah saya membuka halaman gmail lalu mengcopy-paste sembari mengecek untuk kesekian kali email yang akan dikirim. Semalam sebelumnya email sudah dirancang dengan matang, lalu pagi ini hanya tinggal dikirim saja. Dear Professor, adalah kalimat pertama yang tertulis dalam email itu. Tak lupa selalu membaca basmalah saat mengklik tombol send. Ada perasaan lega. Aktivitaspun saya lanjutkan, karena pukul 08.00 pagi saya sudah harus duduk manis di depan laptop kantor dengan segala deadline yang mulai mendera.
Siang setelah makan siang, sebuah email masuk. Hati mulai berdebar karena ternyata email itu berasal dari professor yang tadi pagi. Ada perasaan harap-harap cemas karena sebelum-sebelumnya email ke professor selalu berakhir dengan patah hati. Pelan-pelan saya buka email tersebut. Puji syukur yang tak terkira karena professor menerima saya sebagai mahasiswanya sekaligus menawarkan untuk mengambil program integrated (master-PhD). Ingin rasanya berteriak dan melompat atas kabar bahagia itu. Korespondensi emailpun berlanjut seiring dengan kegalauan yang juga mulai menggelayut. Saya harus bergerak cepat, karena esok hari adalah hari terakhi pengumpulan berkas-berkas pendaftaran ke kampus. Baiklah, kalau dihitung saat itu saya hanya punya waktu 24 jam untuk melengkapi berkas. Ada sepuluh berkas yang saya harus lengkapi, antara lain: application form, graduate certificate, academic transcript, record of language proficiency, passport, family register, self introduction, study plan, financial certificate, dan dua recommendation letter. Sore itu sebelum pulang kantor, saya mohon izin kepada atasan untuk cuti satu hari guna melengkapi berkas-berkas. Matahari semakin condong ke barat, saya harus segera berangkat ke Solo. Esok hari saya harus pagi-pagi ke kampus untuk menemui dosen guna memohon surat rekomendasi. Perjalanan Jogja-Solo dengan motor ditempuh sekitar dua jam, itu berarti waktu 2 jam sudah hilang.
Malam hari setelah makan dan istirahat sebentar, saya mulai melengkapi berkas-berkas. Terimakasih kepada adik-adik kos yang mau menampung mantan penghuni kos ini. Cek-cek syarat puji syukur sudah ada beberapa yang dipunya, ijazah, transkrip, TOEFL, passport, dan KK. Semuanya sudah dalam bahasa inggris. Saya mulai membuka file-file aplikasi kampus maupun beasiswa yang sudah pernah saya kirim sebelumnya. Satu persatu persyaratan mulai terselesaikan. Open, edit, copy, paste menjadi jurus andalan dikala terpepet. Semalam suntuk mata saya paksa untuk terus terjaga, otak terus bekerja, dan tangan ini tak hentinya menulis kata.
Pagi menjelang dan saya sangat bersemangat untuk bertemu dosen saat itu. Bersyukur memiliki dosen yang selalu mendukung mahasiswanya. Entah sudah berapa kali saya meminta surat rekomendasi kepada beliau, hingga ada sedikit rasa malu, karena setiap kali daftar selalu gagal. Satu surat rekomendasi telah terpenuhi, sedangkan surat rekomendasi lain harus saya tunggu lewat email karena dosen saya waktu itu sedang menempuh S3 di Taiwan. Rasa cemas masih saja menyelimuti, karena deadline semakin dekat. Tetapi ada rasa bahagia juga karena professor telah mengirimkan financial statement yang menandakan beliau siap menanggung living cost selama kuliah. Meski jumlahnya tidak banyak, tetapi cukup jika kita mau mengatur keuangan dengan baik. Selain itu, professor siap menanggung 50% tuition fee dengan syarat sisa tanggungan 50% biaya kuliah ditanggung oleh kampus, atau kasarnya free 50% tuition fee. Tetapi, hal tersebut baru diperoleh jika memenuhi skor bahasa inggris yang bagus. Jujur, saat itu saya juga masih khawatir dengan skor TOEFL saya yang masih 540.
Setelah beberapa jam menunggu dan deadline minus 2 jam, saya mulai mengirimkan berkas-berkas ke web kampus dan mengirimkannya via email ke international office. Lega yang luar biasa setelah semuanya selesai. Sejurus kemudian mulailah terasa badan lelah dan mata mengantuk. Baiklah, saya putuskan istirahat sebentar sebelum akhirnya kembali lagi ke Jogja untuk bekerja lagi esok hari.
Pagi harinya, sebuah email dari international office kampus masuk membawa kabar baik sekaligus buruk. Kabar baiknya adalah dokumen saya telah diterima oleh kampus dan siap untuk diteruskan ke departemen terkait. Kabar buruknya, TOEFL saya tidak diterima oleh kampus dan saya diberi waktu kira-kira satu setengah bulan untuk melengkapinya. Rupanya TOEFL ITP tidak berlaku di kampus saya (saya hanya punya TOEFL ITP, sebab sebelumnya sertifikat tersebut sudah bisa dipakai untuk daftar kampus di Taiwan, LPDP dalam negeri, bahkan AAS). Baiklah, tantangan pertama mulai datang. Tanpa berfikir matang, saya langsung mendaftar tes TOEFL iBT yang harganya sangat mahal bagi saya. Bermodal uang pinjaman dari teman, akhirnya malam hari saya sudah terdaftar untuk tes TOEFL iBT yang akan diselenggarakan sebulan lagi. Uang gaji yang ada di tabungan saya belikan buku Barron TOEFL iBT yang harganya bagi saya cukup membuat saya menelan ludah. Ludes sudah gaji saya dan mulai hidup super duper ngirit. Bahkan uang receh di celengan juga mulai saya bongkar untuk hidup sehari-hari sembari menunggu gaji datang lagi.
Sebulan sudah saya punya rutinitas baru. Kalau sebelumnya saya selalu belajar TOEFL ITP, kini saya belajar TOEFL iBT. Pagi hari sebelum pergi bekerja dan malam hari setelah bekerja saya gunakan untuk belajar, hingga akhirnya waktu tes tiba. Hampir empat jam saya duduk di depan komputer untuk menyelesaikan soal-soal TOEFL iBT. Pasrah, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi saya saat itu. 85 adalah target yang harus dipenuhi jika ingin mendapatkan free 50% tuition fee dari kampus. Jika kurang dari itu, 100% tuition fee ditanggung pribadi.
Hari pengumuman nilai tiba. Skor saya saat itu 80. Sedih rasanya, seakan kesempatan sekolah di luar negeri itu hampir pupus lagi. Memang dengan skor itu saya sudah resmi di terima di kampus tersebut, tetapi surat tagihan tuition fee 100% pastilah melayang ke email. Bagaimanapun professor hanya mau menanggung 50% tuition fee jika 50% nya ditanggung kampus. H-1 hari terakhir pembayaran tuituion fee datang. Saya hanya bisa berdoa sembari mencari jalan keluar dari problem tersebut. Pilihannya hanya dua, berhenti di sini lalu kubur dalam-dalam itu mimpi atau perjuangkan dengan segala resiko dan tantangan yang lebih besar ke depannya. Malam hari, akhirnya saya diskusikan dengan kenalan dari kampus yang terlebih dahulu kuliah di sana. Saya disarankan untuk ambil tes TOEIC, karena waktu itu ia masuk ke kampus tersebut dengan TOEIC. Akhirnya saya beranikan diri untuk nego dengan international office kampus untuk meminta waktu perpanjangan waktu pengumpulan sertifikat bahasa inggris, karena saya ingin mencoba TOEIC. Puji syukur, mereka memberi waktu perpanjangan 10 hari. Tanpa pikir panjang, pagi itu saya langsung mendaftar tes TOEIC dan lagi-lagi menguras uang gaji. Tambah lagi di sore harinya saya membeli buku TOEIC. Baiklah, dompet makin tipis, waktu belajar juga tipis. Saya punya waktu sekitar lima hari untuk belajar TOEIC.
Hari tes TOEIC tiba. Rasanya seperti antara hidup dan mati. Ini kesempatan terakhir. Jika ini gagal, maka siap-siaplah menangis lagi untuk kesekian kali. Dua hari kemudian, esok harinya pengumuman hasil TOEIC sudah keluar. Syukur yang tak terkira, skor saya saat itu 845, sangat-sangat cukup dari skor yang disyaratkan oleh professor yaitu 770. Dua hari kemudian sertifikat sudah ditangan dan siap dikirim via email ke kampus. Selanjutnya, kampus deal memberikan free tuition fee 50% yang berarti professor deal dengan 50% sisanya. Yes!
Masih ada tantangan-tantangan yang saya hadapi setelah itu yang panjang untuk diceritakan. Perjalanan mendapat beasiswa ini begitu panjang, lama, butuh tenaga, biaya yang tidak sedikit, serta keteguhan hati yang terus di pertanyakan. Semenjak kuliah di semester awal, saya selalu berusaha untuk tidak hanya kuliah, tetapi juga ikut organisasi kampus, mengikuti kompetisi, belajar bahasa inggris, dan aktif mengikuti milis beasiswa di internet, hingga ikut pameran beasiswa. Sebelum mendapat ijazah S1, saya mulai mencoba mengirim CV ke professor. Entah sudah berapa kali ditolak atau tidak dibalas. Revisi kalimat korespondensi email terus saya lakukan. Pun sudah berapa kali tes bahasa inggris yang berarti sudah banyak pula uang saya habiskan, bahkan harus meminjam uang demi tes (TOEFL like 4x, TOEFL ITP 4x, TOEFL iBT 1x, TOEIC 1x). Sudah berapa macam beasiswa yang saya coba daftar, tetapi selalu gagal (LPDP dalam negeri, AAS, KGSP, ICDF, dan beasiswa salah satu kampus d Taiwan). Meski demikian, sisi baiknya adalah persiapan yang panjang membuat saya siap ketika kesempatan datang tiba-tiba.
Dari pengalaman tersebut, saya ingin berbagi bahwa hiduplah dengan mimpi lalu perjuangkan dengan sepenuh hati, sekuat tenaga. Tantangan akan terus datang, semakin keras, semakin sulit. Tetapi teruslah bergerak, jangan berhenti berdoa. Percayalah bahwa Tuhan akan selalu memberikan jalan dan pertolongan.
Anafi Nur’aini (anafinuraini@gmail.com)
Sabtu pagi di dormitory
Gumi, Korea Selatan
Penghujung Juni 2018
Sebagian pejuang yg tak terkira perjuangannya jauh lebih berat diperjuangkan dripada saya yg jatuh tidak bangun lagi utk berjuang. Terima kasih Bli yg selalu menginspirasi.. 🙏
Sama2 🙂
Terima kasih karena sdh membagi kisah ini kepada semua orang. Sangat inspiratif. Setelah membaca ini semakin membuat sy gigih tuk terus mencoba. Sy telah beberapa kali gagal memperoleh beasiswa. Sy sdh hampir putus asa. Namun, setelah membaca postingan ini membuat sy kembali bersemangat. Sy akan berusaha terus berusaha . Sekali lg terima kasih. ☺
Sama2. Saya juga terinspirasi oleh kisah ini.
Sangat menginspirasi. Terimakasih sharingnya …
Sama2 🙂
Terima kasih sudah membagi kisah ini. Saya baru saja gagal dan hampir menyerah dengan mimpi saya. Kegagalan saya tidak sebanding dengan kisah ini. Dan sadar bahwa saya belum dikatakan gagal sampai saya berhenti mencoba. Sekali lagi terima kasih Pak Made Andi telah membagikan kisah ini.
Terima kasih sudah membagi kisah ini. Saya baru saja gagal dan hampir menyerah dengan mimpi saya. Kegagalan saya tidak sebanding dengan kisah ini. Dan saya sadar bahwa saya belum dikatakan gagal sampai saya berhenti mencoba. Sekali lagi terima kasih Pak Made Andi telah membagikan kisah ini.
Syukurlah ….
Terima kasih sudah berbagi kisah ini, pak.
Sama2 🙂
Terimakasih Pak sudah membagikan kisah ini. Sangat menginspirasi saya yang hampir saja menyerah. Saya sudah 2 kali gagal mencoba tes IELTS kemudian saya ingin mengurungkan mimpi saya. Namun karena tulisan ini, saya berusaha bangkit dan mencobanya lagi.
Syukurlah… semangat ya 🙂
Begitu baca langsung speechless dan lagi2 menelan ludah, saya jauh dari kata berusaha dan lekat terhadap putus asa 😥 Terimakasih pak andi selalu punya kartu AS buat memecut semangat saya !
Syukurlah …
Untuk kesekian kalinya..Pak Andi menumbuhkan kembali semangat yang mulai memudar untuk meraih impian yang diharapkan..Terima Kasih Pak Andi..
Selamat berjuang Mas…
Terima kasih sudah membuat saya semangat lagi