Aku mengatakan “tidak takut” dengan ketegasan sikap, sama sekali bukan karena angkuh, apalagi jumawa dan merasa tak tersentuh mara bahaya. Sama sekali tidak. Aku mengatakan “tidak takut” karena aku mencintai nuraniku dan menyayangi kehidupan. Takut hanya akan membunuh kesempatanku untuk bersahabat dengan nurani dan merayakan kehidupan. Terror boleh ditebar tapi keresahan adalah perihal keputusan. Mengutip kalimat Cypher Raige di After Earth, bahaya memang nyata, tetapi rasa takut adalah soal pilihan dan aku memutuskan untuk tidak takut.
Kemarahan dan kebencian mungkin bisa merusak raga dan merenggut nyawa tetapi tidak akan merebut kemerdekaanku, kecuali aku mengizinkannya. Kata Gandhi, “they may torture my body, break my bones, even kill me. Then they will have my dead body, but not my obedience.” Atau dalam untaian kalimat William Wallace di Braveheart “they can take my life but not my freedom”. Kebebasanku adalah milikku maka tidak akan kubiarkan dia direnggut, apalagi oleh rasa takut dan kecemasan yang dititipkan pada teror.
Negeriku ditakdirkan melintang di cincin api yang kaya akan tragedi. Berlaksa bencana dan tak terhitung ancaman yang bermunculan di puncak-puncak gungung atau di gemuruhnya air bah dan di misteriusnya samudera nan dalam. Semua itu telah menjadikanku lebih kuat karena aku besahabat dengan bahaya. Alam menggemblengku, semesta menghadiahiku dengan pelajaran dan latihan. Sepanjang tak aku biarkan semangatku mati, maka aku akan semakin kuat. Seperti nasihat Friedrich Nietzsche “what doesn’t kill you make you stronger”.
Aku tak sedang menceritakan kesombongan atau kemarahan, apalagi kebencian. Aku percaya dengan kesadaran penuh bahwa dendam hanya akan menyisakan kesumat yang tak berkesudahan. Namun aku juga percaya bahwa panglima yang harus dijunjung tinggi adalah hukum yang tegak. Seperti Dewi Yustisia, hukum menjamin keadilan dengan menutup matanya sehingga terhindar dari dilema suka tak suka. Tak kan kubiarkan diriku membenci agama atau kepercayaan tapi aku juga akan berhati-hati memilih guru dan teladan. Doaku adalah semoga tak terjerumus pada kegelapan karena kedangkalan pemahamanku sendiri.
Maka tak lama lagi, kita akan kembali pada titik awal kita memulai. Atau setidaknya kembali ke titik ketika kita menjadikan cinta dan kedamaian sebagai kerajaan bersama yang menyelimuti warna-warni perbedaan. Seperti lantunan Ari Lasso, cinta yang akan membawa kita kembali. Meskipun kerap untuk membasuh perih, kita juga akan menuai rindu. Kelak, semua itu akan terjadi di rumah kita sendiri, meski mungkin sederhana, seperti kata Ahmad Albar, tanpa hiasan dan tanpa lukisan. Sebelum terwujud, aku tak akan berhenti karena, seperti kata Sheila on 7, berhenti bukan pilihan bagiku.
PS. Catatan untuk bela sungkawa bagi korban tragedi terorisme di Negeri Indonesia serta doa demi terhindar dari nestapa putus asa dan jebakan kebencian tak berdasar.
Terima kasih untuk tulisannya Bli..mencerahkan sekaligus menumbuhkan keberanian 🙂
Sami2 Erly 🙂
Saya senang membaca tulisan Bapak. Saya yakin jutaan orang Indonesia merasakan hal yang sama akhir-akhir ini. Salam kenal.
Matur suksma… 🙂