“Ladies and Gentlemen, please welcome Dr. I Made Andi Arsana” demikian Master of Ceremony (MC) memanggil dan riuh tepuk tangan mengiringi. Saya beranjak dengan detak jantung yang meningkat ritmenya, melangkah menuju podium tak jauh dari tempat duduk saya. Musik yang elegan mengiringi, menjadi soundtrack yang seakan berusaha meyakinkan bahwa orang yang sedang bergerak ke panggung itu memang pantas untuk ditunggu dan didengarkan. Semua itu hanya menimbulkan satu hal: kegugupan.
Berdiri di podium, saya berusaha tersenyum meski sebenarnya tidak begitu percaya diri. Dalam rangka mengusir kegugupan, saya gerakkan microphone yang sebenarnya tidak perlu digerakkan. Saya geser sedikit ke kanan untuk kemudian dikembalikan ke kiri, ke tempatnya semula. Ya, kita semua pernah melakukan ini: menggerakkan hal-hal yang tidak perlu digerakkan di meja saat berbicara untuk mengusir keresahan. Untunglah di podium itu tidak ada botol, gelas, buku catatan, bolpen dan permen karena jika ada maka waktu saya akan tersita untuk memindahkan dan menggerakkan benda-benda itu, lalu mengembalikannya ke tempat semula.
Di depan saya nampak puluhan orang yang rata-rata mengenakan jas dan dasi, duduk tenang dengan sikap wibawa. Mereka adalah para ahli, praktisi, diplomat senior, duta besar, mantan menteri, jurnalis kawakan, professor dan anak-anak muda yang cemerlang. Hari itu, Rizal Ballroom Shangrila Hotel Makati di Filipina dipenuhi wajah-wajah yang bagi saya mengintimidasi. Meski dengan suasana yang cukup mengancam, toh tugas tetap harus ditunaikan. Saya mengingat ajaran Benjamin Mee di film ‘We Bought A Zoo’ yang mengatakan bahwa kita hanya perlu memaksa diri selama 20 detik saat memulai bicara dan selanjutnya akan baik-baik saja.
“Thank you Gica!” demikian saya memulai untuk berterima kasih kepada MC. “I am the last speaker before lunch and after five other outstanding speakers, wish me luck!” lanjut saya yang cukup berhasil menghadirkan suasana rileks di ruangan itu. Tidak mudah untuk menarik perhatian orang-orang itu karena situasinya memang sulit. Acara molor sehingga kian dekat dengan makan siang dan saya menjadi pembicara terakhir ketika hadirin sudah tidak konsentrasi. Tidak ada banyak pilihan, I would just do my best.
Saya belum mandi karena baru saja mendarat di Bandara NAIA, Manila beberapa jam lalu dan langsung ke hotel Shangri-La Makati, tempat konferensi. Tentu saja berbeda dengan suasana delapan tahun lalu di Paris yang dipenuhi mahasiswa Indonesia, kali ini saya tidak perlu berkelakar soal mandi. Wajah-wajah wibawa di depan saya sudah cukup mengancam dan seakan mengingatkan ‘jangan cengengesan’. Perjalanan sekitar total 10 jam membuat saya agak limbung ketika ada di panggung, terutama karena ketika di pesawat saya duduk dengan seorang pemuda yang ke kamar mandi setiap jam. Saya duduk di kursi dekat gang sehingga dia yang duduk di tengah harus membangunkan saya setiap saat. Untuk pertama kalinya, kebiasaan saya yang sudah terlelap bahkan ketika belum take off dan terjaga ketika sudah landing jadi terganggu dan tidak terlaksana.
Meski agak linglung, masih segar dalam ingatan saya, tadi di bandara bertemu seorang kawan aktivis jurnalisme warga, Anton Muhajir, yang melahirkan, merawat dan membesarkan Balebengong.net. Kami jarang sekali bertemu dan sekalinya bertemu, di negeri orang dan itupun di bandara tanpa sengaja. Maka minum kopilah kami di bandara sambil menyelesaikan presentasi. Karena bercakap-cakap dengan wartawan, secara tidak langsung saya ‘diinterogasi’ dan akhirnya menjadi semacam ajang pemanasan sebelum berbicara di Shangri-La. Tempat dan suasana berlatih memang bisa ada di mana saja.
Dalam presentasi saya, tentu saja ada joke, ada serius dan ada juga sok inspiratifnya. Sebenarnya ketiga hal ini subyektif. Joke bagi saya, bisa saja tidak lucu bagi orang lain. Serius bagi saya, bisa saja biasa bagi pendengar yang sudah paham dan hafal hal yang saya anggap serius itu. Inspiratif apalagi. Hal yang menurut seseorang inspiratif bisa jadi garing bagi orang lainnya. Maka dari itu, mengetahui dengan jelas siapa audience kita adalah kewajiban bagi seorang presenter. Sebelum naik ke panggung saya baca sekali lagi profil pembicara dan audience di ruangan itu agar saya merasa lebih tenang dan akrab. Meski demikian, mengetahui dengan baik kualitas audiens kita kadang-kadang membuat kita tambah grogi. Memang tidak ada satu standar baku dalam presentasi, semuanya bisa relatif dan pengalaman masing-masing orang akan berbeda.
“Somehow, we ASEAN are ahead. We a not losing all the time” demikian saya tegaskan beberapa saat mendekati akhir presentasi. Saya ingin mengemukakan hal yang lebih positif di tengah beberapa pesimisme yang disampaikan pembicara sebelumnya. Topik saya adalah ‘Navigating ASEAN in the Complexity of the South China Sea Dispute’. “And the secret recipe consists of four ingredients: equality, pragmatism, trust and leadership” lanjut saya. “And in the future, this is ASEAN that we want to see: agile, strong and swift, yet patient and self-restraint. With that, I thank you!” Terdengarlah tepuk tangan tanda akhir dari presentasi saya. MC nampak lari tergopoh-gopoh seakan belum sadar kalau presentasi saya sudah berakhir. Presenter sebelumnya memang sampai didekati MC, sebagai peringatan halus bahwa waktu mereka sudah habis.
Saya pun berjalan menuju tempat duduk dengan kecamuk berbagai perihal. Waktu kemudian berjalan lambat karena tiba-tiba kantuk menyerang. Pikiran yang tenang mendatangkan kantuk dengan cepat dan lelah baru terasa. Selepas tanya jawab dengan semua panelis, saya kembali ke meja dan bersiap-siap untuk kembali ke Jogja. Sore itu saya akan terbang kembali pulang ke Jogja dan ini menjadi perjalanan internasional untuk konferensi yang paling singkat. Saya tiba di Filipina pagi, bicara siang hari dan kembali pulang sore harinya. Ketika digoda soal itu oleh seorang kawan dari Singapura, saya bilang “this is what we mean by ASEAN Economic Community. I commute from Jogja to speak in Manila and return the same day.” Sedetik kemudian tergelaklah kami semua.
Dalam persiapan sebelum pulang, seorang perempuan muda mendekati saya. Dari cara bicaranya nampak dia cerdas dan memperhatikan persentasi saya dengan seksama. “So I really want to talk to you about some important matters regarding ASEAN and the South China Sea. My friend might be able to see you next time” katanya sambil menyerahkan kartu nama. Dalam perjalanan menuju mobil yang sudah disiapkan panitia, saya melihat lagi kartu namanya dan ada gejolak rasa yang tak biasa ketika sekali lagi membaca nama medianya: “Financial Times”. Mungkin saya dapat kartu nama ini karena presentasi saya tadi cukup wangi, meskipun presenternya belum mandi.