Dunia maya heboh dengan beredarnya sebuah surat yang dikeluarkan oleh Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM tentang penerimaan mahasiswa baru. Di surat itu, Pak Dekan mengusulkan kepada Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan (WRPPK) UGM bahwa FEB UGM bersedia menerima mahasiswa yang punya prestasi seni membaca kitab suci dan hafal kitab suci.
Kurang dari 24 jam sejak surat yang menghebohkan itu saya lihat, telah ada pernyataan resmi dari Humas UGM bahwa pimpinan UGM menolak usulan Dekan FEB tersebut. Tak berbeda dengan surat usulan Dekan FEB, rilis pers Humas UGM juga viral, menyebar dengan cepat dan menjadi bahan diskusi. Seperti halnya surat Dekan FEB, pernyataan Humas UGM juga menimbulkan pro dan kontra. Sebagian bersyukur dan mendukung, sebagian lain menyayangkan mengapa pimpinan UGM menolak usulan itu.
Keputusan sudah diambil tapi diskusi masih dan memang semestinya berjalan terus. Di beberapa media yang saya ikuti, tidak sedikit yang meminta pendapat pribadi saya soal ini. Artikel ini akan menjawab pertanyaan itu. Sebelum jauh, saya tegaskan bahwa saya mengatakan ini dalam kapasitas pribadi dan saya tidak punya wewenang apapun dalam penerimaan mahasiswa baru di UGM.
Pertama, saya memahami bahwa surat Dekan FEB tidak menyebutkan satu agama tertentu sehingga bisa dianggap bahwa yang dimaksud adalah semua agama di Indonesia. Hal ini seharusnya tidak menimbulkan tuduhan bahwa usulan ini dimaksudkan hanya untuk menguntungkan umat agama tertentu. Meski demikian, kita bersama perlu melihat dengan jernih, obyektif dan bijaksana perihal tradisi seni membaca dan menghafal kitab suci. Pertanyaan paling mendasar adalah apakah seni membaca dan menghafal kitab suci ada dan sama kuat di semua agama yang ada di Indonesia? Adakah anjuran atau kewajiban untuk menghafalkan Tripitaka di Agama Bhuda seperti halnya anjuran atau kewajiban menghafalkan Alquran di Islam misalnya?
Yang lebih mendasar lagi, surat itu secara eksplisit menyebut “seni baca kitab suci” dah “hafal kitab suci”. Tidak dikatakan di sana perihal pemahaman keagamaan yang dalam, kepemimpinan di bidang agama, atau hal-hal lain yang bisa dipahami secara lebih universal. Sependek pemahaman saya, seni membaca dan menghafal kitab suci tentu bukan tujuan akhir ajaran agama karena di balik itu ada kemuliaan yang lebih tinggi soal perilaku yang bajik dan hati yang terbuka.
Mengapa ini penting diperhatikan? Karena jika hanya perihal membaca dan menghafal kitab suci maka standarnya bisa bermacam-macam. Kita bisa pahami, pandangan setiap agama terkait membaca dan menghafal kitab suci tidaklah sama. Sependek pengetahuan saya, di agama Islam, hal ini menjadi sesuatu yang penting dan dianjurkan (atau malah diwajibkan?) sementara di Hindu, berbeda ceritanya. Memahami ini, bisa dimaklumi kemudian ketika ada sebagian orang yang menafsirkan bahwa usulan ini didorong oleh kelompok agama tertentu dan mungkin tidak akan menguntungkan umat agama lainnya. Dengan tradisi yang berbeda itu, tentu peluang untuk menemukan anak muda yang hafal kitab suci di Agama A akan bebeda, bahkan bisa berbeda jauh, dengan Agama B. Ini bisa menjadi satu faktor yang memicu munculnya ketidakadilan soal peluang dan kesempatan.
Golongan yang menentang adanya penerimaan mahasiswa baru lewat jalur penghafal kitab suci berpandangan bahwa itu tidak terkait langsung dengan intelektualitas ilmiah yang selama ini menjadi kriteria utama dalam menerima mahasiswa baru. Di sisi lain, mereka yang setuju menganalogikan hal ini seperti penerimaan mahasiswa lewat jalur seni dan olahraga. Faktanya, memang banyak orang yang jago basket, misalnya, diterima di Teknik Elektro. Apa hubungannya? Dalam hal ini, saya setuju, sebenarnya sudah menjadi praktik umum sebuah institusi menerima mahasiswa tidak berdasarkan kemampuan akademik dan selama ini dianggap wajar.
Lalu mengapa jalur kitab suci ini tiba-tiba dianggap berbeda dan tidak pantas? Bukankah itu secara administratif sebelas duabelas dengan penerimaan lewat seni dan olahraga? Saya melihat kompleksitas dari segi obyektivitas penilaiannya. Orang yang berprestasi basket atau bulu tangkis bisa dinilai secara universal dan itu berlaku pada semua orang tanpa pengelompokan. Kriteria jago basket bagi orang Bali tentu sama halnya dengan jago basket bagi orang Jakarta, misalnya. Sementara itu, lihai membaca kidung suci di Weda tentu tidak bisa dibandingkan dengan kelihaian melantunkan nyanyian rohani di gereja. Sebagian orang tentu bisa mengatakan ‘kita bisa serahkan kepada pemuka agama masing-masing untuk membuat kriteria dan memproses seleksinya’. Inilah yang jusru bisa menimbulkan kerancuan standard. Standarnya berbeda atau jangan-jangan justru yang satu punya standard, yang lainnnya tidak. Ini tentu lebih repot lagi urusannya.
Saya tertarik dengan pandangan seorang senior di UGM yang bagi saya sangat adem disimak. Saya tidak akan mengutip secara verbatim karena belum minta izin beliau tetapi saya rasa pandangan ini menarik untuk disimak siapa saja. Beliau menegaskan bahwa UGM (dan tentu perguruan tinggi lainnya) harus terbuka dan secara jernih serta jeli melihat berbagai potensi di seluruh nusantara. Lebih jauh, UGM harus menyadari betul bahwa masih ada ketimpangan di negeri ini yang harus direspon secara positif. Dalam situasi yang timpang, persaingan bebas bisa saja justru memperparah ketimpangan itu. Oleh karenanya, perlu ada intervensi atau afirmasi untuk hal-hal tertentu.
Beliau mencontohkan, jika UGM bisa menemukan seorang anak muda dengan potensi kepemimpinan yang sangat kuat dan penting, misalnya di bidang agama, tetapi melihat bahwa anak muda itu tidak mungkin dibiarkan berkompetisi bebas untuk masuk UGM, maka UGM layak memberikan kesempatan kepada dia melalui jalur afirmasi. Lebih jauh, Beliau menegaskan bahwa ini adalah juga soal bagaimana kita menceritakan niat baik kita kepada masyarakat. Narasi yang dibangun semestinya universal dan menghindari penggunaan diksi yang menyempitkan niat baik.
Saya pribadi melihat titik awal kontroversi surat Dekan FEB adalah juga pada narasinya yang secara eksplisit menyebut “seni baca kitab suci” dan “hafal kitab suci”. Saya yakin, di balik seni baca dan menghafal kitab suci itu ada kemuliaan yang tinggi dan pada akhirnya terkait erat dengan kebajikan dan kebaikan perilaku. Ada kepemimpinan dan nilai-nilai luhur agama di dalamnya yang tentu saja positif bagi agama apa saja. Saya yakin, tidak ada ada orang tua yang kecewa melihat anaknya menjadi orang yang taat beragama, terampil memahami kitab suci serta lihai melantunkan ayat suci, jika itu memang diajarkan dalam tradisi agama mereka. Sayang sekali, penggunaan narasi pada sebuah tulisan memang bisa mengubur hal-hal besar itu dan bahkan menimbulkan kecurigaan.
Di luar semua pandangan positif di atas, harus diakui, memang ada yang punya keyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh FEB UGM itu memang benar-benar dimaksudkan untuk menguntungkan agama tertentu. Saya memilih untuk tidak berkomentar soal itu saat ini. Ruang diskusi harus dibuka lebar dan semua pendapat harus diberi kesempatan untuk dipaparkan sehingga akan hadir lebih banyak perspektif. Kata Raghava KK, semua orang pasti bias tetapi setidaknya kita bisa membuat diri kita bias dengan lebih banyak perspektif.
UGM telah mengambil keputusan dan saya pribadi menghargainya tetapi, sekali lagi, itu tidak harus menghentikan diskusi dan perdebatan yang sehat. Saya juga tidak melihat keputusan ini berarti tidak menghargai prestasi para seniman pembaca dan penghafal kitab suci. UGM memilih menggunakan kriteria lain dalam menerima mahasiswa barunya. Saya juga yakin, orang tua dan anak-anak muda Indonesia yang bersemangat membaca dan menghafalkan kitab suci masing-masing, tidak akan surut semangatnya karena keputusan ini. Mereka tentu diajarkan pula bahwa ganjaran yang dijanjikan kepada mereka tentu jauh lebih tinggi dibandingkan ‘sekedar’ bisa masuk perguruan tinggi negeri. Di sisi lain, saya juga percaya bahwa melafalkan dan menghafalkan kitab suci ini adalah sebuah pertanda kecerdasan yang baik. Dengan potensi dan kecerdasan itu, mereka punya peluang yang baik untuk masuk perguruan tinggi bagus dengan mengandalkan kemampuan akademik mereka.
Anak muda, jangan biarkan semangatmu surut untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Lantunkanlah ajaran-ajaran Tuhan dengan indah dan resapi untuk menjadikan hatimu lembut dan terbuka akan berbagai perihal. Hafal kitab suci mungkin tidak bisa menjadi satu-satunya kunci bagimu untuk masuk perguruan tinggi tapi potensimu tentu lebih banyak dari itu. Pintu-pintu akan terbuka untukmu. Jika Tuhan mengizinkan dan kamu berusaha dengan serius dan tulus, saya akan sangat bangga bisa bertemu denganmu di ruang-ruang kuliah Padepokan Gadjah Mada.
Suka sekali dengan paragraf penutupnya, Pak 🙂
Makasih ya 🙂
tulisan yang bijak pak *thumbs up*
Matur nuwun.
Matur nuwun