Aku ingin ceritakan kepadamu hujan perdana di kota kita. Bisakah kamu mencium aroma tanah basah yang bercampur rindu? Rindu debu yang telah lelah berdansa di musim panas yang panjang, kini gugur, lantak dan bersimbah buliran air yang memabukkan. Sapalah juntaian daun intaran yang bertingkah genit di pinggir jalan menuju rumah kita. Lihatlah kini dia riang, lupa sudah dengan dahaga yang ditahannya tak kurang dari enam purnama. Dia basah. Basah melayani godaan hujan perdana yang singgah di kota kita kemarin sore.
Sentuhlah ujung daun palm yang tegerai, menikmati gundah gulana sepoi angin sore yang merangsangnya. Butiran air yang menetes itu alami, bermula dari awan yang bersekongkol menjalin mendung dan runtuh bersama hujan yang lama ditunggu. Rasakanlah butiran itu mengeras menjadi intan karena mantera-mantera syukur yang berkumandang dalam senyap di relung-relung hati yang bersuka cita. Doa yang kita panjatkan bersekutu dengan asap dupa yang membumbung tinggi lalu lenyap di di sela-sala batang cempaka yang basah sumringah. Terkabul doa itu, di riuhnya hujaman bulir-bulir hujan yang menikam simbar menjangan yang memeluk mesra batang kamboja.
Bangunlah di pagi hari. Berdansalah bersama hujan, atau sekedar diam menikmati pesona pelangi yang membias di kaki langit. Datanglah menikmati tetes-tetes hujan yang tersisa di galayutan akar anggrek lalu gugur membelai helai rumput mutiara yang lama berharap. Atau sekedar merasakan senyap, sambil diam-diam menikmati sensasi hujan perdana yang akan mengingatkanmu pada kisah satu malam di sebaris anak tangga.
Jogja, 25 September 2017, saat hujan pertama.