Genjo ditugaskan mengemudi kendaraan, mengantarkan seorang ahli tata pemerintahan. Bung Bonggas baru saja memberikan seminar dan memukau peserta, seperti biasa. Genjo, diam-diam juga menjadi penggemar meski tak pernah menyatakan. Di sepanjang jalan mereka bercakap-cakap, Bung Bonggas adalah ahli yang rendah hati. Dia tidak segan berhelat diskusi hangat dengan Genjo yang seorang jelata.
“Mengagumkan Pak” kata Genjo mantap ketika ditanya kesannya tentang pembicaraan Bung Bonggas tadi. “Ah Mas Genjo, bisa saja” kata Bung Bonggas dengan nada santun bukan buatan. “Betul Pak. Saya kagum. Pandangan Bapak jernih dan berimbang. Yang paling penting, mudah sekali dipahami.” Genjo laksana praktisi marketing dari perusahaan ternama bersemangat menyakinkan Bung Bonggas yang tersenyum-senyum menerima pujian. “Makasih Mas Genjo!” katanya yakin.
“Pak, kata teman saya, kadang kita korupsi karena harus ikut arus Pak. Apa benar seperti itu?” tanya Genjo. “Saya tidak setuju Mas. Apapaun alasannya, korupsi tetaplah korupsi. Jika harus melawan arus, kita harus terima risikonya. Kita harus bersih tuntas tanpa cela!” Bung Bonggas bersemangat dan Genjo bisa merasakan aliran idealisme positif menjalar hingga hatinya. “Kata teman saya, kalau kita tidak ikut korupsi maka kita akan tergilas oleh sistem yang terlanjur korup. Kadang kita melanggar aturan untuk menyelamatkan sesuatu yang lebih besar. Apa betul demikian Pak?” kejar Genjo penasaran. “Tidak Mas! Itu semua tidak benar. Kita harus yakin dengan pilihan hidup kita. Apapun risikonya, jika itu benar, lakukan. Meskipun harus bertaruh nyawa, saya tidak akan mundur untuk hal-hal seperti itu.” Bung Bonggas berkata yakin, dengan semangat yang seakan membara.
“Mas kita lurus dulu ya, saya mau mampir membeli oleh-oleh untuk anak saya sebelum ke bandara” Bung Bonggas memberi instruksi pada Genjo ketika mendekati perempatan. “Oh siap Pak!” kata Genjo sigap sambil memuji dalam hati, Bung Bonggas adalah lelaki idealis yang mencintai keluarganya. Sungguh sempurna. “Pasang lampu sign ganda Mas!” tiba-tiba Bung Bonggas mengingatkan Genjo. “Baik Pak?” Genjo segera bertindak sigap. Tiap kali mengambil jalur lurus, dia memang biasanya memasang lampu sign kanan kiri sekaligus, agar orang-orang di belakangnya tahu bahwa dia akan lurus, tidak belok kiri atau kanan. Ternyata kebiasaan itu juga jadi kebiasaan Bung Bonggas.
“Sebenarnya lampu sign ganda ini artinya keadaan darurat alias emergency Mas” tiba-tiba Bung Bonggas menjelaskan. “Oh ya to Pak? Saya kira artinya memang untuk berjalan lurus” kata Genjo setengah terperanjat. “Bukan!” kata Bung Bonggas yakin. “Tadi saya minta pasang lampu sign ganda karena saya tahu, itu kebiasaan masyarakat di sini.” “Jadi itu tidak sesuai dengan aturan ya Pak?” Genjo bertanya sedikit bingung. “Sebenarnya tidak, tapi itu demi menyelamatkan banyak orang Mas. Masyarakat terlanjur tahu bahwa lampu sign ganda itu untuk menandakan gerakan lurus, bukan untuk emergency. Kalau kita tidak pasang lampu sign ganda, banyak orang bisa celaka.” Bung Bonggas menjelaskan dengan bijaksana. Sementara itu Genjo menangkap sesuatu yang tidak mudah dipahaminya.
Mantap ceritanya..!!
Itu fiktif atau memang pernah ada kisah nyatanya, Pak?
Hehehe..penasaran dg kedua sosok itu..
Bonggas adalah Kita 🙂
siapa sosok itu kak?
Kita…
Bagus pak ceritanya. Singkat tapi penuh makna. 🙂
Makasih ya 🙂
Bapak korupsi?
Ya.
Mantap. Dunia emang keras dan butuh berbohong.