Bukan Naked, tapi Nekad Traveler: Sebuah Review Film


Ketika mendengar Buku The Naked Traveler (TNT) akan difilmkan, saya khawatir. Sebagai pembaca, saya sulit membayangkan bagaimana sebuah buku perjalanan yang minim konflik berat akan dikemas menjadi film. Film, dalam bayangan sederhana saya, harus memiliki konflik serius dan penyelesaian yang daramatis. Dalam istilah yang lebai, bahagianya harus menyentuh dan mengharu biru, sedihnya harus menguras air mata. Bisakah buku perjalanan yang berbasis kejadian sebenarnya dibuat seperti itu? Di mana klimaksnya? Apa yang akan membuat penonton harap-harap cemas dan larut ke dalam kisah film? Siapa tokoh antagonisnya? Sederet pertanyaan itu mengganggu saya.

Sebuah pesan lewat WA masuk ke HP saya beberapa waktu lalu yang ternyata adalah dari Trinity, penulis buku TNT yang termasuyur itu. Ingatan dan kekhawatiran saya tentang bukunya yang difilmkan muncul kembali. “Will you be in Yogyakarta on 7th March?” [maksudnya 6 Maret] begitu bunyi pesan itu dan saya tebak, ini terkait dengan pemutaran perdana film TNT. Langsung saya iyakan dan berujung pada dua tiket gratis untuk gala premiere film TNT. Rejeki anak soleh memang tidak ke mana.

Saya menonton film ini dengan Asti, istri saya, setelah sebelumnya sempat menikmati dialog antara pemain dan crew film dengan penggemarnya di Jogja. Acaranya diadakan di Plaza Ambarukmo dan dihadiri oleh ABG yang histeris melihat idola mereka. Harus saya akui, Maudy Ayunda memang cantik. Mungkin juga karena saya tahu betul dia lulusan Oxford dan telah mengikuti kiprah positifnya selama ini. Hamis Daud? Saya no comment saja. Kegantengannya bisa mengintimidasi laki-laki lain. Babe Cabiita memang kocak. Komentar-komentar singkatnya berisi kelucuan yang menggelitik. Tiga orang yang saya sebut ini memang aktor dan aktris pendukung film TNT dan hadir saat acara meet and greet di Jogja beberapa waktu lalu.

Film ini tidak berjudul The Naked Traveler tetapi The Nekad Traveler (tetap TNT). Keduanya tidak mudah dibedakan dan sayapun menyadarinya kemudian, beberapa jam setelah menonton filmnya. Kata “Naked” diganti “Nekad” dengan alasan tertentu yang saya duga terkait dengan kepatutan sebuah film dari kacamata Lembaga Sensor Film (LSF). Kata “naked” tentu dengan mudah diasosiasikan dengan pornografi. Masih ingat beberapa tahun silam, buku The Naked Traveler pernah diterjemahkan secara bebas menjadi ‘pengembara bugil’ atau semacam ini. Bisa dipahami jika LSF khawatir dengan kemungkinan itu.

Film TNT memang mengisahkan seorang pengembara, seorang traveler sejati. Film ini bukan tentang drama dengan fluktuasi cerita yang dramatis mendayu-dayu. TNT adalah tentang kisah manusia biasa yang memiliki kehidupan luar biasa karena tekad dan niatnya. Tidak ada keajaiban di film itu, tidak ada kekuatan super yang dipertontonkan. Menyimak TNT seperti menyimak kehidupan sendiri yang normal namun bisa berkesan sangat dalam.

Film ini adalah tentang perjalanan menemukan sudut-sudut tersembunyi dari Indonesia dan dunia. Saya bersyukur film ini tidak disyuting di Bali atau Jogja karena semuanya akan menjadi terlalu biasa. Lampung yang hadir di layar lebar dalam film TNT adalah sebuah kejutan hasil keberanian pembuat filmnya. Makassar tampil menawan di film TNT juga merupakan sebuah spekulasi yang berisiko pada awalnya. Tampilnya tempat-tempat di Indonesia Timur yang bukan ‘jaminan mutu’ jika berbicara soal pariwisata di film TNT sudah menunjukkan niat serius para penggarapnya untuk menampilkan sesuatu yang berbeda. Bahwa Indonesia memang bukan hanya Bali, Jogja atau tempat-tempat lain yang terlalu mudah ditemukan di brosur pariwisata.

Nampak jelas bahwa kisah di film ini didorong oleh karakter tokohnya, bukan oleh alur cerita yang ditetapkan di awal. Film ini memang tentang karakter seorang Trinity yang spontan, ‘liar’ dan pengambil risiko. Maka dari itu, penonton yang menyukai alur cerita bisa merasa bahwa kisah di film ini adalah potongan adegan yang acak, seakan tidak dibingkai dalam satu alur cerita yang padu. Jika diperhatikan lebih seksama, alur cerita itu tetap padu dan terbingkai dalam satu hal penting: karakter tokohnya. Hanya saja, untuk memahaminya secara padu, penonton harus rela menyelami roh dan karakter Trinity. Seperti yang saya tegaskan ke Trinity ketika ditanya soal kesan saya setelah menonton, saya bilang film ini tidak hanya tentang jalan-jalan tetapi memang tentang membuat orang lain merasakan hal yang sama dengan Trinity, salah satunya, melalui jalan-jalan. Film ini ingin membuat penonton memilik mata seperti halnya mata Trinity.

Dengan kekhawatiran yang saya bawa hingga ke studio bioskop, akhirnya saya lega karena film ini berhasil mendramatisir buku/blog tanpa kehilangan rohnya bahwa ini memang tentang pengalaman/kontemplasi seseorang tentang atau karena traveling, bukan kisah-kisah klasik soal cinta yang mendayu-dayu. Tidak ada dramatisasi yang terasa berlebihan sehingga film ini memang seperti tidak memuat klimaks sebuah konflik. Kehadiran Paul (Daud) dibuat natural, jadi pemanis tetapi tidak menjadi beban/fokus karena memang bisa bahaya dan meyeret kisah ini menjadi romansa biasa. Interaksi Trinity dan Paul yang menjadi pemanis romansa film ini memang diambil dari kejadian sebenarnya. Meski demikian, saya tidak yakin bahwa Paul ini mengacu pada seseorang yang pasti dan tunggal. Bisa jadi Paul adalah representasi dari interaksi Trinity dengan lelaki yang terjadi dalam berabagai perjalanan. Tentu tidak sulit ditebak, bagi seorang traveler yang sudah keliling dunia, pertemuan dengan lawan jenis bisa menyisakan kesan istimewa atau bahkan mendalam.

Selain Indonesia, film TNT juga menghadirkan Filipina. Filipina dipilih karena Trinity memang menghabiskan waktu yang cukup lama di Filipina saat bersekolah S2. Yang saya suka dari penggambaran luar negeri oleh film ini adalah bahwa luar negeri itu ‘biasa saja’. Luar negeri juga memiliki sisi keseharian yang akan membuat kita tidak terkagum-kagum dramatis namun tetap memberi penghargaan yang layak. Ini yang selalu saya tekankan kepada anak-anak muda yang saya jumpai. Kekaguman atau imajinasi kita tentang luar negeri boleh membuat kita termotivasi untuk bisa bertualang tetapi jangan sampai membuat kita lupa bahwa luar negeri adalah juga permukaan bumi yang sama dengan yang kita pijak. Ada bagus dan buruknya, sama saja. Suasana pasar di Filipina membuat penonton seperti jalan-jalan di pasar tradisional Indonesia. Saya sendiri merasa ini penggambaran yang berani tentang luar negeri, terutama tentang film bertema traveling. Jika direnungkan lebih dalam, itulah traveling yang sebenarnya. Kita bisa menemukan hal-hal biasa, tidak sama dengan objek-objek di brosur-brosur pariwisata yang sebagian besar telah mengalami rekayasa visual.

Yang menyentuh saya, film ini menyajikan potongan interaksi antariman yg ditampilkan singkat tapi ‘kena’, misalnya saat para traveler itu menghadapi makanan yang mengandung babi di Filipina. Penyajiannya santai, tidak serius dan sepertinya sambil lalu tetapi itu adalah pesan yang kuat. Indonesia perlu kisah-kisah kerukunan antarimam yang ditampilkan apa adanya dan tidak serius seperti itu. Persahabatan dua orang beda agama terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita dan itu terjadi pada jutaan orang Indonesia. Media arus utama kadang tidak merasa perlu menampilkan ini dan terjebak hanya menyajikan kisah-kisah yang mengumbar intoleransi. Jika tidak hati-hati, kisah yang minor seperti itu bisa saja menjadi representasi Indonesia dalam imajinasi kita. Sangat berbahaya.

Oh ya, film ini juga menghadirkan kelucuan yg sangat pas kadarnya. Dialog-dialog lucunya natural dan tidak dipaksakan. Dua tokoh sentral yang lucu di film ini adalah Babe Cabiita dan Dewi (bosnya Trinity). They are great! Dialog-dialog mereka nampak disiapkan matang dengan situasi yg ditata apik sehingga dialog-dialog mereka jadi punch line yang legit! Interaksi Trinity dengan bosnya, serta teman-temannya juga kerap diwarnai kelucuan yang alami layaknya orang biasa yang menjadi pekerja biasa dan suka jalan-jalan. Film ini memang tidak menampilkan tokoh jahat (antagonis) karena dalam hidup keseharian kita, memang kejahatan tidak selalu kasat mata. Kejahatan tidak selalu dimanifestasikan dengan wajah yang sinis, alis tinggi dan pandangan bengis. Ini yang sepertinya ingin diingatkan oleh TNT.

Yang utama, film ini adalah tentang keragaman dan keindahan Indonesia. Saya yakin anak-anak muda Indonesia akan tertarik travel ke Indonesia Timur atau atau kawasan Indonesia lain yang belum ada di brosur setelah nonton ini. Meskipun agak klise, saya suka bagaimna Trinity berkontemplasi tentang Indonesia di akhir cerita. Kontemplasi ini mengingatkan akan cinta pada tanah air. Bagi saya, kontemplasi ini juga mengingatkan saya pada nasihat Mark Twain kepada anak-anak muda. Hidup itu singkat, kadang kita harus melampuai adat yang mengekang dan tidak menyesali apapun yang telah membuat kita tersenyum. Yakinlah, katanya, dua puluh tahun lagi, kita akan lebih banyak menyesal karena apa yang tidak sempat kita lakukan, bukan karena apa yang kita lakukan. Maka dari itu, lepaskan tali kekang, berlayarlah menjauhi dermaga yang membuai-buai. Tuailah badai yang menerpa layarmu untuk mengantarkanmu melaju. Maka menjelajahlah, bermimpi dan temukan jati diri. Karena yang membatasimu hanya satu, yaitu keberanianmu berimajinasi dan bermimpi.

Lewat filmnya, The Nekad Traveler, Trinity ingin mengajak anak muda Indonesia untuk ‘nekad’ keluar dari zona nyamannya untuk nanti terpana dan terpesona pada apa yang disajikan dunia yang ternyata mengejutkan. Trinity juga seperti membernarkan nasihat tetua Bali yang mengatakan “sing taen pesu” [makna harafiah: tidak pernah keluar] kepada meraka yang tidak sempat mengenal dunia luar sehingga menjadi orang yang sempit pandangannya dan sulit menerima kebenaran dari pihak luar. Berbagai kegaduhan yang terjadi belakangan ini, salah satunya adalah manifestasi dari ketidakpahaman akan berbagai sudut pandang yang salah satunya disebabkan oleh kurangnya kesempatan bepergian. Dalam bahasa Trinity, “Indonesia ini sedang darurat jalan-jalan.” Sajian alam yang menawan di film ini membenarkan apa yang dinasihatkan Marcel Proust, bahwa penemuan sejati itu bukan soal mendapatkan sesuatu yang baru, tetapi soal memiliki mata atau sudut pandang yang baru. Sudut pandang yang baru tentang Indonesia dan dunia adalah apa yang ditawarkan oleh TNT. Overall, worth watching and highly recommended!

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

2 thoughts on “Bukan Naked, tapi Nekad Traveler: Sebuah Review Film”

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: