Begitu mendengar bahwa seorang kawan sesama dosen UGM sedang membuat film, saya langsung kagum. Membuat film, bagi saya, bukan hal biasa. Menemukan seorang teman membuat film layar lebar yang disiapkan untuk bioskop tanah air membuat saya sudah kagum tanpa harus menunggu filmnya dan tanpa tahu kualitasnya.
Saat diberi tahu bahwa film itu berjudul “Tengkorak”, ada yang berubah pada persepsi saya tentang film ini. Mengapa harus “Tengkorak”? Mengapa bukan judul lain? Kata “Tengkorak” ini mengingatkan saya pada film-film masa lalu yang biasa dan konvensional. Yang hadir di bayangan saya adalah sebuah film laga dengan tata kelahi seadanya, dialog kaku dan menandalkan pemandangan tubuh kekar (atau seksi), caci maki dalam perkelahian yang tidak terlalu alami tidak juga dasyat memukau. Yang hadir dalam imajinasi saya adalah sebuah film biasa saja. Saya sempat kehilangan interes.
Beberapa hari belakangan ini, trailer film “Tengkorak” dirilis untuk publik. Saat menerima tautan video itu di Youtube, saya tidak langsung menontongnya. Saya takut kecewa dan takut kalau tebakan saya benar. Saya menyimpannya beberapa lama sampai akhirnya saya merasa perlu dan siap menontonnya.
Saat menonton pertama, saya tidak menyalakan audionya. Saya ingin menikmati aspek video saja terlebih dahulu. Saya tahu, menikmati film tanpa audio dan terutama tanpa musik bisa sangat berbahaya. Saya bisa kehilangan banyak hal dari film itu. Saya sadari itu tapi saya ingin ‘sadis’ pada Film Tengkorak ini. Saya ingin menguji seberapa kuat visualisasi-nya dan seberapa mampu visualisasi itu membuat saya bertahan menonton. Saya memang sengaja ‘membully’ film ini karena keisengan untuk mengetahui kualitasnya. Jika ini film biasa maka trailernya yang tanpa suara tidak akan membuat saya bertahan menontonya. Sebaliknya, jika tanpa suara saja dia bisa membuat saya bertahan menonton, film ini bisa jadi memang istimewa.
Beberapa detik berlalu, saya bertahan. Pertama karena dugaan saya semula tentang film dengan aksi laga konvensional atau pakaian kuno tapi berbahan baru ternyata tidak benar. Gaya pendekar berikat kepala atau suasana remang-remang yang keseramannya menggelikan ternyata juga tidak saya temukan di trailer Tengkorak. Alih-alih semua hal yang saya duga, saya disuguhi adegan setengah dokumenter dengan suasana modern dan keseharian dunia nyata.
Demi melihat apa yang tidak saya duga, saya segera ulang menonton trailer itu dari awal dan kini saya aktifkan audionya. Saya mulai memperhatikan dengan seksama. Kini dengan semangat. Saya seperti dilambungkan kepada angan-angan saya yang telah lama terpendam yaitu melihat film Indonesia dengan genre fiksi ilmiah. Saya ingin mendengar kata-kata yang menandai nama agen atau lembaga nasional, nama institusi, pusat kajian, pusat riset dan pengembangan atau yang sejenisnya dijadikan pusat perhatian dalam sebuah film. Saya ingin melihat ini seperti halnya film-film Hollywood menyuguhkan NASA, NSF atau agen pemerintah lainnya yang terlibat dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh suatu bangsa. Saya ingin sebuah film yang melibatkan Presiden Indonesia, rumitnya birokrasi yang melahirkan pahlawan dan pecundang, diperkenalkannya ahli-ahli Indonesia yang berperan merespon persoalan besar yang bahkan mempengaruhi dunia. Saya ingin film yang seperti itu dan itu sudah lama saya pendam. Saya ingin melihat film yang menampilkan urusan yang genting dan membuat kepanikan para petinggi negara dan agen-agen yang ada dalam kendalinya.
Melihat trailer Tengkorak yang singkat itu, saya seperti disuguhi apa yang sudah lama sekali saya rindukan. Saya belum tahu apakah Tengkorak memang betul-betul akan memuaskan saya ketika saya menonton filmnya nanti karena terlalu pagi menilai sebuah film hanya dari trailernya. Meski demikian, setidaknya trailer ini telah mengobati kerinduan saya yang bahkan sulit saya ceritakan sebelumnya tentang sebuah film fiksi ilmiah dari Indonesia. Saya melihat kombinasi yang baik dalam trailer film ini antara birokrasi/politik, fiksi misterius dan sentuhan ilmiah yang terasa kuat. Apakah benar Tengkorak akan memuaskan harapan saya dan juga Anda? Mari kita tunggu hingga Tengkorak bisa disaksikan di biskop di sekitar kita.