Pagi masih belia ketika aku tiba di Sydney. Cerah musim semi masih bersahabat erat dengan sisa musim dingin yang sepertinya belum tuntas berlalu. Bus biru nomor 400 segera membawaku dari Bandara Kingsford Smith menuju Kingsford, sebuah kawasan yang tidak jauh dari Univesity of New South Wales, amamaterku saat menempuh pendidikan S2. Kembali ke Sydney seperti melambungkan ingatan duabelas tahun silam. Semua masih terasa seperti dulu.
Aku termangu di bus menikmati sejuk udara kota dan pagi yang masih belum begitu ramai. Tidak jauh dar tempat dudukku, aku memperhatikan seorang lelaki, mungkin usianya sekitar lima puluh tahun. Dari wajahnya, mungkin dia orang China atau setidaknya memiliki leluhur dari China. Dilihat dari pakaian yang dikenakan serta barang yang dibawanya, sepertinya lelaki itu baru saja tiba di Sydney dari sebuah tempat yang jauh. Barangnya cukup banyak dan pakaiannya menunjukkan dia dalam perjalanan yang tidak dekat. Pandangan matanya nampak tidak yakin. Dia seperti kebingungan melihat kiri kanan.
Seorang perempuan kulit putih di dekatnya seperti merasakan kegelisahan lelaki itu dan bertanya. Entah apa yang disampaikan lelaki itu, yang pasti perempuan itu jadi terlihat sigap melakukan sesuatu. Perempuan itu berdiri dan menuju ke posisi sopir. Aku lihat dia bertanya sesuatu dan berdialog agak lama dengan sang sopir. Sejurus kemudian dia kembali ke tempat duduk lelaki yang nampak bingung itu. Samar-sama dari tempat dudukku terdengar kalimat-kalimat yang menenangkan. Rupanya lelaki itu menuju sebuah tempat dan tidak tahu harus berhenti di mana dan menuju ke mana. Perempuan itu, yang sebenarnya sesama penumpang dan orang asing bagi lelaki itu, dengan sigap membantu. Dia bertanya kepada sopir lalu menjelaskan dengan sangat baik kepada lelaki itu. Pemandangan pagi yang sangat menyejukkan di Kota Sydney. Kota yang baik memiliki orang-orang yang berbudi baik, menolong sesama dengan kegembiraan.
Tak lama kemudian, di sebuah pemberhentian, Pak Sopir bertanya setengah mengumumkan. Rupanya dia ingat, tadi ada penumpang yang tidak familiar dengan kota ini dan ingin diingatkan lokasi turun dari bus. Tak ada yang merespon, Pak Sopir beranjak dari kursinya dan berjalan di lorong tempat duduk bus. Dia berjalan pelan sambil matanya melihat dengan seksama satu per satu penumpang bus itu. Aku amati perilakunya yang nampak peduli. “You, Mate! You are going to East Garden, right?” tanyanya kepada seorang penumpang. Lelaki penumpang itu nampak tidak begitu paham. Rupanya dia bukan penutur Bahasa Inggris natif dan tidak paham apa yang disampaikan Pak Sopir. Akhirnya Pak Sopir mengulang dengan nada lebih pelan dan intonasi lebih jelas ditambah gerakan tangan. Lelaki yang nampak lugu itu mengangguk-angguk antusias tanda paham. “Yes, yes, yes” katanya penuh semangat. “You have to get off here, Mate!” kata Pak Sopir mempersilakan lelaki itu meninggalkan bus.
Pak Sopir telah mendedikasikan waktunya untuk mencari penumpang yang tadi minta diturunkan di satu tempat. Dari caranya bertanya dan menyapa, nampak jelas Pak Sopir sedang santai. Tidak ada raut ketegangan untuk mengejar setoran pada wajahnya. Dia tenang dan penuh senyum memberi pertolongan kepada penumpang yang memerlukan pertolongan.
Pagi itu, di Kota Sydney, aku mengingat lagi tentang makna kota yang beradab. Kota yang beradab tidak saja ditandai dengan gedung-gedung tinggi pencakar langit atau transportasi umum yang berkelas dunia. Kota yang baik juga ditandai dengan keramahan manusianya dan kepeduliannya untuk membantu sesama. Entahlah apakah orang-orang baik itu rajin membaca Bhagavadgita atau rajin pengajian atau rutin ke Gereja atau Wihara, yang pasti nilai-nilai kitab suci menetes jernih lewat perilakunya yang simpatik dan penuh peduli.
Menyaksikan betapa sederhananya kebaikan itu, tentu tidak harus menjadi penduduk Sydney untuk bisa melakukannya. Di Bandung, di Jogja, di Purwokerto, di Tabanan, di Tenganan, di Bekasi, di mana saja, kebaikan sederhana itu bisa saja dilihat jika warga kota memang ingin kotanya punya jiwa dan roh yang baik. Tak harus menunggu walikotanya setenar Ridwan Kamil atau Presidennya sepeduli Jokowi, kebaikan kecil tetap bisa dilakukan tanpa peduli perhelatan politik atau janji-janji kampanye para politisi.
Rindunya aku sama Sydney Buses 😦 makasih pak sudah berbagi cerita dan foto bus nya 🙂 jangan lupa tap-off Opal sebelum turun bus 🙂
Hehe.. siap 🙂
bagaimana cara kita mewujudkan roh kota yang positif seperti itu pak? 🙂
Mulai besok, sapa orang asing yang duduk di sebelah Anda di dalam bus atau di halte atau di terminal atau di tempat parkir. Sekali2 alihkan pandangan dari layar HP 🙂
^_^ good idea. nuhun pak andi.
Cool!